Kata orang bijak, perbedaan antara orang yang sukses
dengan orang yang gagal adalah: orang yang sukses mengalami kegagalan jauh
lebih banyak dari orang yang gagal. Benarkah?
 
Jawabannya: benar (sekali). Paling tidak itu yang didapat
ketika membaca buku The Apple Way. Buku ini memang bukan buku baru, tapi di
Indonesia baru diterjemahkan oleh group penerbit Erlangga, Esensi. Kesan
pertama ketika melihat buku ini hampir sama ketika melihat buku The IBM Way,
The Trump Way, The Toyota Way, The Google Story.., The Starbuck
Experience.  Pasti soal kisah
suksesnya, biasa ah... Tapi karena belakangan lagi tertarik dengan perseteruan
‘abadi’ antara Bill (Gates) dan Steve (Jobs) akhirnya jadilah buku itu menemani 
perjalanan Bekasi-Depok... :D
 
Orang banyak terkagum-kagum dengan Apple. Ternyata dibalik
kesuksesannya siapa yang menyangka kalau otak di dalamnya adalah seorang
perfectionist sekaligus visioner sejati yang demi memuaskan pelanggan harus
keluar masuk pasar, survai berbagai produk rumah tangga yang ramah, efisien
sekaligus cantik dilihat. Tujuannya untuk ditiru (prinsip-prinsipnya) menjadi
produk Apple berteknologi tinggi. Yah, kira-kira kasarnya begitu. Pantas saja
ya… menggunakan Mac, sama mudahnya seperti menjalankan mesin pemanggang roti :p
(kira-kira inilah harapan Steve Jobs).
 
Buat seorang perempuan yang lebih sering kena tuduhan gatek
(padahal nggak bener lho…;), sering merepotkan orang lain karena serangan virus
mendadak di PC, dan lain sebagainya masalah tipikal para pengguna Win OS;
beralih ke Mac memang jalan keluar yang gampang (selagi ada anggaran lumayan
atau promo, bahkan sukur-sukur suntikan dana dari pihak luar :p). Ungkapan
hiperbolanya adalah: komputer Mac ini seperti kado terindah (untuk para
pengguna (dan penggemar)nya, lebih-lebih yang merasa dirinya gatek ) yang 
dikirim
lengkap dengan kartu cantik bertuliskan: from Cupertino* with love…. Hehehe…
 
Petunjuknya grafis sekali, penuh warna, cara kerja yang cuma
drag and drop plus… tidak perlu install hard drive ini itu, seperti kata
penulisnya (Jeffrey L. Cruikshank): isi komputer mac dilengkapi dengan hantu
‘Casper’ dan ‘Aladdin’ (kok bukan Jin-nya ya?). Alias, apa mau kita biarkan
komputer ini melakukan dan memikirkannya sendiri (segampang itu??)
 
Untuk menciptakan produk sangat ramah ini, pastinya nggak
gampang. Saya selalu merasa bersalah tiap kali meminta kemudahan ini itu ke
programmer pengembang software untuk urusan kantor – “kalau bisa, ada menu ini
dan itu ya...”;  “Bisa ini dan itu,
nggak?”; “Bisa terhubung langsung dengan sistem ini, biar memudahkan pekerjaan
itu…” Sang programmer, meski nggak sampe manyun, pastinya rada sebel karena itu
artinya pekerjaan itu akan sulit dan makan waktu lama sementara pastinya ada
deadline yang musti dikejar. (software/aplikasi komputer yang semakin ‘ramah’
dan mudah digunakan, semakin sulit dibuat, kan?)
 
Sebagai perusahaan paling inovatif di dunia, menurut
penulis, Apple berkomitmen memberikan yang terbaik dan terdepan bagi para
penggunanya. Dana ratusan juta dolar mengalir ke litbangnya, angka yang
fantastic untuk perusahaan komputer saat itu karena berkali lipat angkanya
dibanding dengan perusahaan sejenis lainnya. Saya pikir, kok segitu ‘gila’nya
Apple dengan riset ya? Tapi ya memang sih, untuk sebuah temuan baru, inovasi
baru, pastinya butuh dana yang besar untuk riset. (btw, riset itu seperti
candu, sekali kita melakukannya dan berhasil, rasanya pengen terus-terusan
deh…:p)
 
Jangankan untuk produk berteknologi tinggi macam Apple,
menulis fiksi aja butuh riset. Dan Brown perlu ‘berkelana’ di Eropa sebelum
menuliskan Da Vinci Code. Dan meski lulusan SD reyot, Andrea perlu kuliah di
Perancis dan keliling Eropa (meski untuk ini dia nggak sengaja riset), kalau
nggak, mana akan tercipta buku tetralogi itu. Hanya bermodalkan imajinasi saja?
Bisa aja sih, tapi jelas akan sangat beda ‘rasanya’ dan tentunya beresiko nggak
laku.
 
Pak Ismail Marahimin, dosen Penulisan Populer di FIB UI,
pernah memberi tugas membuat tulisan tentang suasana pasar. Untuk itu kami
harus melakukan pengamatan ke pasar (langsung) bagaimana suasana pagi, siang,
sore dan malamnya. Di karang-karang bisa sih, tapi tentu tidak memberikan
kepuasan karena banyak detail yang pastinya luput (dan Pak Ismail tau mana yang
ngarang dan mana yang pake survei beneran). Saya cuma dapet nilai standar,
soalnya nggak survei beneran sih… nyesel juga karena merasa membohongi pembaca.
Dan jadi garing tulisannya. Untuk yang satu ini saya jadi ingat dengan buku
karya Kuntowijoyo yang berjudul Pasar. Pas sekali deskripsinya, dan hidup. 
 
Bedanya dengan fiksi, riset untuk fiksi kalaupun salah-salah
dikit or dikarang-karang dikit tidak akan fatal akibatnya. Tapi riset untuk
sebuah produk teknologi, salah dikit bisa fatal. Dalam buku ini disebutkan
bahwa ada beberapa kasus yang ‘memalukan’ buat Apple. Mulai dari sistem yang
lelet bin lemot, baterai yang mudah panas dan menimbulkan kebakaran, sampai
komputer yang meledak dan menghancurkan ruangan/rumah (kasus ini terjadi di
Jepang). Pendek kata, tidak sedikit kegagalan demi kegagalan menimpa perusahaan 
ini.
 
Kalau saya jadi Steve Jobs, mungkin akan melarikan diri dan
menyepi ke hutan saking malunya hehehe. Tapi hebatnya perusahaan yang sudah
berhasil ini, kegagalan tidak membuat jera. Produk yang bermasalah ini segera
ditarik dari pasaran, atau pelanggan menerima produk pengganti yang baru. Tidak 
hanya itu, ada juga lho produk gagal Apple yang bernasib
malang karena harus dikubur hidup-hidup di dalam ‘liang lahat’ begitu melihat 
suasana pasar sudah tidak mendukung lagi dan akan merugikan pelanggan. 
Konsekuensinya, meski sekali lagi perlu melakukan riset yang makan waktu, 
produk baru
yang lebih canggih (lebih stabil dan lebih cantik) segera diluncurkan sebagai
penggantinya. (penulis membandingkan software lain yang sebenarnya sudah 
jelas-jelas banyak bugs-nya tapi masih tetap diluncurkan ke pasaran :)
 
Kesan bahwa perusahaan ini sangat mementingkan pelanggan
sangat terasa. Pembeli adalah raja, benar-benar diterapkan. Perusahaan mana
yang paling sering dikritik pedas oleh penggunanya selain Apple. Tapi kritik
dan masukan pengguna Apple adalah kekuatan perusahaan ini. Inilah gunanya Apple
membuat Apple Store dimana-mana. Sekedar untuk mendekati pelanggan, dan
‘nguping’ tanggapan, kritik dan saran mereka untuk terus melakukan inovasi
tiada henti. Tidak heran kalau penggemar fanatiknya semakin banyak.  Ingin 
sukses? Ikuti lah cara-cara
Apple! :)
 
Have a nice day!
 
*Cupertino, CA adalah markasnya Apple, sementara Microsoft
bersemayam di Redmond, WA.

ps. tulisan ini sama sekali tidak bermaksud promo, apalagi menyinggung para 
pengguna non mac.... ;)


      

Kirim email ke