Mental Miskin atau Kemiskinan Strukturalkah?

by : Hendra Syahputra



…jangan beri anak-anak itu ikan, melainkan berilah mereka kail, dan jangan lupa 
ajari cara memancing ….



Beberapa bulan lalu, saya menonton sebuah sinema Indonesia, di Laptop.
Saya menonton sebuah film yang menurut saya boleh menjadi salah satu
referensi untuk guru dalam mendidik, untuk orang kaya agar tak sombong,
untuk kita semua agar lebih peduli lingkungan : Laskar Pelangi



Bagi yang sudah menonton, lebih kurang pasti tahu ceritanya. Bagi yang
belum akan saya share, penggalan nya. Dalam film yang diangkat dari
novel Andrea Hirata ini , ada kisah seorang anak nelayan miskin yang
memiliki tekad untuk sekolah. Awalnya ia sekolah karena terpaksa,
disuruh ayahnya karena sang ayah tidak ingin anaknya juga jadi nelayan
miskin seperti dirinya. 



Lintang akhirnya sekolah dan menunjukan kecerdasan yang luar biasa,
meski akhirnya ia pun menyerah kepada kehidupan yang memaksa dia untuk
tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena sang ayah meninggal. Seperti
tak bisa menolak, ia pun tak bias menghindar ketika isyu kemiskinan
menyergapnya, dan membuat ia harus banting tulang, menggantikan posisi
ayahnya sebagai pencari nafkah, guna menghidupi adik-adiknya, yang
masih sangat kecil, ketika nasip memaksa mereka harus menjadi yatim
piatu. Kisah ini saya urai karena diangkat dari kisah nyata



Penggalan kisah ini, melambungkan fikiran saya pada sebuah artikel di
sebuah surat kabar berjudul MISKIN. Saya jadi teringat tentang Teori
Kemiskinan, yang pernah saya pelajari, ketika sekolah dulu dan mecoba
mengkaitkanya pada sebuah judul yang kadang saya tak mau terjebak di
dalamnya, dan kini menjadi sebuah teori kemiskinan structural, pada
teori kemiskinan struktural atau kemiskinan yang terstruktur



Secara sederhana, kemiskinan itu bisa dikategorikan atas 2 (dua)
kelompok besar, yaitu kemiskinan temporer (temporary poverty) serta
kemiskinan struktural (structural poverty). Jika dirincikan lagi,
kemiskinan temporer ini adalah kemiskinan yang sifatnya sementara di
mana suatu kali dia miskin, suatu kali bisa melewati batas kemiskinan
ke tahap sejahtera (walaupun mungkin tahap paling awal di kelompok
sejahtera). Intinya, kelompok yang masuk ke dalam kategori kemiskinan
temporer ini masih memiliki peluang untuk masuk ke wilayah sejahtera
walaupun tingkat sejahtera yang paling rendah.



Lalu bagaimana dengan teori kemiskinan kemiskinan structural, yang
sepintas “horor” jika menyebutnya berkali-kali, meski sebenarnya ini
yang harus menjadi pehatian khusus



Secara harfiah, kemiskinan struktural ini adalah suatu kondisi di mana
sekelompok orang berada di dalam wilayah kemiskinan, dan tidak ada
peluang bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan, bahkan juga
anak-anaknya. Mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan, dan
bisa dikatakan mengalami “kemiskinan abadi“. 



Bayangkan, jika seorang pengemis tidak memiliki biaya untuk memberikan
gizi yang cukup,pada anak-anak mereka, yang lebih dari satu jumlahnya.
Masalahnya tidak akan sesederhana ini, dampaknya selain terganggunya
kesehatan mereka, juga akan menurunkan tingkat kecerdasan berfikir dan
emosinya. Lalu ketika mereka besar, karena tak bisa merasakan
pendidikan yang normal di bangku sekolah, bisa jadi mereka akan terus
berada dari lintasan kebodohan dan kemiskinan, dan bisa jadi akan stay
dan terjebak ke dalam “kemiskinan abadi”, bahkan sampai ke anak-anaknya.



Sekedar diketahui, secara teoritis, paling tidak ada 2 (dua) ha yang
membuat anak tidak cerda, yaitu (1) gizi yang baik semasa balita, serta
(2) pendidikan yang memadai. Dengan dua hal tersebut, kemiskinan
struktural bisa diatasi perlahan-lahan. Dengan demikian, program
nasional atau gerakan masyarakat pemberian gizi tambahan untuk balita
miskin juga salah satu upaya penting dalam menanggulangi kemiskinan
struktural ini. Demikian juga dengan penyediaan sekolah yang gratis
untuk masyarakat miskin. Program anak asuh yang menjadi inisiatif
masyarakat beberapa tahun yang lalu juga merupakan upaya untuk
mengatasi kemiskinan struktural. 



Mental Miskin



Yang terpenting sebenarnya adalah, bagaimana mengajari mereka untuk
tidak memiliki mental miskin, Kembali kepada contoh Lintang dalam
Laskar Pelangi. Sang ayah boleh hanya seorang nelayan miskin, tetapi
dia tidak terjebak dalam mental miskin. Dia justru mengirim Lintang ke
sekolah supaya tidak terjebak dalam kemiskinan struktural, dan sang
anak, Lintang juga tidak memiliki mental miskin, justru memiliki mental
baja dan semangat tinggi untuk maju, walaupun akhirnya ia tak bias
berkompromi dengan kehidupan yang sudah menjadi kehendak yang maha
kuasa untuk mengaturnya



Sepintas, orang yang hidupnya hanya dengan mengandalkan belas kasihan
orang lain, itulah yang disebut memiliki “mental miskin”, inilah
sesungguhnya kemiskinan struktural sejati 





Pelajaran Hidup



Banyak kisah yang bisa kita jadikan pelajaran, betapa kemiskinan itu
benar-benar dekat dengan kekufuran. Coba lihat saja, kisah tragedi
zakat di Pasuruan beberapa waktu yang lalu sebelum Idul Fitri 1429 H.
Kisah yang sekaligus pelajaran bagi semua orang di negeri ini, membuat
kita miris, geram, dan sedih. Kemiskinan strukturalkah?



Dalam konteks kesadaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan
biasanya merujuk pada kesadaran fatalistik dan menyerah pada "takdir".
Suatu kondisi diyakini sebagai pemberian Tuhan yang harus diterima, dan
perubahan atas nasib yang dialaminya hanya mungkin dilakukan oleh
Tuhan. Tak ada usaha manusia yang bisa mengubah nasib seseorang, jika
Tuhan tak berkehendak. Kesadaran fatalistik bersifat pasif dan pasrah
serta mengabaikan kerja keras. 



Kesadaran ini tampaknya dimiliki sebagian besar masyarakat Indonesia,
sehingga kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan diterima sebagai
takdir yang tak bisa ditolak. Bahkan, penerimaan terhadap kondisi itu
merupakan bagian dari ketaatan beragama dan diyakini sebagai kehendak
Tuhan.



Memang benar, siapa pun tak ada yang menghendaki dirinya bodoh,
terbelakang dan miskin. Setiap manusia berharap bisa hidup berkecukupan
dan tak terbelakang. Namun, dalam realitas harapan tersebut terkubur
dan kandas oleh kondisi yang memaksa. Secara sosiologis, kebodohan,
kemiskinan dan keterbelakangan ditentukan oleh tiga faktor; yakni
kesadaran manusia, struktur yang menindas, dan fungsi struktur yang
tidak berjalan semestinya. 



Kemiskinan Struktural



Kemiskinan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, bisa kita petakan
dalam dua paradigma sederhana; normatif-teologis dan
struktural-sosiologis. Paradigma pertama berangkat dari asumsi bahwa
miskin-kayanya atau susah-senangnya seseorang sudah menjadi suratan
takdir Yang Mahakuasa. Kemiskinan yang melanda masyarakat dianggap
sebagai takdir Ilahi dan karenanya banyak orang yang berpangku tangan;
hanya bergantung pada nasib. Mereka tidak mau berusaha mencari nafkah
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika menemui kegagalan, mereka juga
mudah menyerah. Sedang paradigma kedua, yaitu struktural-sosiologis,
berasumsi bahwa kemiskinan yang menimpa masyarakat disebabkan oleh
sistem atau struktur politik yang cenderung berpihak kepada
kelompok-kelompok tertentu. Kebijakan perekonomian yang diterapkan
pemerintah hanya berorientasi para pemilik modal sehingga yang kaya
menjadi semakin leluasa mengendalikan pasar, yang miskin semakin
terhimpit dan tertindas. 





Jika kedua paradigma itu digabungkan, maka masyarakat yang miskin itu
tidak hanya karena “nasib”, tetapi juga ada faktor luar, yaitu
kebijakan ekonomi yang tidak adil. Jika ada orang yang merasa telah
berusaha maksimal dalam memenuhi kebutuhan hidup, namun tetap dalam
kondisi “memprihatinkan”, ini tidak berarti semata-mata karena suratan
takdir, tetapi ada yang tidak beres dalam sistem dan kebijakan
perekonomian. Apakah itu karena monopoli, atau praktik-praktik korupsi
dan kolusi. Berbagai penyelewengan dan kejahatan pun berlangsung secara
sistematis sehingga tidak tampak pelaku sebenarnya. Ini adalah
konspirasi tingkat tinggi: satu sama lain saling menikmati, saling
menutupi, dan saling menyelamatkan. 



Alquran secara implisit memberikan petunjuk mengenai “jihad sosial”
memerangi kemiskinan stuktural, paling tidak kita bisa berpijak pada
dua langkah, yaitu “distribusi yang adil” dan “pemberantasan cara-cara
batil”. Distribusi yang adil merupakan pengejewantahan dari konsep
“amar makruf” yang secara operasional dalam bentuk “santunan sosial”
sebagai bahasa lain dari konsep zakat, infaq, dan sedekah. 



Sedangkan “pemberantasan cara-cara batil” merupakan pengejewantahan
konsep “nahi munkar”. Kini kita tidak boleh lengah lagi terhadap
berbagai penyelewengan di instansi-instansi publik yang berdampak
sosial yang luas dan besar. Praktik-praktik “kotor” yang dilakukan
secara terstruktur harus diberantas melalui penegakkan hukum yang tegas
dan pengawasan yang ketat. Jangan sampai lembaga-lembaga penegak hukum
di negeri kita hanya dijadikan “panggung sandiwara” untuk membebaskan
atau membuktikan tidak bersalah pelaku kejahatan yang merugikan negara
dan menyengsarakan masyarakat. Kejahatan struktural itu tiada lain
adalah eksploitasi kekayaan alam oleh proyek-proyek dan pemodal besar.
Mereka “bermain mata” dengan negara dan mengeruk kekayaan alam dengan
leluasa. Sementara penduduk setempat tetap miskin, mereka menjadi
korban kerusakan lingkungan dan limbah



Umumnya kemiskinan struktural dimanfaatkan untuk kepentingan politik,
yaitu demi melanggengkan kekuasaan. Sementara kelompok manusia yang
miskin tidak berdaya melawan otoritas penguasa yang sangat dominan.
Kondisi seperti inilah yang oleh Paulo Freire disebut "budaya bisu"
(submerged of culture silent). Mereka miskin, bodoh, dan terbelakang
karena permainan penguasa dzalim, sementara untuk melawannya tidak
memiliki daya sama sekali. Pada masa Orde Baru, masyarakat Indonesia
yang miskin, bodoh dan terbelakang, ternyata sengaja didesain oleh
rezim penguasa. Tujuannya agar masyarakat lemah dan tidak berdaya
melawan kekuasaan. Kondisi demikian kemudian menjadi komoditas politik
sewaktu digelar pemilihan umum (pemilu). 



Di zaman sekarang pun, para pejabat enggan memikirkan kesejahteraan
masyarakat, tetapi malah sibuk memperkaya diri. Saat pemilu datang,
mereka sibuk menebar janji pemberantasan pengangguran, pengobatan
murah, sekolah gratis, dan lain-lain. Tetapi setelah tiga tahun
ditunggu-tunggu ternyata janji tinggal janji, tak ada bukti. 



Persoalan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan juga disebabkan
karena tidak berfungsinya sistem yang ada. Sebab orang-orang yang
berada dalam sistem tidak memiliki kemampuan sesuai dengan posisinya.
Akibatnya sistem berjalan tersendat-sendat, bahkan kacau. Kesalahan
menempatkan orang tidak sesuai dengan kompetensinya (one man in the
wrong place) bisa mengakibatkan kondisi bangsa ini menjadi fatal. 



Sudah menjadi rahasia umum, masalah kompetensi para pengambil kebijakan
di jajaran pemerintahan diragukan. Banyak posisi struktural yang
strategis diduduki oleh orang-orang yang tidak berkompeten di
bidangnya. 



Kondisi negeri ini, masih berkubang dalam kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan, jelas berseberangan dengan prinsip-prinsip fitrah
manusia. Fitrah manusia adalah hidup layak, berpengetahuan, dan bukan
miskin atau bodoh. 



Untuk mengentaskan masyarakat Indonesia dari kubangan kemiskinan,
kebodohan, dan keterbelakangan, pemerintah perlu mengambil kebijakan
strategis. Kebijakan strategis tersebut membutuhkan suatu jalur yang
dipandang paling efektif. Dalam konteks inilah penulis berpendapat
bahwa pendidikan merupakan satu-satunya jalur paling efektif untuk
mengentaskan seluruh problem sosial di Indonesia. 



Sejatinya seluruh persoalan yang menimpa masyarakat Indonesia bertumpu
pada faktor manusianya. Faktor kesadaran masyarakat Indonesia masih
menjadi kendala utama untuk melakukan berbagai agenda perubahan. Oleh
karena itu, pendidikan harus memiliki orientasi sebagai "penyadaran"
(consciousness), yaitu untuk mengubah pola pikir masyarakat yang
tadinya naif dan fatalistik agar menjadi kritis. 



Meskipun persoalan kemiskinan bisa saja disebabkan karena struktur dan
fungsi struktur yang tidak berjalan, akan tetapi itu semua
mengisyaratkan pada faktor manusianya. Struktur jelas buatan manusia
dan dijalankan oleh manusia pula. Jadi, persoalan kemiskinan yang
bertumpu pada struktur dan fungsi sistem jelas mengindikasikan problem
kesadaran manusianya. Dengan demikian, agenda terbesar pendidikan di
negeri tercinta ini, adalah adalah bagaimana merombak kesadaran
masyarakat Indonesia agar menjadi kritis



Lalu, apakah yang bisa kita lakukan dalam mengatasi kemiskinan
struktural ?. Setiap kita pasti memiliki peran masing-masing di dalam
masyarakat. Ada sebagai pemimpin, ada sebagai tentara, ada sebagai
polisi, ada sebagai pebisnis, ada sebagai pemuka agama, ada sebagai
politisi, 



Kita bisa memainkan peran kita masing-masing dalam mengatasi kemiskinan
ini. Memang, tidak mungkin satu orang sanggup mengubah dunia. Tetapi
jika setiap orang memainkan perannya dengan baik, Insya Allah tujuan
memberantas kemiskinan menjadi tercapai. Memang, kita tidak bisa
menutup mata, ada juga orang yang memcari rezeki dengan mengekploitasi
kemiskinan. Tetapi biarlah, itu tanggung jawab dia kepada Tuhan nanti
(itu pun kalau dia percaya). 



Mari kita menyalakan “lentera hati”, dan “lilin-lilin putih” di jiwa
kita, jika satu orang saja peduli masalah ini, diikuti satu orang
lainya setiap hari, paling tidak kita mendapatkan pencerahan setiap
harinya dari sinar tersebut. Semoga. Allahuma Amdi.


      Apa dia selingkuh? Temukan jawabannya di Yahoo! Answers. 
http://id.answers.yahoo.com

Kirim email ke