Kompas, Sabtu 06 Agustus 2005 "Gie" dan Problem Adaptasi Oleh: Eric Sasono
Fragmentasi film Gie diuji di hadapan penonton: berhasilkah ia membangun drama atau menciptakan benang merah? Ketika mengadaptasi kisah hidup seseorang untuk dijadikan film, pembuat film akan menghadapi tiga persoalan. Pertama, penyeleksian fakta sejarah. Tak mungkin seluruh tokoh dan peristiwa sejarah dimasukkan ke dalam film. Ada kebutuhan memfokuskan cerita sehingga banyak fakta sejarah yang harus dibuang. Kedua, pengembangan karakter dalam film tentang kisah hidup seseorang (biopik) tidak sama dengan film fiksi. Biopik berangkat dari tokoh nyata sehingga pengembangan karakter dalam film terjadi dalam kerangka rekonstruksi sejarah. Ada beberapa macam rekonstruksi sejarah itu. Pertama, dengan memenggal satu kurun tertentu dan membangun drama darinya, seperti film Tjoet Njak Dhien (Eros Djarot, 1988). Kedua, lewat penggambaran kurun demi kurun untuk membangun benang merah tokoh yang difilmkan. The Life and Death of Peter Sellers (Stephen Hopkins, 2004) dan Gie yang akan kita bahas masuk kategori ini. Ketiga, dengan menggunakan sudut pandang orang lain dalam melihat tokoh tersebut, seperti film Il Postino (Michael Radford, 1994). Ketiga adalah tarik-menarik antara drama dan konteks film. Cerita pada film biasanya larger than life, dramatis, dan tak selalu terjadi dalam hidup nyata. Tokoh dalam film biasanya hidup penuh drama berurai air mata atau petualangan hidup mati. Banyak tokoh yang dijadikan biopik hidup tanpa drama semacam itu. Maka, drama pada biopik bisa relatif biasa ketika dibandingkan dengan film fiksi. Pertimbangan membuat biopik akhirnya memang berdasarkan kesadaran bahwa tokoh punya arti penting dalam sejarah. Maka, pembuat film akan bergulat antara kebutuhan membangun drama dan penekanan konteks sejarah tokoh itu. Banyak biopik yang minim drama namun bercerita tentang seorang yang penting dalam sejarah. Misalnya film Motorcycle Diaries (Walter Selles, 2004) yang mengisahkan perjalanan tokoh revolusioner Amerika Selatan, Ernesto "Che" Guevara. Film ini menggambarkan pencerahan yang dialami oleh Che hingga akhirnya memutuskan menjadi seorang revolusioner. Jika tokoh dalam film itu bukan Che Guevara, mungkin cerita dalam Motorcycle Diaries tak layak dijadikan film. Komentar ini dikatakan antara lain oleh Roger Ebert, kritikus film terkenal Amerika. Gie, film yang menceritakan kisah hidup Soe Hok Gie (SHG), salah satu tokoh mahasiswa paling penting dalam gerakan mahasiswa 1966, juga menghadapi ketiga persoalan di atas. Film yang disutradarai Riri Riza dan diproduksi Mira Lesmana punya persoalan lain karena tokoh ini sulit dipahami bahkan oleh orang-orang dekatnya semasih ia hidup. Selain ketiga persoalan dalam membuat biopik seperti yang saya sebut di atas, persoalan lain tentulah kesulitan memahami tokoh yang memang terkesan selalu sendirian sepanjang hidupnya ini. Penyeleksian Film ini sadar akan rumitnya penyeleksian fakta sejarah yang melingkupi tokoh SHG. Karena film memang tidak pernah berkewajiban menyeleksi fakta sejarah dengan menggunakan metodologi tertentu, maka penyeleksian fakta sejarah yang dilakukan Riri Riza memang sangat longgar dan persepsional. Longgar dan persepsionalnya penafsiran itu bisa dilihat dalam beberapa kategori. Pertama, film ini menyempitkan peristiwa historis dan lokasi geografis yang berkaitan dengan tokoh SHG. Tulisan-di- layar di awal film mengungkapkan kerangka konteks global dan nasional yang melingkupi hidup tokoh ini. Tulisan itu kurang lebih berbunyi "Dunia tahun 1950-an terlibat Perang Dingin. Semua orang sedang menunggu ke mana Sukarno akan berpihak". Kemudian Riri Riza menambahkan konteks nasional dengan tulisan-di-layar berikutnya berupa kecenderungan Sukarno dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta pengangkatannya sebagai Presiden Seumur Hidup. Namun, konteks global dan nasional ini memang sebatas kerangka yang longgar karena narasi film ini kemudian memilih sudut pandang dan peristiwa yang dialami SHG dalam gambaran kehidupan yang sangat sehari-hari. Kedua, film ini menghadirkan banyak tokoh fiktif. Keberadaan mereka menyempitkan fokus cerita karena mereka mewakili banyak tokoh dan peristiwa sejarah ketimbang penjelasan tokoh dan peristiwa satu demi satu. Selain itu, penghadiran tokoh fiktif ini juga dimaksudkan untuk menciptakan drama. Lewat tokoh-tokoh fiktif inilah Riri Riza berusaha menampilkan sisi emosi SHG serta karakterisasi guna membangun drama film ini. Kita akan bahas hal ini belakangan. Pengembangan karakter Film ini memilih mengembangkan karakter SHG lewat gambaran kurun waktu demi kurun waktu ketimbang memenggal saja kurun waktu yang spesifik. Hal ini berbeda misalnya dengan Tjoet Nyak Dhien yang memenggal sebagian kurun waktu kehidupan tokoh itu dan kemudian membangun drama darinya. Kecenderungan mengembangkan karakter lewat wakil-wakil peristiwa penting dalam kurun waktu akan membuat cerita menjadi terfragmentasi, terpecah-pecah. Fragmentasi terjadi karena representasi kurun waktu tertentu dalam film selalu bersifat referensial. Artinya, kurun waktu itu akan sulit dikenali secara terpisah oleh penonton apabila tak memiliki pengetahuan cukup mengenai signifikansi kurun waktu, peristiwa, dan tokoh-tokoh di dalamnya. Ini berbeda dengan pilihan memenggal kurun waktu yang paling dramatis. Drama sudah tersedia dengan pilihan semacam ini. Fragmentasi semacam ini penuh risiko karena bagaimanapun, film harus bercerita sendiri tanpa harus diacu-acu kepada referensi lain. Film sejarah seperti Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin C Noer, 1984) sengaja memuat referensi ini dalam bangunan filmnya dengan keterangan teks tentang tokoh, lokasi, dan peristiwa agar film itu tak selalu harus diacu ke sumber-sumber lain. Contoh ini merupakan sebuah rekonstruksi utuh yang tak kita temukan pada Gie. Fragmentasi dapat diatasi dengan membuat benang merah yang kuat terhadap tokoh yang difilmkan itu. Gie mencoba hal belakangan ini. Pada bagian awal film, penonton dikenalkan pada karakter SHG yang tak berkompromi terhadap penyimpangan. Perdebatan antara SHG dan guru sastranya mengenai apakah Chairil Anwar pengarang atau penerjemah puisi-puisi Andre Gide merupakan pengenalan pada karakter SHG yang menjadi pintu masuk mengenali karakter SHG selanjutnya. Kemudian film ini memberi gambaran masa kecil SHG ketika seorang sahabatnya, Djin Han, mengalami kekerasan dari bibinya. Djin Han mengungsi di rumah SHG akibat kekerasan tersebut. Ketika bibi Djin Han menyusul bersama seorang hansip, SHG menghalangi sampai akhirnya ia ikut menjadi korban kekerasan itu. Tokoh bernama Djin Han ini adalah gabungan dari dua orang tokoh dalam kehidupan nyata SHG: Tjin Hok dan Efendi. Tjin Hok dan kekerasan bibinya muncul dalam catatan harian SHG, namun tak tercatat lagi ketika SHG dewasa. Sedangkan keluarga Efendi diduga menjadi korban pembantaian pada pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun. Tokoh fiktif ini bersama tokoh fiktif lain memang digunakan Riri Riza sebagai kendaraan memperlihatkan perjalanan perkembangan karakter SHG. Riri juga menggunakan tokoh fiktif dalam pergerakan mahasiswa yang dilalui oleh SHG. Ini akan kita bahas dalam bagian mengenai drama film ini. Gie versus Sukarno Dalam rangka mengembangkan karakter SHG, film ini tampak berusaha memanusiakan SHG ketimbang menjadikannya simbol semata. Hal ini digambarkan lewat kebanyakan penggambaran SHG dalam kehidupan keseharian ketimbang sebagai sesosok simbol. Salah satunya adalah penyejajaran SHG dengan Sukarno saat turunnya Surat Perintah Sebelas Maret yang mengakhiri kekuasaan Sukarno. Bagian film yang menceritakan hal itu dibuka dengan sebuah radio yang menyiarkan turunnya surat itu dan SHG tertidur di sebuah bangku dekat radio tersebut. Gambar beralih ke Sukarno yang baru bangun tidur. Kemudian berpindah lagi ke SHG yang memulai kegiatan pagi hari. Lantas kembali lagi ke Sukarno yang berjalan mendekati jendela dan memandang keluar. Adegan terus berganti antara SHG dan Sukarno sampai ditutup dengan adegan SHG mandi dan Sukarno menghela napas panjang sebagai tanda hilangnya kekuasaan dari tangannya beralih ke tangan Soeharto. Sepanjang bagian ini, siaran radio terus terdengar. Bagian ini tampak bermaksud menempatkan posisi SHG sebagai manusia biasa dalam peristiwa penting dalam sejarah bangsa ini. Namun, dengan perendengan antara kejatuhan Sukarno dan kehidupan personal SHG, muncul asosiasi bahwa kejatuhan Sukarno sejajar dengan kehidupan sehari-hari seorang anak muda biasa yang sedang mandi ketika peristiwa besar itu terjadi. Penggambaran ini mengimplikasikan bahwa SHG sebagai manusiadan SHG bukan sebagai simbolyang telah menyebabkan terjadinya peristiwa sejarah yang besar. Pada titik ini, fragmentasi dalam film ini terasa mengganjal. Sukarno yang sepanjang film menjadi latar tiba-tiba muncul ke depan menebalkan kemanusiaan SHG. Sedangkan di bagian lain, SHG hanya manusia biasa yang tak digambarkan berperan sebesar itu dalam sejarah. Akhirnya bagian ini menampakkan karakter SHG yang mampu menentukan sejarah ketimbang seorang yang terlibat pusaran dan panggilan sejarah seperti narasi yang dikembangkan di seluruh bagian lain film ini. Drama vis-a-vis konteks Fragmentasi Gie ini memang akhirnya harus diuji di hadapan penonton. Apakah ia berhasil membangun drama atau menciptakan benang merah. Drama sebuah film muncul dari manipulasi emosi penonton. Drama terjadi ketika penonton berada dalam sebuah situasi emosional yang terarah. Cerita dalam film harus menimbulkan suasana psikologis tertentu, semisal kegembiraan, kesedihan. Suasana psikologis ini didapat dari dua hal. Pertama, keterikatan emosional antara penonton dan tokoh utama dalam film. Penonton harus mampu mengidentifikasi diri dengan tokoh utama dalam film. Kedua, peristiwa dalam film harus mampu menempatkan sang tokoh dalam pilihan-pilihan yang sulit, pilihan hidup mati yang menentukan yang turut melibatkan emosi sang tokoh itu, seperti Sophie's Chioce. Kedua hal ini harus koheren terbangun sepanjang film. Usaha membangun drama dalam Gie dilakukan melalui tokoh-tokoh fiktif yang diciptakan untuk kebutuhan film ini. Tokoh fiktif pertama adalah Djin Han. Dengan tokoh Djin Han ini Riri Riza mencoba memberi ikatan emosional SHG terhadap pembantaian anggota PKI sesudah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Tokoh Djin Han yang ketika kecil dibela oleh SHG digambarkan menjadi salah satu korban pembantaian. Hal ini memberi penjelasan emosional atas kegeraman SHG terhadap peristiwa besar dalam sejarah itu. Penonton diajak menyelami suasana emosional SHG terhadap sebuah peristiwa besar yang dialami bangsa ini. Bahkan kemudian keterikatan emosi antara SHG dan Djin Han juga menjadi penutup pada film ini. Demikian pula dengan tokoh fiktif Jaka. Tokoh ini memberi kontras pada perjalanan dua orang intelektual. Yang satu setia pada pikiran lurus dan tak ikut arus serta mati dalam kesunyian, sementara yang lainnya turut arus sejarah dan menjadi seorang yang mengkhianati perjuangan dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas negara. SHG menjadi tokoh protagonis berupa seorang intelektual yang merdeka dan setia pada intelektualitasnya sehingga ia harus sendirian sepanjang hidupnya. Sedangkan Jaka adalah tokoh antagonis yang masuk ke DPR-GR sebagai utusan mahasiswa yang mendapat fasilitas kredit dari negara untuk membeli mobil. Tampak di sini Riri berpihak pada intelektual yang merdeka, sekalipun sendirian dan tak dipahami. Inilah yang diusulkan menjadi benang merah yang mengikat tokoh film ini. Konteks bagi tokoh yang sendirian Akhirnya memang dua hal yang berjalin inilah yang menjadi benang merah film yang ingin dimenangkan oleh Riri Riza: kesetiaan pada pikiran yang lurus dan keterasingan diri akibat tak dipahaminya kesetiaan itu. Hal ini menjadi sangat berarti dalam dua konteks. Konteks pertama adalah konteks sejarah saat itu ketika SHG tidak pernah bisa dimengerti oleh lingkungannya. Ibunya tak kunjung mengerti kenapa ia terus berjuang bagai tak kenal lelah. Orang-orang bertanya di mana gerangan SHG sebenarnya berdiri ketika ia mempersoalkan pembantaian terhadap anggota PKI: di kanan atau di kiri. Penyesalan SHG bahwa ia ikut serta mendirikan pemerintahan Orde Baru yang sejak awal sudah memperlihatkan kecenderungan menjadi otoriter juga terasa ganjil bagi orang sekitarnya yang sedang merayakan sukses perjuangan. Konteks kedua adalah konteks politik kontemporer. Kecenderungan Orde Baru menjadi otoriter, seperti dikhawatirkan SHG, benar-benar terjadi hingga akhirnya ditumbangkan dengan cara relatif serupa dengan Orde Lama. Film ini menempatkan SHG pada konteks kepolitikan kontemporer dengan sebuah tulisan-di-layar di akhir film kurang lebih: "Orde Baru bertahan selama 32 tahun. Indonesia yang adil dan bersih dari korupsi yang dicita-citakan Soe Hok Gie belum juga tercapai hingga sekarang". Benang merah dalam konteks tampaknya memang dimenangkan film ini ketimbang drama. Film ini mentransendenkan diri menjadi lebih dari sekadar film dan bicara pada banyak konteks. Mungkin banyak mahasiswa atau bekas mahasiswa yang terlibat gerakan tahun 1998 akan teringat pada perjuangan mereka belum lama ini menjatuhkan Soeharto. Mungkin juga akan sama banyaknya yang merasa bahwa cita-cita reformasi yang diperjuangkan tahun 1998 berada dalam pertaruhan yang sama besarnya seperti halnya yang dialami SHG pada masa hidupnya. Di sini Riri Riza tampak ingin mengingatkan bahwa banyak pekerjaan besar yang belum selesai. Kehidupan politik kita masih harus dikawal oleh orang-orang seperti SHG. Sekalipun mungkin risikonya adalah tak dipahami oleh orang-orang terdekatnya dan mati dalam kesetiaan terhadap cita- citanya. Drama pada film ini kemudian memang agak tercecer karena pilihan fragmentasinya. Usaha menciptakan emosi lewat tokoh Djin Han tak cukup kuat karena Djin Han lebih tampak hadir sebagai wakil ide ketimbang mewakili manusia. Djin Han ditampilkan mempunyai latar kehidupan yang miskin sehingga ia memilih mengikuti mimpi komunisme akan kemakmuran yang sama rata sama rasa. Hal ini bagaikan menjelaskan keterlibatan kebanyakan orang Indonesia terhadap PKI saat itu. Demikian pula dengan tokoh Jaka. Jaka juga tampil sebagai wakil bagi gagasan akan kurun sejarah paruh kedua dasawarsa 1960-an. Saat itu 13 orang wakil mahasiswa masuk ke DPR-GR untuk "mengawal" perubahan politik setelah kejatuhan Sukarno agar kekuatan politik Orde Lama tidak kembali naik. Mereka akhirnya jatuh ke dalam gelimang kekuasaan dan menjadi bagian dari politik otoriter yang dijalankan oleh Orde Baru. Usaha Riri menciptakan tokoh protagonis-antagonis ini akhirnya memunculkan gagasan akan kemandirian SHG dan kesetiaannya pada pikirannya yang lurus ketimbang memunculkan drama. Ini tak terhindarkan mengingat drama pada kehidupan SHG yang sesungguhnya memang hanya sebatas itu. Namun, ketika film ini memilih melakukan rekonstruksi yang sangat longgar, sebenarnya pilihan-pilihan menjadikan drama yang lebih kuat telah tersedia. Riri bisa memilih sebuah cerita yang koheren yang tak membutuhkan banyak referensi. Fragmentasi film ini membuat ide-ide yang ditangkap terpecah-pecah dalam kurun waktu demi kurun waktu yang digambarkannya. Bisa jadi hal ini karena pilihan Riri Riza yang memang terbatas, namun bisa juga karena memang sulit memahami tokoh serumit Soe Hok Gie. Eric Sasono Kritikus Film --- In Soe_Hok_Gie@yahoogroups.com, Lisa Tanoetirta <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > hi... > ogut juga bukan mau nambah ricuh..tapi mungkin Norman ada benernya juga, banyak yang ga ngeh siapa Gie. dan jadi salah kaprah pas nonton pelemnya...(gue tadinya bagian dari barisan itu..)..Tapi sebagai catatan, menurut sutradara dan produsernya (gw cuma mengutip), film ini bukan catatan biografi ataupun kisah sejarah hidupnya Gie secara plek, tapi interpertasi bebasnya di pembuat, githu... > > Trus, > (kalo aku sech), justru filmnya yang agak2 ajaib memacu untuk membaca bukunya..dan akhirnya gue bisa bilang ke temen2 gue yang "masih ada" di "barisan ga dong / ga ngerti.red", .."Makanya baca! jangan cuma nonton doang!.. > > Btw, Ru uu..kamu agak2 melayu ya..ada di mana? > > 'Salam > > ru uu <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > yeahhh itu semua ada jalan dan yang terbaiknya gimana > buat anda (satya...) gw juga salut dengan anda yang > bisa memerhatikan sebuah hasil karya seseorang dan > yang buat gw sesalin bahwa kenapa penilaian anda tidak > didasarkan perhibahan kerja yg nyata anda bisa aja > mengklaimnya tetapi apakah anda dan org2 yang merespon > film ini bisa mengerjakan seperti halnya sang > sutradara,.....ada baiknya kontribusi yg anda berikan > adalah masukan dan advice dan bukan bersifat > "ngeGude".......gw bukannya jg mau ngebla siapapun > tapi kesannya gw nga bisa.....toh seperfectnya orang > mengerjakan sesuatu pasti ada hal yang kurang dan itu > lumrah....... > salam kenal bauat anda....dan maaf kalo ternyata ga > enak tuh.....cu > > --- Norman Satya <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > Terus terang film tentang Gie ini banyak menuai > > protes dari teman2 saya dan > > juga saya sendiri. Kata teman saya, sutradanya > > payah. Rasa2nya film ini > > kurang gregetnya sebagai sebuah biografi tentang > > seseorang bernama Soe Hok > > Gie. Saya rasa banyak peristiwa2 yang justru lebih > > menonjolkan peran tokoh > > tersebut justru hilang entah kenapa. Contohnya > > kejadian waktu gie memimpin > > demonstrasi, disitu ga dikasih liat peran Gie yang > > benar2 menonjol. Padahal > > mungkin dari situlah kebesaran, wibawa, dan jiwa > > kepemimpinan Gie bisa > > ditonjolkan, terutama karena dialah salah satu > > arsitek demo saat itu. > > Lalu yang dirasa mengganjal lagi ialah tokoh2 yang > > tidak jelas, terutama > > bagi mereka yang belum membaca CSD. Teman saya > > bingung, siapa orang yang > > dikatai menteri goblok, siapa yang pergi sekolah > > dengan Gie, bahkan ada yang > > bertanya siapa yang habis bangun tidur di istana > > tanggal 11 Maret itu. Saya > > juga bingung kemana tokoh2 yang didalam bukunya, > > CSD, memiliki peran cukup > > kuat. Contohnya : Gani. Lalu yang bikin saya sedikit > > kecewa juga, kemana > > acara demo di Bogor. Soal penyebab demo yang salah > > satunya karena kenaikkan > > tarif bus juga tidak diperlihatkan. > > Habis nonton teman saya bilang, Kayanya tokohnya > > terlalu dilebih2kan deh. > > Masa naik gunung Gede sampai padang Surya Kencana > > Cuma bawa coklat doang. > > Mana perbekalan yang lainnya? Lalu saya bilang > > mungkin saja Gie tidur di > > pos. Tapi saya juga agak ga yakin. Seharusnya yang > > buat film memperhatikan > > hal itu. > > Tentang kalimat2 yang dibuat Gie yang menyentuh di > > CSD, rasanya kurang > > diperhatikan. Puisi2nya yang ga cuma satu dua biji > > kurang diperdengarkan. > > Perjalanan terakhirnya ke Semeru tidak disajikan. > > Padahal itulah saat2 > > terakhir orang besar ini sebelum mangkat. Sayangnya > > lagi peristiwa saat > > mayat Gie akan dibawa ke Jakarta. Saat kakaknya > > mencari peti mati dan saat > > singgah di sebuah lapangan terbang. Yang pada saat > > itu Arief mengobrol > > dengan seorang perwira. Padahal saya rasa saat > > seperti itu penting untuk > > mendukung bahwa tokoh ini riil dan disegani > > masyarakat. Bikan Cuma > > masyarakat yang mencibir seperti yang ditunjukkan > > diadegan. > > Waktu nonton juga rasanya banyak yang kurang ngerti > > sama ceritanya, jadinya > > banyak yang ngobrol sendiri. Dan rasa2nya banyak > > juga yang Cuma buang2 duit > > nonton film ini tapi mereka tidak merasakan disentuh > > oleh sosok Gie ini. > > Kecuali cara jalannya. > > Tapi biarin begitu, saya bangga ada yang berani > > memfilmkan Gie. Dan kagum > > akan hasil risetnya yang cukup menarik. > > > > > _________________________________________________________________ > > Express yourself instantly with MSN Messenger! > > Download today it's FREE! > > > http://messenger.msn.click-url.com/go/onm00200471ave/direct/01/ > > > > > > > > > > Yahoo! Groups Links > > > > > > [EMAIL PROTECTED] > > > > > > > > > > > > > > > ____________________________________________________ > Start your day with Yahoo! - make it your home page > http://www.yahoo.com/r/hs > > > > SPONSORED LINKS > Organizational culture > > --------------------------------- > YAHOO! GROUPS LINKS > > > Visit your group "Soe_Hok_Gie" on the web. > > To unsubscribe from this group, send an email to: > [EMAIL PROTECTED] > > Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. > > > --------------------------------- > > > > > > Elisabeth Zedhityasmi > > Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> <font face=arial size=-1><a href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hh7v5j2/M=323294.6903899.7846637.3022212/D=groups/S=1705136382:TM/Y=YAHOO/EXP=1123301680/A=2896125/R=0/SIG=11llkm9tk/*http://www.donorschoose.org/index.php?lc=yahooemail">Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who cares about public education</a>!</font> --------------------------------------------------------------------~-> Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/Soe_Hok_Gie/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/