--- In indo-s...@yahoogroups.com, "mahendra0306" <mahendra0...@...> 
wrote:


  Kepada pembaca yang budiman, Jika Anda setuju dengan pendapat yang
disampaikan dalam tulisan di bawah ini, mohon bantuannya untuk
menyebarkannya pada masyarakat luas. Saya berharap dengan tersebarnya
tulisan ini, aspirasi yang ingin disampaikan WNI yang bekerja di luar
negeri dalam tulisan ini dapat diterima dan diperhatikan oleh
pihak-pihak yang berwenang membuat kebijakan di bidang perpajakan di
Indonesia.


SURAT TERBUKA UNTUK DIRJEN PAJAK DAN CALON ANGGOTA LEGISLATIF PESERTA
PEMILU 2009







Seiring akan berakhirnya "sunset policy" 2008, keresahan Warga
Negara Indonesia yang bekerja di Luar negeri semakin memuncak. Hal ini
terlihat dari diskusi-diskusi di "mailing list" kumpulan WNI di
luar negeri atau forum-forum diskusi di Internet. Kebingungan akan
kejelasan status "Subjek Pajak" bagi mereka yang bekerja di Luar
Negeri adalah sumber dari keresahan mereka akhir-akhir ini.

Apakah mereka digolongkan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN)?
ataukah mereka termasuk sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN)?
Jawaban atas pertanyaan ini sangat menentukan kelangsungan hidup
mereka..




Jika mereka digolongkan sebagai SPDN, maka pendapatan mereka yang
didapat di luar negeri harus dilaporkan dalam SPT di Indonesia dan 
atas
pendapatan ini mereka dikenakan tarif pajak di Indonesia, tanpa
memperhitungkan besarnya biaya hidup di Negara dimana WNI itu bekerja.




Ambil Contoh berikut sebagai ilustrasi:

Badu (bukan nama sebenarnya), yang sejak terkena PHK oleh perushaan
tempat dia bekerja di Indonesia 3 tahun lalu, telah mengadu nasib di
Singapura dan bekerja sebagai STAFF- IT junior di sebuah perusahaan di
Singapura. Badu mempunyai seorang anak dan Istri, yang karena alasan
ekonomi (tingginnya biaya hidup di Singapura), mereka tetap tinggal di
rumahnya di Indonesia. Dan Badu hanya mengunjungi anak istrinya di
Indonesia selama beberapa hari setiap 2 bulan sekali. .

Sebagai Staff Junior, Badu memperoleh pendapatan sebesar SGD 3000 , 13
kali gaji dalam setahun. Dengan demikian Total pendapatan Badu selama
setahun adalah SGD 39000 (setara Rp 273 juta per tahun dengan kurs 1 
SGD
= Rp 7,000).

Kalau dilihat dari besaran rupiah, memang gaji yang didapat Badu
terlihat besar, tapi mengingat tingginya biaya hidup di Singapura,
setelah dikurangi biaya hidup di Singapura, dan biaya hidup anak istri
di Indonesia , pendapatan sebelum pajak yang bisa di sisihkan Badu
hanyalah sekitar 10 % dari total pendapatannya per tahun.

Di Singapura, mengingat tingginya biaya hidup disana, pendapatan tidak
kena pajak yang ditetapkan pemerintah Singapura adalah SGD 20,000.
Dengan memperhitungkan pendapatan tidak kena pajak tersebut , pajak 
yang
dibebankan kepada Badu di Singapura adalah sebesar (kurang lebih) SGD
845/ tahun-nya., atau hanya sekitar 2% dari total pendapatannya per
tahun. (sumber perhitungan:
http://www.iras.gov.sg/irasHome/page03.aspx?id=1190)

Nah, seandainya Badu di golongkan sebagai SPDN, maka Badu juga harus
melaporkan pendapatannya kepada DITJEN Pajak Indonesia dengan
perhitungan tarif pajak di Indonesia tanpa mempertimbangkan tingginya
biaya hidup di Singapura, dengan rincian perhitungan sebagai berikut:




PERHITUNGAN PENDAPATAN KENA PAJAK







Pendapatan

273,000,000




PTKP Diri

-15,840,000




PTKP tambahan buat yang menikah

-1,320,000




PTKP tambahan dari keturunan (1 anak)

-1,320,000




Pendapatan Kena Pajak

254,520,000






















PERHITUNGAN BESARNYA PAJAK







Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif

Pendapatan Kena Pajak

Besaran Pajak

Sampai Rp 50 juta 5%

50,000,000

2,500,000

Di atas Rp 50-250 juta 15%

200,000,000

30,000,000

Di atas Rp 250-500 juta 25%

4,520,000

1,130,000

Di atas Rp 500 juta 30%

0




Total

254,520,000

33,630,000


Total perhitungan pajak menurut tarif di Indonesia adalah sebesar Rp
33.630.000,- atau sebesar kurang lebih 12 % dari total pendapatan 
Badu.




Dari perhitunga di atas, terlihat perbedaan yang kontras atas nasib 
Badu
bergantung pada status "Wajib Pajak" nya. Jika Badu digolongkan
sebagai Subjek Pajak Luar Negeri, maka Badu hanya wajib membayar pajak
di Singapura sebesar 2%, sehingga Badu masih bisa menyisihkan
pendapatan-Nya sebagai tabungan hari tua sebesar 10%-2% = 8%.
Sebaliknya, jika Badu digolongkan sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri,
maka total pajak yang harus dibayarkan Badu adalah 12% , sehingga
tabungan yang bisa disisihkan Badu menjadi minus 2 % (10% - 12 %) 
alias
nombok 2%.

Malang sekali nasib Badu apabila dia digolongkan sebagai SPDN, sudah
jatuh ketimpa tangga. Setelah berjuang sendiri mencari pekerjaan ke 
luar
negeri - tanpa merengek-rengek pada pemerintah Indonesia yang tidak 
bisa
menyediakan lapangan pekerjaan baginya, Badu malah dibebani beban 
pajak
yang begitu tingginya oleh pemerintah negaranya sendiri.




Perntanyaan yang mungkin muncuk di benak anda adalah: mengapa Badu 
yang
sudah 3 tahun bekerja di Luar Negeri bisa digolongkan sebagai Subjek
Pajak Dalam Negeri dan harus membayar pajak ke Ditjen Pajak Indonesia
atas pendapatannya yang sama sekali tidak didapatkannya di Indonesia ?

Jawabannya adalah karena hal itu sejalan dengan peraturan pajak
penghailan yang baru: Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Dalam
undang-undang ini (Pasal 2 ayat 3 a), Subjek pajak dalam negeri 
termasuk
diantaranya adalah orang pribadi yang mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia. Pernyataan "Mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia" bagaikan pasal karet yang bisa ditafsirkan
bermacam-macam. Ada yang mentafsirkan : selama WNI yang bekerja di 
Luar
Negeri tersebut masih memegang kewarga negaraan Indonesia-nya, maka
sudah dapat dikatakan WNI tersebut mempunyai niat bertempat tinggal di
Indonesia, dan oleh karenanya di golongkan sebagai Subjek Pajak Dalam
Negeri. Dan menurut peraturan perundangan yang sama, sebagai Subjek
Pajak Dalam Negeri, yang bersangkutan wajib melaporkan pendapatannya
baik di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti tertulis dalam
penjelasan Pasal 2 ayat 2.




Dengan peraturan seperti ini, TKI yang bekerja di sektor non formal 
pun
(e.g pembantu rumah tangga) yang di Singapura berpenghasilan sekitar 
SGD
300 – 500/ bulan , dapat digolongkan sebagai Wajib Pajak Dalam
Negeri dan juga harus membayar pajak di Indonesia, karena pendapatan
sebesar SGD 300-500/bulan tersebut bila dikonversi ke nilai Rupiah, 
akan
melebihi batas Pendapatan Tak Kena Pajak (padahal di Singapura sendiri
-tempat mereka mendapatkan penghasilan- mereka tidak perlu membayar
pajak) .

Peraturan Undang-undang seperti yang tertulis di atas inilah yang
membuat ribuan bahkan mungkin jutaan WNI yang bekerja di Luar Negeri
seperti Badu menjadi resah.




Mari kita bayangkan, apa yang terjadi seandainya pemerintah 
menggunakan
pasal 2 ayat 3 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Pasal 2 ayat 3 a)
untuk memaksakan WNI yang bekerja di Luarnegeri untuk digolongkan
sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri , karena mereka masih memegang paspor
Indonesia dan karenanya dianggap punya " niat" untuk bertimpat
tinggal di Indoneisa?

Yang mungkin terjadi adalah:



Yang mungkin terjadi adalah:


    1.
Pelarian Asset / Modal ke luar negeri:

TKI seperti Badu, yang tidak akan mampu membayar pajak yang tinggi
seperti di atas, akan berpikir untuk segera melarikan asset-nya ke 
luar
negeri dengan menjual rumah nya di Indonesia dan mentransfer seluruh
uangnya ke Luar Negeri. Karena Badu khawatir, asset yang telah
dikumpulkan sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun akan di sita
petugas Pajak karena tunggakan pajak yang tidak mampu dibayar nya.


    2.
Berkurangnya pemasukan Devisa.

TKI seperti Badu, yang khawatir dikejar-kejar petugas pajak atas
ketidakmampuan nya membayar pajak di Indonesia, akan memutuskan 
membawa
serta anak istri nya ke luar negeri dan sedapat mungkin tidak kembali 
ke
Indonesia kalau memang tidak mendesak. Dengan demikian, Badu tidak 
akan
lagi mengirimkan sebagai pendapatannya ke Indonesia karena keluarganya
sudah ikut pindah semua ke Luar Negeri.


    3.
Menambah pengangguran di Indonesia.


Dengan peraturan perpajakan yang memberatkan WNI di luar negeri 
seperti
cerita Badu di atas. Para pengangguran di Indonesia akan menjadi
"enggan" untuk mengadu nasib ke luar negeri. Mereka akan
berpikir lima kali untuk merantau mencari pekerjaan ke luar negeri. 
Dan
hasilnya adalah pengangguran di Indonesia semakin meningkat.




    1.
Dalam Jangka panjang bisa Memicu terjadinya "brain drain" secara
permanen.

Bukan tidak mungkin, tenaga-tenaga terdidik di luar negeri yang selama
ini berniat untuk kembali ke tanah air setelah bekerja beberapa tahun 
di
luar negeri, akhirnya harus melepas kewarga negaraan Indonesia-nya
karena ketidaksanggupan membayar Pajak yang begitu tinggi ke 
Indonesia -
(yang disebabkan oleh tidak diperhitungkan tingkat "biaya hidup"
dimana tenaga terdidik itu harus bekerja dalam perhitungan pajaknya).


Akhirnya, yang terjadi adalah "lose-lose" situation. Tidak ada
yang diuntungkan dari situasi di atas. Dengan demikian dalam surat
terbuka ini, kami WNI yang bekerja di luar negeri memohon:




    1.
Kepada Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan Indonesia, untuk
memperhatikan beberapa point sebagai berikut:



    *
Seperti kata pepatah/ ungkapan/motto/harapan WNI pada petugas pajak
(yang baru diciptakan dalam tulisan ini) : "Orang Pajak Harus
Bijak!!!, maka kami, WNI yang bekerja di luar negeri berharap Ditjen
Pajak lebih bijaksana dalam menerapkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 
2008
ini kepada WNI yang bekerja di luar negeri. Dimohon sekiranya Ditjen
pajak tidak memaksakan untuk menggolongkan kami TKI yang sudah
bertahun-tahun bekerja luar negeri sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri 
dan
dituntut membayar pajak yang tinggi di Indoneisa (dengan tidak
memperhitungkan tingginya biaya hidup di negara tempat kami bekerja).







    *
Kami WNI yang bekerja di luar negeri, sama sekali tidak bermaksud 
untuk
tidak berkontribusi terhadap negara. Kalaupun sumbangan triliunan 
rupiah
yang kami kirimkan ke Indonesia setiap tahunnya dirasakan tidak cukup
oleh pemerintah Indonesia, dan dikarenakannya kami harus membayar 
pajak
tambahan, kami harap pajak tambahan tersebut tersebut tidak mencekik
leher kami. Jangan sampai cerita yang dialami tokoh imaginer seperti
Badu di atas benar-benar terjadi pada kami. Bayangkan kalau pemerintah
Asing yang menyediakan lapangan kerja buat WNI seperti Badu saja hanya
meminta pajak 2% dari Badu, masak pemerintah Negaranya Badu sendiri 
yang
tidak mampu memberikan pekerjaan padanya meminta pajak 12% atau 6 kali
lipatnya? APA KATA DUNIA?








    1.
Kepada Calon Anggota Legeslatif dari Partai Politik peserta PEMILU 
2009

Surat terbuka ini juga kami tujukan kepada Calon Legeslatif dari 
Partai
Politik peserta PEMILU 2009 untuk memperhatikan beberapa point 
berikut:




    *
Partai Politik diharapkan dapat Secara serius merumuskan
kebijakan-kebijakan yang memberi perlindungan hukum bagi kami WNI yang
bekerja di luar negeri. Jadikan amandmen Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang PPh sebagai salah satu agenda utama kebijakan partai anda
untuk memberikan perlindungan bagi kami WNI yang bekerja di luar 
negeri
- yang telah menyumbang triliunan devisa setiap tahunnya- agar 
terbebas
dari kemungkinan dibebani pajak yang berlebihan. Memang, sejauh ini
dalam berbagai kesempatan, pihak Direktorat Pajak menjelaskan bahwa 
TKI
yang bekerja di luar negeri lebih dari 180 hari tidak akan dikenakan 
Pph
seperti contoh berikut:
http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/18/20024368/tki.dan.tkw.bebas.p
aj\
ak.penghasilan
<http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/18/20024368/tki.dan.tkw.bebas.
pa\
jak.penghasilan> . Namun demikian, pernyataan ini dinilai hanyalah
merupakam perwujudan sebuah "good will" / niat baik dari pejabat
direktorat jenderal pajak yang sementara ini tidak ingin menggunakan
pasal 2 ayat 3 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 untuk memaksakan WNI
yang bekerja di Luar negeri untuk digolongkan sebagai Wajib Pajak 
Dalam
Negeri. Sekedar "good will"/ niat baik tidaklah cukup untuk
melindungi kepentingan WNI yang bekerja di luar negeri. Yang 
dibutuhkan
WNI yang bekerja di Luar Negeri adalah peraturan perundang-undangan 
yang
memberikan payung hukum yang jelas , sedemikian rupa sehingga WNI yang
bekerja di luar negeri tetap dapat berkontribusi aktif terhadap
pembangunan di Indonesia tanpa harus dibebani pajak yang berlebihan.


    *
Menurut data ILO (seperti dikutip di situs MIGRANT Care) pada tahun 
2007
diperkirakan ada 4,3 juta WNI yang bekerja di luar negeri, dan angka 
ini
terus meningkat. Cukup konservatif kalau kita perkirakan di tahun 2008
ini, setidaknya ada 5 juta TKI yang bekerja di luar negeri. Jika 
setiap
TKI memberikan manfaat ekonomi secara langsung kepada 5 orang anggota
keluarganya, maka kepentingan ke 5 juta orang TKI tersebut juga
berkaitan erat dengan kepentingan 25 Juta WNI lainnya. Dengan 
demikian,
jika partai anda mengagendakan dan mengkampanyekan kebijakan yang
memberikan perhatian khusus pada mereka, maka partai anda berpeluang
untuk sedikitnya menjaring 30 Juta suara pemilu 2009 mendatang.


    *
Mengapa surat ini ditujukan pada Caleg Partai Politik peserta PEMILU
2009 dan bukannya pada anggota DPR saat ini? Jawabannya adalah karena
kami menginginkan perubahan. Kami ingin agar anggota parlemen periode
selanjutnya, juga menghasilkan produk hukum yang memperhatikan
kesejahteraan dan kepentingan kami WNI yang bekerja di luar negeri dan
tidak hanya tertarik untuk menarik pajak semaksimal mungkin dari 
kami .


Demikian surat terbuka ini disampaikan kepada pihak-pihak pengambil
keputusan di bidang perpajakan di Indonesia untuk menjadi perhatian.




Terima kasih.

Seoul, 14 Desember 2008

Mahendra

satu dari jutaan WNI yang bekerja di luar negeri.



[Non-text portions of this message have been removed]

--- End forwarded message ---


Kirim email ke