Kompas, Sabtu 06 Agustus 2005  
"Gie" dan Problem Adaptasi 
Oleh: Eric Sasono

Fragmentasi film Gie diuji di hadapan penonton: berhasilkah ia 
membangun drama atau menciptakan benang merah?
Ketika mengadaptasi kisah hidup seseorang untuk dijadikan film, 
pembuat film akan menghadapi tiga persoalan.
Pertama, penyeleksian fakta sejarah. Tak mungkin seluruh tokoh dan 
peristiwa sejarah dimasukkan ke dalam film. Ada kebutuhan memfokuskan 
cerita sehingga banyak fakta sejarah yang harus dibuang. 
Kedua, pengembangan karakter dalam film tentang kisah hidup seseorang 
(biopik) tidak sama dengan film fiksi. Biopik berangkat dari tokoh 
nyata sehingga pengembangan karakter dalam film terjadi dalam 
kerangka rekonstruksi sejarah. Ada beberapa macam rekonstruksi 
sejarah itu. Pertama, dengan memenggal satu kurun tertentu dan 
membangun drama darinya, seperti film Tjoet Njak Dhien (Eros Djarot, 
1988).
Kedua, lewat penggambaran kurun demi kurun untuk membangun benang 
merah tokoh yang difilmkan. The Life and Death of Peter Sellers 
(Stephen Hopkins, 2004) dan Gie yang akan kita bahas masuk kategori 
ini. Ketiga, dengan menggunakan sudut pandang orang lain dalam 
melihat tokoh tersebut, seperti film Il Postino (Michael Radford, 
1994).
Ketiga adalah tarik-menarik antara drama dan konteks film. Cerita 
pada film biasanya larger than life, dramatis, dan tak selalu terjadi 
dalam hidup nyata. Tokoh dalam film biasanya hidup penuh drama 
berurai air mata atau petualangan hidup mati. Banyak tokoh yang 
dijadikan biopik hidup tanpa drama semacam itu. Maka, drama pada 
biopik bisa relatif biasa ketika dibandingkan dengan film fiksi. 
Pertimbangan membuat biopik akhirnya memang berdasarkan kesadaran 
bahwa tokoh punya arti penting dalam sejarah. Maka, pembuat film akan 
bergulat antara kebutuhan membangun drama dan penekanan konteks 
sejarah tokoh itu.
Banyak biopik yang minim drama namun bercerita tentang seorang yang 
penting dalam sejarah. Misalnya film Motorcycle Diaries (Walter 
Selles, 2004) yang mengisahkan perjalanan tokoh revolusioner Amerika 
Selatan, Ernesto "Che" Guevara. Film ini menggambarkan
pencerahan 
yang dialami oleh Che hingga akhirnya memutuskan menjadi seorang 
revolusioner. Jika tokoh dalam film itu bukan Che Guevara, mungkin 
cerita dalam Motorcycle Diaries tak layak dijadikan film. Komentar 
ini dikatakan antara lain oleh Roger Ebert, kritikus film terkenal 
Amerika.
Gie, film yang menceritakan kisah hidup Soe Hok Gie (SHG), salah satu 
tokoh mahasiswa paling penting dalam gerakan mahasiswa 1966, juga 
menghadapi ketiga persoalan di atas. Film yang disutradarai Riri Riza 
dan diproduksi Mira Lesmana punya persoalan lain karena tokoh ini 
sulit dipahami bahkan oleh orang-orang dekatnya semasih ia hidup. 
Selain ketiga persoalan dalam membuat biopik seperti yang saya sebut 
di atas, persoalan lain tentulah kesulitan memahami tokoh yang memang 
terkesan selalu sendirian sepanjang hidupnya ini.

Penyeleksian

Film ini sadar akan rumitnya penyeleksian fakta sejarah yang 
melingkupi tokoh SHG. Karena film memang tidak pernah berkewajiban 
menyeleksi fakta sejarah dengan menggunakan metodologi tertentu, maka 
penyeleksian fakta sejarah yang dilakukan Riri Riza memang sangat 
longgar dan persepsional.
Longgar dan persepsionalnya penafsiran itu bisa dilihat dalam 
beberapa kategori. Pertama, film ini menyempitkan peristiwa historis 
dan lokasi geografis yang berkaitan dengan tokoh SHG. Tulisan-di-
layar di awal film mengungkapkan kerangka konteks global dan nasional 
yang melingkupi hidup tokoh ini. Tulisan itu kurang lebih 
berbunyi "Dunia tahun 1950-an terlibat Perang Dingin. Semua orang 
sedang menunggu ke mana Sukarno akan berpihak". Kemudian Riri
Riza 
menambahkan konteks nasional dengan tulisan-di-layar berikutnya 
berupa kecenderungan Sukarno dekat dengan Partai Komunis Indonesia 
(PKI) serta pengangkatannya sebagai Presiden Seumur Hidup. Namun, 
konteks global dan nasional ini memang sebatas kerangka yang longgar 
karena narasi film ini kemudian memilih sudut pandang dan peristiwa 
yang dialami SHG dalam gambaran kehidupan yang sangat sehari-hari.
Kedua, film ini menghadirkan banyak tokoh fiktif. Keberadaan mereka 
menyempitkan fokus cerita karena mereka mewakili banyak tokoh dan 
peristiwa sejarah ketimbang penjelasan tokoh dan peristiwa satu demi 
satu. Selain itu, penghadiran tokoh fiktif ini juga dimaksudkan untuk 
menciptakan drama. Lewat tokoh-tokoh fiktif inilah Riri Riza berusaha 
menampilkan sisi emosi SHG serta karakterisasi guna membangun drama 
film ini. Kita akan bahas hal ini belakangan.

Pengembangan karakter

Film ini memilih mengembangkan karakter SHG lewat gambaran kurun 
waktu demi kurun waktu ketimbang memenggal saja kurun waktu yang 
spesifik. Hal ini berbeda misalnya dengan Tjoet Nyak Dhien yang 
memenggal sebagian kurun waktu kehidupan tokoh itu dan kemudian 
membangun drama darinya. Kecenderungan mengembangkan karakter lewat 
wakil-wakil peristiwa penting dalam kurun waktu akan membuat cerita 
menjadi terfragmentasi, terpecah-pecah. Fragmentasi terjadi karena 
representasi kurun waktu tertentu dalam film selalu bersifat 
referensial. Artinya, kurun waktu itu akan sulit dikenali secara 
terpisah oleh penonton apabila tak memiliki pengetahuan cukup 
mengenai signifikansi kurun waktu, peristiwa, dan tokoh-tokoh di 
dalamnya. Ini berbeda dengan pilihan memenggal kurun waktu yang 
paling dramatis. Drama sudah tersedia dengan pilihan semacam ini.
Fragmentasi semacam ini penuh risiko karena bagaimanapun, film harus 
bercerita sendiri tanpa harus diacu-acu kepada referensi lain. Film 
sejarah seperti Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin C Noer, 1984) sengaja 
memuat referensi ini dalam bangunan filmnya dengan keterangan teks 
tentang tokoh, lokasi, dan peristiwa agar film itu tak selalu harus 
diacu ke sumber-sumber lain. Contoh ini merupakan sebuah rekonstruksi 
utuh yang tak kita temukan pada Gie.
Fragmentasi dapat diatasi dengan membuat benang merah yang kuat 
terhadap tokoh yang difilmkan itu. Gie mencoba hal belakangan ini. 
Pada bagian awal film, penonton dikenalkan pada karakter SHG yang tak 
berkompromi terhadap penyimpangan. Perdebatan antara SHG dan guru 
sastranya mengenai apakah Chairil Anwar pengarang atau penerjemah 
puisi-puisi Andre Gide merupakan pengenalan pada karakter SHG yang 
menjadi pintu masuk mengenali karakter SHG selanjutnya. Kemudian film 
ini memberi gambaran masa kecil SHG ketika seorang sahabatnya, Djin 
Han, mengalami kekerasan dari bibinya. Djin Han mengungsi di rumah 
SHG akibat kekerasan tersebut. Ketika bibi Djin Han menyusul bersama 
seorang hansip, SHG menghalangi sampai akhirnya ia ikut menjadi 
korban kekerasan itu.
Tokoh bernama Djin Han ini adalah gabungan dari dua orang tokoh dalam 
kehidupan nyata SHG: Tjin Hok dan Efendi. Tjin Hok dan kekerasan 
bibinya muncul dalam catatan harian SHG, namun tak tercatat lagi 
ketika SHG dewasa. Sedangkan keluarga Efendi diduga menjadi korban 
pembantaian pada pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun. Tokoh fiktif 
ini bersama tokoh fiktif lain memang digunakan Riri Riza sebagai 
kendaraan memperlihatkan perjalanan perkembangan karakter SHG. Riri 
juga menggunakan tokoh fiktif dalam pergerakan mahasiswa yang dilalui 
oleh SHG. Ini akan kita bahas dalam bagian mengenai drama film ini.

Gie versus Sukarno

Dalam rangka mengembangkan karakter SHG, film ini tampak berusaha 
memanusiakan SHG ketimbang menjadikannya simbol semata. Hal ini 
digambarkan lewat kebanyakan penggambaran SHG dalam kehidupan 
keseharian ketimbang sebagai sesosok simbol. Salah satunya adalah 
penyejajaran SHG dengan Sukarno saat turunnya Surat Perintah Sebelas 
Maret yang mengakhiri kekuasaan Sukarno.
Bagian film yang menceritakan hal itu dibuka dengan sebuah radio yang 
menyiarkan turunnya surat itu dan SHG tertidur di sebuah bangku dekat 
radio tersebut. Gambar beralih ke Sukarno yang baru bangun tidur. 
Kemudian berpindah lagi ke SHG yang memulai kegiatan pagi hari. 
Lantas kembali lagi ke Sukarno yang berjalan mendekati jendela dan 
memandang keluar. Adegan terus berganti antara SHG dan Sukarno sampai 
ditutup dengan adegan SHG mandi dan Sukarno menghela napas panjang 
sebagai tanda hilangnya kekuasaan dari tangannya beralih ke tangan 
Soeharto. Sepanjang bagian ini, siaran radio terus terdengar.
Bagian ini tampak bermaksud menempatkan posisi SHG sebagai manusia 
biasa dalam peristiwa penting dalam sejarah bangsa ini. Namun, dengan 
perendengan antara kejatuhan Sukarno dan kehidupan personal SHG, 
muncul asosiasi bahwa kejatuhan Sukarno sejajar dengan kehidupan 
sehari-hari seorang anak muda biasa yang sedang mandi ketika 
peristiwa besar itu terjadi. Penggambaran ini mengimplikasikan bahwa 
SHG sebagai manusia—dan SHG bukan sebagai simbol—yang telah 
menyebabkan terjadinya peristiwa sejarah yang besar.
Pada titik ini, fragmentasi dalam film ini terasa mengganjal. Sukarno 
yang sepanjang film menjadi latar tiba-tiba muncul ke depan 
menebalkan kemanusiaan SHG. Sedangkan di bagian lain, SHG hanya 
manusia biasa yang tak digambarkan berperan sebesar itu dalam 
sejarah. Akhirnya bagian ini menampakkan karakter SHG yang mampu 
menentukan sejarah ketimbang seorang yang terlibat pusaran dan 
panggilan sejarah seperti narasi yang dikembangkan di seluruh bagian 
lain film ini.

Drama vis-a-vis konteks

Fragmentasi Gie ini memang akhirnya harus diuji di hadapan penonton. 
Apakah ia berhasil membangun drama atau menciptakan benang merah. 
Drama sebuah film muncul dari manipulasi emosi penonton. Drama 
terjadi ketika penonton berada dalam sebuah situasi emosional yang 
terarah. Cerita dalam film harus menimbulkan suasana psikologis 
tertentu, semisal kegembiraan, kesedihan. Suasana psikologis ini 
didapat dari dua hal. Pertama, keterikatan emosional antara penonton 
dan tokoh utama dalam film. Penonton harus mampu mengidentifikasi 
diri dengan tokoh utama dalam film. Kedua, peristiwa dalam film harus 
mampu menempatkan sang tokoh dalam pilihan-pilihan yang sulit, 
pilihan hidup mati yang menentukan yang turut melibatkan emosi sang 
tokoh itu, seperti Sophie's Chioce. Kedua hal ini harus koheren 
terbangun sepanjang film.
Usaha membangun drama dalam Gie dilakukan melalui tokoh-tokoh fiktif 
yang diciptakan untuk kebutuhan film ini. Tokoh fiktif pertama adalah 
Djin Han. Dengan tokoh Djin Han ini Riri Riza mencoba memberi ikatan 
emosional SHG terhadap pembantaian anggota PKI sesudah peristiwa 
Gerakan 30 September 1965. Tokoh Djin Han yang ketika kecil dibela 
oleh SHG digambarkan menjadi salah satu korban pembantaian. Hal ini 
memberi penjelasan emosional atas kegeraman SHG terhadap peristiwa 
besar dalam sejarah itu. Penonton diajak menyelami suasana emosional 
SHG terhadap sebuah peristiwa besar yang dialami bangsa ini. Bahkan 
kemudian keterikatan emosi antara SHG dan Djin Han juga menjadi 
penutup pada film ini.
Demikian pula dengan tokoh fiktif Jaka. Tokoh ini memberi kontras 
pada perjalanan dua orang intelektual. Yang satu setia pada pikiran 
lurus dan tak ikut arus serta mati dalam kesunyian, sementara yang 
lainnya turut arus sejarah dan menjadi seorang yang mengkhianati 
perjuangan dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas negara. SHG 
menjadi tokoh protagonis berupa seorang intelektual yang merdeka dan 
setia pada intelektualitasnya sehingga ia harus sendirian sepanjang 
hidupnya. Sedangkan Jaka adalah tokoh antagonis yang masuk ke DPR-GR 
sebagai utusan mahasiswa yang mendapat fasilitas kredit dari negara 
untuk membeli mobil. Tampak di sini Riri berpihak pada intelektual 
yang merdeka, sekalipun sendirian dan tak dipahami. Inilah yang 
diusulkan menjadi benang merah yang mengikat tokoh film ini.

Konteks bagi tokoh yang sendirian

Akhirnya memang dua hal yang berjalin inilah yang menjadi benang 
merah film yang ingin dimenangkan oleh Riri Riza: kesetiaan pada 
pikiran yang lurus dan keterasingan diri akibat tak dipahaminya 
kesetiaan itu. Hal ini menjadi sangat berarti dalam dua konteks.
Konteks pertama adalah konteks sejarah saat itu ketika SHG tidak 
pernah bisa dimengerti oleh lingkungannya. Ibunya tak kunjung 
mengerti kenapa ia terus berjuang bagai tak kenal lelah. Orang-orang 
bertanya di mana gerangan SHG sebenarnya berdiri ketika ia 
mempersoalkan pembantaian terhadap anggota PKI: di kanan atau di 
kiri. Penyesalan SHG bahwa ia ikut serta mendirikan pemerintahan Orde 
Baru yang sejak awal sudah memperlihatkan kecenderungan menjadi 
otoriter juga terasa ganjil bagi orang sekitarnya yang sedang 
merayakan sukses perjuangan.
Konteks kedua adalah konteks politik kontemporer. Kecenderungan Orde 
Baru menjadi otoriter, seperti dikhawatirkan SHG, benar-benar terjadi 
hingga akhirnya ditumbangkan dengan cara relatif serupa dengan Orde 
Lama. Film ini menempatkan SHG pada konteks kepolitikan kontemporer 
dengan sebuah tulisan-di-layar di akhir film kurang lebih: "Orde
Baru 
bertahan selama 32 tahun. Indonesia yang adil dan bersih dari korupsi 
yang dicita-citakan Soe Hok Gie belum juga tercapai hingga
sekarang".
Benang merah dalam konteks tampaknya memang dimenangkan film ini 
ketimbang drama. Film ini mentransendenkan diri menjadi lebih dari 
sekadar film dan bicara pada banyak konteks. Mungkin banyak mahasiswa 
atau bekas mahasiswa yang terlibat gerakan tahun 1998 akan teringat 
pada perjuangan mereka belum lama ini menjatuhkan Soeharto. Mungkin 
juga akan sama banyaknya yang merasa bahwa cita-cita reformasi yang 
diperjuangkan tahun 1998 berada dalam pertaruhan yang sama besarnya 
seperti halnya yang dialami SHG pada masa hidupnya. Di sini Riri Riza 
tampak ingin mengingatkan bahwa banyak pekerjaan besar yang belum 
selesai. Kehidupan politik kita masih harus dikawal oleh orang-orang 
seperti SHG. Sekalipun mungkin risikonya adalah tak dipahami oleh 
orang-orang terdekatnya dan mati dalam kesetiaan terhadap cita-
citanya.
Drama pada film ini kemudian memang agak tercecer karena pilihan 
fragmentasinya. Usaha menciptakan emosi lewat tokoh Djin Han tak 
cukup kuat karena Djin Han lebih tampak hadir sebagai wakil ide 
ketimbang mewakili manusia. Djin Han ditampilkan mempunyai latar 
kehidupan yang miskin sehingga ia memilih mengikuti mimpi komunisme 
akan kemakmuran yang sama rata sama rasa. Hal ini bagaikan 
menjelaskan keterlibatan kebanyakan orang Indonesia terhadap PKI saat 
itu.
Demikian pula dengan tokoh Jaka. Jaka juga tampil sebagai wakil bagi 
gagasan akan kurun sejarah paruh kedua dasawarsa 1960-an. Saat itu 13 
orang wakil mahasiswa masuk ke DPR-GR untuk "mengawal"
perubahan 
politik setelah kejatuhan Sukarno agar kekuatan politik Orde Lama 
tidak kembali naik. Mereka akhirnya jatuh ke dalam gelimang kekuasaan 
dan menjadi bagian dari politik otoriter yang dijalankan oleh Orde 
Baru. Usaha Riri menciptakan tokoh protagonis-antagonis ini akhirnya 
memunculkan gagasan akan kemandirian SHG dan kesetiaannya pada 
pikirannya yang lurus ketimbang memunculkan drama. Ini tak 
terhindarkan mengingat drama pada kehidupan SHG yang sesungguhnya 
memang hanya sebatas itu. Namun, ketika film ini memilih melakukan 
rekonstruksi yang sangat longgar, sebenarnya pilihan-pilihan 
menjadikan drama yang lebih kuat telah tersedia. Riri bisa memilih 
sebuah cerita yang koheren yang tak membutuhkan banyak referensi. 
Fragmentasi film ini membuat ide-ide yang ditangkap terpecah-pecah 
dalam kurun waktu demi kurun waktu yang digambarkannya. Bisa jadi hal 
ini karena pilihan Riri Riza yang memang terbatas, namun bisa juga 
karena memang sulit memahami tokoh serumit Soe Hok Gie.

Eric Sasono Kritikus Film
 



--- In Soe_Hok_Gie@yahoogroups.com, Lisa Tanoetirta 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> hi...
> ogut juga bukan mau nambah ricuh..tapi mungkin Norman ada benernya 
juga, banyak yang ga ngeh siapa Gie. dan jadi salah kaprah pas nonton 
pelemnya...(gue tadinya bagian dari barisan itu..)..Tapi sebagai 
catatan, menurut sutradara dan produsernya (gw cuma mengutip), film 
ini bukan catatan biografi ataupun kisah sejarah hidupnya Gie secara 
plek, tapi interpertasi bebasnya di pembuat, githu...
>  
> Trus, 
> (kalo aku sech), justru filmnya yang agak2 ajaib memacu untuk 
membaca bukunya..dan akhirnya gue bisa bilang ke temen2 gue 
yang "masih ada" di "barisan ga dong / ga ngerti.red", .."Makanya 
baca! jangan cuma nonton doang!..
> 
> Btw, Ru uu..kamu agak2 melayu ya..ada di mana?
>  
> 'Salam
> 
> ru uu <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> 
> yeahhh itu semua ada jalan dan yang terbaiknya gimana
> buat anda (satya...) gw juga salut dengan anda yang
> bisa memerhatikan sebuah hasil karya seseorang dan
> yang buat gw sesalin bahwa kenapa penilaian anda tidak
> didasarkan perhibahan kerja yg nyata anda bisa aja
> mengklaimnya tetapi apakah anda dan org2 yang merespon
> film ini bisa mengerjakan seperti halnya sang
> sutradara,.....ada baiknya kontribusi yg anda berikan
> adalah masukan dan advice dan bukan bersifat
> "ngeGude".......gw bukannya jg mau ngebla siapapun
> tapi kesannya gw nga bisa.....toh seperfectnya orang
> mengerjakan sesuatu pasti ada hal yang kurang dan itu
> lumrah.......
> salam kenal bauat anda....dan maaf kalo ternyata ga
> enak tuh.....cu
> 
> --- Norman Satya <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> 
> > Terus terang film tentang Gie ini banyak menuai
> > protes dari teman2 saya dan 
> > juga saya sendiri. Kata teman saya, sutradanya
> > payah. Rasa2nya film ini 
> > kurang gregetnya sebagai sebuah biografi tentang
> > seseorang bernama Soe Hok 
> > Gie. Saya rasa banyak peristiwa2 yang justru lebih
> > menonjolkan peran tokoh 
> > tersebut justru hilang entah kenapa. Contohnya
> > kejadian waktu gie memimpin 
> > demonstrasi, disitu ga dikasih liat peran Gie yang
> > benar2 menonjol. Padahal 
> > mungkin dari situlah kebesaran, wibawa, dan jiwa
> > kepemimpinan Gie bisa 
> > ditonjolkan, terutama karena dialah salah satu
> > arsitek demo saat itu.
> > Lalu yang dirasa mengganjal lagi ialah tokoh2 yang
> > tidak jelas, terutama 
> > bagi mereka yang belum membaca CSD. Teman saya
> > bingung, siapa orang yang 
> > dikatai menteri goblok, siapa yang pergi sekolah
> > dengan Gie, bahkan ada yang 
> > bertanya siapa yang habis bangun tidur di istana
> > tanggal 11 Maret itu. Saya 
> > juga bingung kemana tokoh2 yang didalam bukunya,
> > CSD, memiliki peran cukup 
> > kuat. Contohnya : Gani. Lalu yang bikin saya sedikit
> > kecewa juga, kemana 
> > acara demo di Bogor. Soal penyebab demo yang salah
> > satunya karena kenaikkan 
> > tarif bus juga tidak diperlihatkan.
> > Habis nonton teman saya bilang, Kayanya tokohnya
> > terlalu dilebih2kan deh. 
> > Masa naik gunung Gede sampai padang Surya Kencana
> > Cuma bawa coklat doang. 
> > Mana perbekalan yang lainnya? Lalu saya bilang
> > mungkin saja Gie tidur di 
> > pos. Tapi saya juga agak ga yakin. Seharusnya yang
> > buat film memperhatikan 
> > hal itu.
> > Tentang kalimat2 yang dibuat Gie yang menyentuh di
> > CSD, rasanya kurang 
> > diperhatikan. Puisi2nya yang ga cuma satu dua biji
> > kurang diperdengarkan. 
> > Perjalanan terakhirnya ke Semeru tidak disajikan.
> > Padahal itulah saat2 
> > terakhir orang besar ini sebelum mangkat. Sayangnya
> > lagi peristiwa saat 
> > mayat Gie akan dibawa ke Jakarta. Saat kakaknya
> > mencari peti mati dan saat 
> > singgah di sebuah lapangan terbang. Yang pada saat
> > itu Arief mengobrol 
> > dengan seorang perwira. Padahal saya rasa saat
> > seperti itu penting untuk 
> > mendukung bahwa tokoh ini riil dan disegani
> > masyarakat. Bikan Cuma 
> > masyarakat yang mencibir seperti yang ditunjukkan
> > diadegan.
> > Waktu nonton juga rasanya banyak yang kurang ngerti
> > sama ceritanya, jadinya 
> > banyak yang ngobrol sendiri. Dan rasa2nya banyak
> > juga yang Cuma buang2 duit 
> > nonton film ini tapi mereka tidak merasakan disentuh
> > oleh sosok Gie ini. 
> > Kecuali cara jalannya.
> > Tapi biarin begitu, saya bangga ada yang berani
> > memfilmkan Gie. Dan kagum 
> > akan hasil risetnya yang cukup menarik.
> > 
> >
> _________________________________________________________________
> > Express yourself instantly with MSN Messenger!
> > Download today it's FREE! 
> >
> http://messenger.msn.click-url.com/go/onm00200471ave/direct/01/
> > 
> > 
> > 
> >  
> > Yahoo! Groups Links
> > 
> > 
> >     [EMAIL PROTECTED]
> > 
> >  
> > 
> > 
> > 
> 
> 
> 
>             
> ____________________________________________________
> Start your day with Yahoo! - make it your home page 
> http://www.yahoo.com/r/hs 
> 
> 
> 
> SPONSORED LINKS 
> Organizational culture 
> 
> ---------------------------------
> YAHOO! GROUPS LINKS 
> 
> 
>     Visit your group "Soe_Hok_Gie" on the web.
>   
>     To unsubscribe from this group, send an email to:
>  [EMAIL PROTECTED]
>   
>     Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of 
Service. 
> 
> 
> ---------------------------------
> 
> 
> 
> 
> 
> Elisabeth Zedhityasmi
> 
> Send instant messages to your online friends 
http://uk.messenger.yahoo.com




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
<font face=arial size=-1><a 
href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hh7v5j2/M=323294.6903899.7846637.3022212/D=groups/S=1705136382:TM/Y=YAHOO/EXP=1123301680/A=2896125/R=0/SIG=11llkm9tk/*http://www.donorschoose.org/index.php?lc=yahooemail";>Take
 a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who 
cares about public education</a>!</font>
--------------------------------------------------------------------~-> 

 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Soe_Hok_Gie/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke