Di suatu ketika
Saat air menghilang dari daratn bumi
saat kemarau tiba
dan bencana datang tanpa diundang

Bumiku tercinta
Ribuan manusia hidup dipangkuanmu
ribuan manusia telah tumbuh dan mati disini
ribuan manusia telah terberkati oleh mu

Saat ini kau tak lagi muda
kau tak elok seperti dahulu
kau kian renta dan rapuh
Jalanmu semakin tertatih

Bumiku tercinta
Tahanlah amarahmu jangan kau keluarkan lava
sabarkan dirimu untuk tidak bergempa
bila kau murka kami pasti merana

Bumiku tercinta
Kau semakin renta
dan wahai umatmanusia sadarlah
mari kita jaga bumikita
bila tidak siap bencana lah yang kita terima

"Mari selamatkan bumi kita, dengan memulai dari hal kecil, stop pembalakan
liar, stop pembuangan  sampah...., stop polusi, hemat energi, tanamlah dan
jagalag pohon, buang lah pada tempatnya. Satu bumi kita untuk semua"

Dalam perenunganku
Cikarang, 25 July 2007
Erwin arianto





On 7/25/07, Lestariyanti <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>      FYI,
>
> -eri-
>
>
> *"When you're frightened, don't sit still, keep on doing something. The
> act
> of doing will give you back your courage." [Grace Ogot]
> **
> *----------------------------------------
>
> *Harta Karun Untuk Semua
> ***Dewi Lestari*
> *
> Hari ini kiriman buku yang saya pesan dari Amazon.com 
> <http://amazon.com/>datang. Ada satu buku
> yang langsung saya sambar dan baca seketika. Judulnya: "Stuff - The Secret
> Lives of Everyday Things". Buku itu tipis, hanya 86 halaman, tapi
> informasi
> di dalamnya bercerita tentang perjalanan ribuan mil dari mana
> barang-barang
> kita berasal dan ke mana barang-barang kita berakhir.
>
> Dimulai sejak SD, saat saya pertama kali tahu bahwa plastik memakan waktu
> ratusan tahun untuk musnah, saya sering merenung: orang gila mana yang
> mencipta sesuatu yang tak musnah ratusan tahun tapi masa penggunaannya
> hanya
> dalam skala jam-bahkan detik? Bungkus permen yang hanya bertahan sepuluh
> detik di tangan, lalu masuk tong sampah, ditimbun di tanah dan baru hancur
> setelah si pemakan permen menjadi fosil.
>
> Sukar membayangkan apa jadinya hidup ini tanpa plastik, tanpa cat, tanpa
> deterjen, tanpa karet, tanpa mesin, tanpa bensin, tanpa fashion. Dan
> sebagai
> konsumen dalam sistem perdagangan modern, sejak kita lahir rantai
> pengetahuan tentang awal dan akhir dari segala sesuatu yang kita konsumsi
> telah diputus. Kita tidak tahu dan tidak dilatih untuk mau tahu ke mana
> kemasan styrofoam yang membungkus nasi rames kita pergi, berapa banyak
> pohon
> yang ditebang untuk koran yang kita baca setengah jam saja, beban polutan
> yang diemban baju-baju semusim yang kita beli membabi-buta.
>
> Untuk aktivitas harian yang kita lewatkan tanpa berpikir, yang terasa
> wajar-wajar saja, pernahkah kita berhitung bahwa untuk hidup 24 jam kita
> bisa menghabiskan sumber daya Bumi ini berkali-kali lipat berat tubuh kita
> sendiri?
>
> Untuk menyiram 200 cc air kencing, kita memakai 3 liter air. Untuk mencuci
> secangkir kopi, kita butuh air sebaskom. Untuk memproduksi satu lapis
> daging
> burger yang mengenyangkan perut setengah hari dibutuhkan sekitar 2,400
> liter
> air. Produksi satu set PC seberat 24 kg yang parkir di atas meja kerja
> kita
> menghasilkan 62 kg limbah, memakai 27,594 liter air, dan mengonsumsi
> listrik
> 2,300 kwh. Bagaimana dengan chip kecil yang bekerja di dalamnya? Limbah
> yang
> dihasilkan untuk memproduksinya 4,500 kali lipat lebih berat daripada
> berat
> chip itu sendiri.
>
> Mengetahui mata rantai tersembunyi ini bisa menimbulkan berbagai reaksi.
> Kita bisa frustrasi karena terjepit dalam ketergantungan gaya hidup yang
> tak bisa dikompromi, kita bisa juga semakin apatis karena tidak mau
> pusing. Yang jelas, sesungguhnya ini adalah pengetahuan yang sudah saatnya
> dibuka. Pelajaran Ilmu Alam, selain belajar penampang daun dan membedah
> jantung katak, dapat dibuat lebih empiris dengan mempelajari hulu dan
> hilir
> dari benda-benda yang kita konsumsi, sehingga tanggung jawab akan alam ini
> telah disosialisasikan sejak kecil.
>
> Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki gedung FO empat lantai, Pasar
> Baru, atau berjalan-jalan ke Gasibu pada hari Minggu di mana ada lautan
> PKL:
> tidakkah semua baju dan barang-barang itu mampu memenuhi kecukupan
> penduduk
> satu kota ? Tapi kenapa barang-barang ini tidak ada habisnya diproduksi?
> Setiap hari selalu ada jubelan pakaian baru yang menggelontori pasar.
> Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki hypermarket dan melihat
> ratusan
> macam biskuit, ratusan varian mie instan, dan ratusan merk sabun: haruskah
> kita memiliki pilihan sebanyak itu?
>
> Pernahkah kita merenung,
> apa yang kita inginkan sesungguhnya jauh melebihi apa yang kita butuhkan?
> Atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan lima pasang baju dalam
> setahun, bahkan lebih. Atas nama fashion, jumlah itu menjadi tidak
> berbatas.
> Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup dengan beberapa pilihan
> panganan dalam sehari. Atas nama selera dan nafsu, seisi Bumi tidak akan
> sanggup memenuhi keinginan satu manusia.
>
> Permasalahan ini memang bisa dilihat dari berbagai kaca mata. Seorang
> ekonom
> mungkin akan menyalahkan sistem kapitalisme dan globalisasi.
> Seorang sosialis akan mengatakan ini masalah distribusi dan pemerataan.
> Tapi jika kita runut, satu demi satu, bahwa Bumi adalah kumpulan negara,
> negara adalah kumpulan kelompok, dan kelompok adalah kumpulan individu,
> permasalahan ini akan kembali ke pangkuan kita. Dan kesadaran serta
> kemauan
> kitalah yang pada akhirnya akan memungkinkan sebuah perubahan sejati.
>
> Belum pernah dalam sejarah kemanusiaan keputusan harian kita menjadi
> sangat
> menentukan. Tidak perlu menunggu Amerika menyepakati protokol Kyoto, tidak
> perlu juga menunggu penjarah hutan tertangkap, setiap langkah kita-memilih
> merk, kuantitas, tempat, gaya hidup-adalah pilihan politis dan ekologis
> yang
> menentukan masa depan seisi Bumi.
>
> Saya belum bisa mengorbankan komputer karena itulah instrumen saya
> bekerja,
> tapi saya bisa lebih awas dengan jam penggunaan dan mematikannya jika
> tidak
> perlu. Saya belum bisa mengorbankan kebutuhan akan informasi, tapi saya
> bisa
> memilih membaca berita lewat internet atau membaca koran di tempat publik
> ketimbang berlangganan langsung.
>
> Bagaimana dengan fashion?
> Di dunia citra ini, dengan profesi yang mengharuskan banyak tampil di muka
> publik, saya pun belum bisa mengorbankan keperluan fashion (baca: membeli
> busana lebih sering dari yang dibutuhkan), tapi saya bisa membuat komitmen
> dengan lemari pakaian, yakni baju yang saya miliki tidak boleh melebihi
> kapasitas lemari saya. Jika lebih, maka harus ada yang keluar. Dan setiap
> beberapa bulan saya dihadapkan pada kenyataan bahwa ada baju yang tidak
> saya
> pakai setahun lebih atau baju yang cuma sekali dipakai dan tak pernah
> lagi.
> Bukan cuma baju, ada juga buku, pernik rumah, alat dapur, bahkan sabun dan
> sampo yang utuh tak disentuh.
> Alhasil, dalam rumah saya ada semacam peti-peti 'harta karun', yang
> berisikan barang-barang yang harus keluar dari peredaran, karena jika
> dipertahankan hanya menjadi kelebihan tanpa lagi unsur manfaat. Harta
> karun
> ini lantas harus dicarikan lagi outlet untuk penyaluran.
>
> Pada waktu perayaan 17 Agustus, di kompleks saya diselenggarakan bazaar.
> Para warga menyewa stand untuk berjualan. Saya ikut berpartisipasi, dan
> sayalah satu-satunya penjual barang bekas di antara penjual barang-baru
> baru. Karena bukan demi cari untung, barang-barang itu saya lepas dengan
> harga sangat murah. Yang membeli bukan cuma warga kompleks, tapi juga dari
> kampung sekitar. Hari pertama, saya sudah kehabisan dagangan. Terpaksa
> saya
> mengontak saudara-saudara saya yang barangkali juga punya barang bekas
> untuk
> disalurkan. Sama dengan saya, mereka pun punya timbunan harta karun yang
> entah harus diapakan. Stand saya menjadi salah satu stand paling laris
> selama bazaar berlangsung. Dan kakak saya terkaget-kaget dengan
> penghasilan
> yang ia dapat dari tumpukan barang yang sudah dianggap sampah.
>
> Berjualan di bazaar tentu bukan satu-satunya jalan, ada aneka cara kreatif
> lain untuk memanfaatkan harta karun kita, termasuk juga disumbangkan.
> Namun
> yang lebih sukar adalah memulai membuat komitmen-komitmen pembatasan diri.
> Berkomitmen dengan rak buku, dengan lemari pakaian, dengan rak kamar
> mandi,
> dengan laci dapur, dan pada intinya... dengan diri sendiri.
> Siapkah kita menentukan batasan dan berjalan dalam koridor itu?
>
> Dan, yang lebih susah lagi, adalah pengendalian diri dari awal bersua
> aneka
> pilihan yang membombardir kita setiap hari, lalu sadar dan mawas akan
> rantai
> sebab-akibat yang menyertai pilihan kita. Membuka diri untuk info dan
> pengetahuan ekologi adalah salah satu cara pembekalan yang baik.
> Walaupun sekilas tampak merepotkan dan bikin frustrasi, tapi kantong
> kresek
> yang kita buang tadi pagi tidak akan hilang oleh sihir, dan hamburger yang
> kita makan tidak dipetik dari pohon. Rantai yang menyertai barang-barang
> itu
> tidak akan hilang hanya karena kita menolak tahu.
>
> Banyak orang yang berkomentar pada saya, " Aduh , Wi . Kamu bikin hidup
> tambah susah saja." Dan mereka benar. Hidup ini tak mudah. Untuk itu kita
> justru harus belajar menghargai setiap jengkalnya. Memilih hidup yang
> lebih
> sederhana, hidup dengan tempo yang lebih pelan, hidup dengan pengasahan
> kesadaran, tak hanya membantu kita lebih eling dan terkendali, tapi juga
> membantu Bumi ini dan jutaan manusia yang dijadikan alas kaki oleh
> industri
> demi pemenuhan nafsu konsumsi kita sendiri. Lingkaran setan?
> Ya. Tapi tidak berarti kita tak sanggup berubah.
>
> Selama ini kita adalah pembeli yang berlari. Dalam kecepatan tinggi kita
> bertransaksi, sabet sana sabet sini, tanpa tahu lagi apa yang sesungguhnya
> kita cari. Berhentilah sejenak. Marilah kita berjalan.
>
> *sumber : dee-idea.blogspot. -com
> *
>
> 
>



-- 
Best Regard
Erwin Arianto,SE
えるウィン アリアンと
See my Article On http://erwinarianto.blogspot.com/
See My poem http://360.yahoo.com/arianto_erwin


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke