Melacak Jejak Cinta

"Mengapa saya tidak betah berlama-lama di masjid seusai shalat?"
"Mengapa saya selalu merasa berat hati saat imam membaca surat-surat yang
panjang dalam shalat jamaah yang saya ikuti?"
"Mengapa saya sulit bangun malam untuk mengerjakan shalat barang tiga
rakaat?"
"Mengapa saya tak kunjung bisa mengkhatamkan bacaan al-Qur`an sekali
sebulan, padahal saya tahu keutamaannya?"
Masih ada ratusan bahkan ribuan pertanyaan 'mengapa' seperti pertanyaan di
atas yang mungkin salah satunya menghampiri masing-masing kita. Jawaban dari
semua pertanyaan itu hanya satu: karena cinta kita kepada Allah terlalu
lemah, atau bahkan telah padam dan tergantikan oleh cinta kepada selain-Nya.

Tak boleh ada dua cinta
Ummul mukminin 'Aisyah ra. menyampaikan, "Seringkali ketika kami sedang
asyik bercakap-cakap dengan Rasulullah saw., tiba-tiba beliau seakan tidak
mengenali kami. Yaitu jika terdengar seruan adzan."

Begitulah Rasulullah saw. dalam mencintai Allah. Beliau telah
mempersembahkan seluruh hatinya kepada Allah. Apa pun yang dicintainya di
dunia ini (beliau menyatakan bahwa beliau mencintai wanita, dan 'Aisyah
adalah wanita yang paling dicintai sepeninggal Khadijah) tak akan pernah
mengalahkan cinta beliau kepada Allah. Maka ketika adzan dikumandangkan,
hati beliau pun segera 'terbang' meninggalkan dunia ini, tidak mengenal
siapa-siapa lagi, meski itu wanita yang paling beliau kasihi.

Dan begitulah hati. Ibarat bejana ia mesti dipenuhi dengan kecintaan kepada
Allah. Jika tidak, bagian yang kosong itu pasti akan diisi oleh kecintaan
kepada selainnya. Jika sudah demikian adanya, ia tidak akan diterima oleh
Allah. Hati hanya boleh diisi dengan kecintaan kepada Allah dan kecintaan
kepada apa saja yang diperintahkan atau diizinkan oleh-Nya.
Dan begitulah cinta, ia hanya ada dua: cinta kepada Allah serta cinta
karena-Nya, dan cinta kepada selain Allah serta cinta karena selain-Nya.
Keduanya akan memperebutkan hati, tempat terbaik untuk bertahta. Keduanya
tak mungkin rela berbagi.

Karena tak Kenal
Jika kita belum mendapati cinta kepada Allah di dalam hati, atau masih
dengan mudah membiarkan hati kita diisi dengan kecintaan kepada dan karena
selain Allah, itu pasti karena kita belum mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya. Sebab jika kita telah mengenal Allah, nama-nama-Nya, dan
sifat-sifat-Nya sebagaimana mestinya, kecintaan kepada Allah itu pasti akan
tumbuh subur dengan cepatnya.

Bagaimana bisa hati kita tidak mencintai Allah dan bergerak karena cinta
kepada-Nya jika ia tahu bahwa Allah Mahakuasa; tidak ada sesuatu pun yang
terjadi di alam ini kecuali dengan kehendak-Nya? Bagaimana bisa hati kita
tidak mencintai Allah dan berbicara karena cinta kepada-Nya jika ia mengerti
bahwa Allah Mahasempurna; segala keindahan dan kenikmatan ini adalah
anugerahnya? Bagaimana hati kita tidak mencintai Allah jika ia mengerti
bahwa Allah Maha Pengasih, Maha Penyabar, Maha Bijaksana, Maha Menjaga, dan
seterusnya?
Semakin dalam tadabbur kita kepada nama-nama dan sifat-sifat-Nya, ~dengan
anugerah-Nya~ semakin dekatlah kita kepada cinta kepada-Nya.

Karena tak tahu diri
Jika kita telah mengenal Allah dengan baik, tetapi tutur kata dan perilaku
kita masih saja belum mencerminkan seorang yang mencintai Allah, itu pasti
karena kita adalah si hamba yang tak tahu diri, tak mengerti berterima
kasih.
Apa yang akan diperbuat oleh seseorang kepada orang lain yang setiap harinya
menyediakan sarapan pagi, makan siang, dan makan malam terlezat di dunia,
gratis, tanpa bea sepeser pun? Apa yang akan diperbuat oleh seseorang kepada
orang lain yang setiap harinya menyediakan kebutuhan-kebutuhan kita atau
menjamin kecukupan finansial kita? Lebih sederhana lagi, bagaimana yang kita
lihat sikap seorang bawahan kepada atasannya?

Nah, bukankah Allah telah dan terus memberikan semua yang kita butuhkan?
Bukankah Allah yang mencukupi semua keperluan hidup kita? Oksigen, air,
buah-buahan, biji-bijian, dan semuanya, bukankah itu datang Allah? Betapa
tak tahu dirinya kita jika kita belum juga berusaha mencintai-Nya dengan
sepenuh lagi. Apalagi, semua yang kita kerjakan dalam cinta kepada-Nya,
semua kebaikannya akan kembali kepada kita sendiri.

Sepuluh tanda cinta
Dalam Raudhatul Muhibbin Ibnul Qayyim menjelaskan, ada sepuluh perkara yang
akan hadir sebagai pertanda cinta. Maknanya jika memang ada cinta pada diri
seseorang, pastilah salah satu atau keseluruhan dari kesepuluh tanda cinta
ini akan tampak pada dirinya.

*Pertama*, selalu memandang yang dicinta. Seorang yang mencinta ia akan
berusaha untuk memandang yang dicintainya. Apa pun syarat yang diajukan oleh
yang dicintainya untuk dapat memandang wajahnya, pasti akan dipenuhinya. Di
dunia orang yang mencintai Allah tak akan bisa memandang-Nya, tetapi di
akhirat Dia menjadikan 'memandang wajah-Nya' sebagai nikmat terbesar bagi
mereka. "

*Kedua*, tertunduk saat dipandang oleh yang dicinta. Saat dipandang oleh
yang dicinta seseorang pasti akan tertunduk; entah karena malu atau karena
khawatir tidak bisa memenuhi apa yang diinginkannya. Begitu pun dengan
seseorang yang mencintai Allah. Ia yang setiap saatnya ~bahkan saat ia tak
sadarkan diri, terlelap dibuai mimpi~ senantiasa dilihat oleh Allah,
mestinya juga tertunduk; terutama karena malu. Malu karena tidak mengerjakan
hal-hal yang akan mengantarkannya kepada cinta dengan sebaik-baiknya. Malu
karena hatinya masih sering mendua.

*Ketiga*, banyak menyebut dan mengingatnya. Ini adalah tanda cinta yang
sering tampak pada diri seseorang saat ia mencintai sesuatu dan terkadang
tidak disadarinya. Seringkali, orang lain yang lebih dulu menyadari ada
perubahan pada dirinya. Pun demikian laiknya orang yang mencintai Allah.
Menyebut-Nya dalam suka dan duka, serta menjadikan bibir senantiasa basah
dengan dzikir adalah tanda cinta kepada-Nya telah bersemi di hati.

*Keempat*, tak sabar untuk berjumpa dengannya. Salah satu tanda cinta kita
kepada Allah adalah jika kita rindu untuk segera berjumpa dengan-Nya. Semua
tahu, hanya satu kata yang akan melepas kerinduan itu. Kematian. Namun
ketika hal itu ditanyakan kepada kebanyakan kita, jawaban yang terlontar
adalah 'belum siap'. Jadi, benarkah kita mencintai Allah?

*Kelima*, mencintai negerinya. Negeri di mana orang-orang yang mencintai
Allah akan berjumpa dengan-Nya dan memandang wajah-Nya adalah surga di
akhirat kelak. Maka, jika ada orang yang mengaku mencintai Allah dengan
sepenuh hati tetapi ia masih sibuk dengan dunianya, pengakuannya masih
dipertanyakan. Bukannya tak boleh mengurus dunia, tetapi yang tak boleh
adalah tertipu dan menjadi lalai oleh dunia.

*Keenam*, mencintai apa saja yang dicintainya dan berhubungan dengannya.
Seorang pecinta sejati akan mencari tahu apa saja yang dicintai oleh yang
dicintainya. Juga, jika ia jauh dari kekasihnya, ia akan mencari kabar atau
apa saja yang berhubungan dengannya. Adalah Allah telah memudahkan urusan
ini. Semua yang dicintai-Nya dan berhubungan dengan-Nya, telah Allah
jelaskan dalam kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya. Yang tersisa tinggal
pembuktian dari mereka yang mengaku mencinta.

*Ketujuh*, bersemangat saat dikun-junginya. Seorang pecinta akan bergembira
dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya saat tahu kekasihnya akan
mengunjunginya. Apalagi ia diberitahu bahwa kekasihnya akan membawa semua
kesenangannya. Jika kita mengaku mencintai Allah, Rabbul 'alamin, mari kita
dengarkan, "Pada sepertiga malam yang terakhir," demikian utusan Allah
menjelaskan, "Allah turun ke langit dunia."
Seberapa seriuskan kita mempersiapkan diri kita saat itu?

*Kedelapan*, senang dengan apa yang disenanginya. Seorang suami atau istri
yang benar-benar mencintai pasangannya, ia pasti akan menyesuaikan diri
dengan keadaan kekasihnya. Ia akan berusaha menyenangi apa yang
disenanginya, meski awalnya agak dipaksakan. Begitu pun dengan orang yang
mencintai Allah. Salah satu tandanya, ia tidak akan melewatkan sesuatu yang
dicintai oleh Allah, kecuali ia ikut ambil bagian di sana.

*Kesembilan*, suka berduaan dengannya. Terutama di saat sepi, sunyi, dan
tidak ada yang mengganggu. Bagi orang yang mencintai Allah, saat itu adalah
saat ia sujud ~karena itu adalah saat ia paling dekat dengan-Nya~ dan di
sepertiga malam yang terakhir, karena alasan seperti tersebut sebelumnya.

*Kesepuluh*, menjauhi segala hal yang menjauhkannya darinya. Karena orang
yang mencinta selalu ingin dekat dengan kekasihnya, secara otomatis ia tidak
suka kepada semua perkara yang akan menjauhkan dirinya dari kekasihnya.
Jadi, orang yang mencintai Allah, pantang bermaksiat. Kalau pun itu
dilakukannya ~dan tidak ada manusia yang selamat dari hal ini~ ia akan
segera kembali kepada-Nya, ia akan segera bertaubat dan memohon ampun
kepada-Nya. Ia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk meraih kembali
cintanya.


-- 
Best Regard
Erwin Arianto,SE
えるウィン アリアンと
See my Article On http://erwinarianto.blogspot.com/
See My poem http://erwinarianto.blogspot.com/search/label/Puisi


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke