Diambil dari 
http://roythaniago.wordpress.com/2010/08/18/membicarakan-industri-musik/



Membicarakan Industri Musik
Oleh: Roy Thaniago


Nada-nada yang minor
Lagu perselingkuhan
Atas nama pasar semuanya begitu klise
Lagu cinta melulu
Kita memang benar-benar Melayu
Suka mendayu-dayu
(Cinta Melulu – Efek Rumah Kaca)

Misalkan televisi di rumah kita matikan, juga radio. Dijamin  telinga Anda 
tetap 
tidak akan bebas dari kepungan bunyi musik. Karena  ada yang tidak diam: 
pengamen di kereta, pemutar musik milik tetangga,  nada sambung di ponsel 
kolega, sampai anak-anak di mulut gang yang  bernyanyi sambil berlarian. Mereka 
tampak kompak dalam menyanyikan lagu  bertema cinta.

CINTA melulu, begitu Efek Rumah Kaca, band asal  Jakarta, merespon kondisi 
industri musik di Indonesia yang seragam –  padahal masyarakatnya beragam – 
menggarap tema percintaan atau  perselingkuhan dalam lagu-lagunya.

Pun kondisi serupa pernah dialami industri musik kita pada periode  lain. 
Misalnya di pertengahan 1970-an, Rinto Harahap sangat berkibar  sebagai 
pencipta 
lagu bertema cinta seperti Benci Tapi Rindu, Kaulah Segalanya, dan Aku Ingin 
Cinta Yang Nyata. Atau Pance Pondaag lewat lagu-lagunya seperti Tak Ingin 
Sendiri dan Engkau Segalanya Bagiku.

Lalu, kalau berdirinya perusahaan rekaman seperti Lokananta, Remaco,  dan Irama 
di tahun 1950-an diletakkan sebagai penanda dimulainya  industri musik di tanah 
air, artinya sudah lebih dari setengah abad usia  industri musik di Indonesia. 
Namun, apakah kalangan industri musik –  pemusik, pencipta lagu, produser, 
perusahaan rekaman, media massa –  belajar dari rentang waktu yang tidak 
sebentar ini?

Dengan munculnya lagu Cinta Melulu dari Efek Rumah Kaca, rasanya  tidak. 
Mayoritas dari mereka, kalangan industri musik, tidak cukup  belajar mengenai 
kesejarahan, untuk melihat capaian-capaian bermusik apa  saja yang sudah 
dilakukan di masa lampau. Mereka tidak cukup paham  untuk melihat musik bukan 
semata-mata sebagai komoditas layaknya  cengkeh, timah, atau bawang merah. 
Akhirnya, beginilah nasib industri  musik di Indonesia: genit, mengambang, dan 
tidak kontekstual dengan  keadaan sosio-kultural masyarakat yang 
mengelilinginya.

Kurang lebih luapan macam tadi yang keluar seusai membaca habis buku karangan 
Muhammad Mulyadi, Industri Musik Indonesia: Suatu Sejarah.  Buku yang merupakan 
tesis pascasarjana Program Ilmu Sejarah Universitas  Indonesia ini berisikan 
fakta-fakta historis industri musik di  Indonesia antara tahun 1960-1990. Fakta 
yang kalau dibandingkan dengan  situasi sekarang, menunjukkan bahwa 
perkembangan 
industri musik di  Indonesia hanya maju-mundur, namun sering kali hanya jalan 
di 
tempat,  bahkan mengulangi kebodohan dan keteledoran.

Penulisnya, Muhammad Mulyadi, adalah seorang pengajar di Universitas  
Padjadjaran, Bandung. Dengan kekayaan data yang sebagian besar  dikumpulkan 
dari 
berbagai artikel di media massa, ia membeberkan  detil-detil peristiwa dan 
konteks di mana musik sebagai industri  berjalan beriringan dengan situasi 
ekonomi-politik yang bersinggungan  dengan unsur-unsur lain seperti konsumen, 
teknologi, media massa, dan  pelaku industri musik (produser, promotor, 
pencipta 
lagu, dan penyanyi).

Kajiannya ini hanya dibatasi pada wilayah musik berjenis Pop, Rock,  dan Jazz, 
karena ketiganya dianggap mempunyai dinamika tinggi dalam  konstelasi politik, 
ekonomi, dan perkembangan teknologi. Sedang musik  Dangdut, walau ia akui 
memiliki dinamika yang sama, tapi Dangdut  memiliki aspek-aspek khusus yang 
membutuhkan penelitian tersendiri.

Secara garis besar, buku ini membicarakan persoalan industri musik di  
Indonesia 
dalam tiga hal besar, yang dituangkan dalam tiga bab, yakni  kondisi menuju 
pertumbuhan industri musik, industri musik panggung, dan  industri rekaman.

Pada bab pertama, Mulyadi mencatatkan beberapa unsur yang  mengkondisikan 
pertumbuhan industri musik. Digambarkan bagaimana musik  sebagai industri pada 
masa Orde Lama mengalami nasib yang sulit. Lewat  pidato Soekarno pada 17 
Agustus 1959, Penemuan Kembali Revolusi Kita,  yang menyerukan sikap melindungi 
kebudayaan nasional dari pengaruh  asing, melahirkan kebijakan anti barat yang 
begitu ketat. Dan inilah  yang kemudian terjadi: siaran radio berhenti 
menyiarkan musik yang  berbau barat, segala bentuk musik berunsur barat 
dilarang 
pentas dan  rekaman, nama band dan musisi berbahasa Inggris dipaksa berubah, 
bahkan  pemuda gondrong menjadi sasaran penertiban. Kondisi ini lantas  
memunculkan musik-musik daerah untuk tampil ke permukaan: Bengawan Solo,  Neng 
Geulis, Ampar-ampar Pisang, Ayam Den Lapeh, Sarinande, Angin  Mamiri, dan 
sebagainya.

Baru pada era Orde Baru, industri musik di Indonesia mengalami  kemajuan karena 
melonggarnya kebijakan anti barat setelah diruntuhkannya  komunisme. Putaran 
ekonomi yang dihasilkan dari sektor industri musik  meningkat kencang. 
Perusahaan rekaman, panggung pertunjukkan, dan musisi  menikmati keadaan ini 
dengan begitu meriah.

Pada masa ini, musik – juga kesenian lain termasuk wayang –  sebenarnya 
ditunggangi Orde Baru untuk keperluan politis. Musik dipakai  militer untuk 
mengintegrasikan diri dengan rakyat untuk sama-sama  memberangus komunisme. 
Mereka melihat musik sebagai alat revolusi yang  harus ikut berpolitik. 
Artis-artis yang tampil di TVRI kala itu, menjadi  corong propaganda dalam 
melancarkan program-program pemerintah.

Pertunjukan musik dari panggung ke panggung, menjadi bahasan pada bab  kedua 
buku setebal 223 halaman ini. Pembaca disuguhkan data tentang  dinamika 
kehidupan musik di atas pentas yang ditonton massa dalam jumlah  besar. 
Gambaran 
tentang bagaimana perubahan konsumsi musik sebagai  produk auditif menjadi 
produk visual turut menyumbangkan pengaruh  terhadap sajian musik. Ini ditandai 
dengan pertunjukan musik rock yang  lebih menampilkan aksi panggung yang 
menegangkan, atraktif, dan  mengerikan ketimbang sajian musiknya itu sendiri. 
Kelompok band dengan  aksi panggung biasa-biasa saja hanya dihadiahi cemoohan 
penonton, bahkan  tak jarang kerusuhan.

Pada bab ketiga, disoroti secara mendalam industri rekaman yang  pembahasannya 
turut menyeret perusahaan rekaman, produser yang cuma cari  untung, pencipta 
lagu yang hanya jadi boneka, teknologi rekaman,  pemasaran kaset, hingga 
pembajakan yang pada saat Anda membaca resensi  ini, tidak pernah diseriusi 
pemerintah.

BPKB Mobil Sebagai Jaminan

Buku ini tidak hanya mengerutkan mata pembaca dengan tahun, rupiah,  nama 
kelompok musik, musik sebagai hobi, nama perusahaan rekaman, honor  artis, atau 
pun tipe perangkat tata suara – yang kesemuanya perlu  diperdebatkan lagi 
seberapa penting relevansinya dengan kepentingan  penulisan. Tapi Mulyadi turut 
menceritakan kisah-kisah unik dan lucu  yang menghibur. Misalnya, karena 
permasalahan perangkat tata suara yang  memble melahirkan kerusuhan penonton 
yang merasa suara musik terlalu  kecil, atau Ike & Tina Turner yang ngambek 
pulang ke negaranya tanpa  permisi sebab kecewa kualitas perangkat tata suara.

Maraknya penipuan oleh promotor terhadap artis melahirkan cerita lain  pula. 
Misalnya, pada acara Rock Concert tahun 1984 di Ujung Pandang,  kalangan artis 
yang mengisi acara terpaksa menahan BPKB mobil panitia  penyelenggara karena 
pembayaran honor belum selesai. Atau cerita Aria  Junior yang dibayar dengan 
cek 
kosong dan tiket pesawat tak berlaku usai  pentas di Bangka tahun 1976.

Sebagai fakta sejarah, buku ini layak diapreasi karena usahanya dalam  
menghimpun data yang begitu banyaknya. Lebih dari 25 macam sumber data  menjadi 
rujukan yang memamerkan catatan kaki sebanyak 775 buah. Hanya  disayangkan 
bahwa 
buku ini sekedar melakukan pencatatan tanpa memberi  tafsir sang penulis 
terhadap peristiwa-peristiwa yang ada di dalamnya.  Sehingga pembaca hanya akan 
puas dengan pameran data yang begitu kaya  namun tanpa kerangka sudut pandang 
yang dipilih penulis demi  menerjemahkannya kepada pembaca.

Alhasil, buku yang sangat bermanfaat dan penting sebagai usaha awal  
pengumpulan 
kepingan sejarah industri musik yang tercecer ini,  mengesankan keluguan. Ia 
tidak skeptis, tidak curiga dalam membeberkan  peristiwa dan konteks yang 
melingkupi. Seolah-seolah semua persoalan  yang ada cukup dilihat secara 
hitam-putih, yang mudah diberitakan tanpa  beban politis, kultural, atau pun 
persinggungan kepentingan lainnya.

Buku ini akan lebih sedap jika disertai indeks, dan kalau perlu  contoh-contoh 
rekaman musik yang ada. Sehingga karenanya pembaca bisa  mengabaikan gaya 
bahasanya yang melelahkan. Hingga lantas larut dalam  luapan yang 
menjengkelkan, 
bahwa kondisi industri musik kini pun tidak  lebih baik dari sebelumnya. Bahwa 
produser yang memakai kerangka pikir  dagang masih mendominasi kerja musisi. 
Bahwa posisi musik tidak lebih  bernilai dari sekilo cabe merah keriting. Bahwa 
musisi berkutat pada  bahasa musikal yang tidak berkembang dan lebih banyak 
mengekor. Bahwa  pembajakan masih terjadi, bahkan dengan lebih meriah, leluasa, 
dan tanpa  dosa. Bahwa kebodohan lama masih diulangi lagi hingga hari ini.

Jadi, kalau ada seorang pengamat musik yang berkata bahwa kondisi  industri 
musik di Indonesia kini sudah lebih baik, lebih baik tidak usah  percaya. 
Apalagi argumennya lemah: karena musik dalam negeri yang  merajai, tidak 
seperti 
era sebelumnya. Ia mungkin perlu diberitahu,  bahwa penjajahan 
kultural-ekonomi-sosial mudah sekali berganti wajah.  Kita menjumpainya di 
segala bentuk komodifikasi musik saat ini.
Lagu cinta melulu
>Kita memang benar-benar melayu
>Suka mendayu-dayu
>Lagu cinta melulu
>Apa karena kuping melayu
>Suka yang sendu-sendu?Dimuat di Koran Jakarta, 14 Agustus 2010


Kirim email ke