punteun ach bilih teu acan aya nu maca
http://www.tocatch.info/id/Kidung_Sunda.htm#Lihat_pula

Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa
Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan
kemungkinan besar berasal dari Bali. Dalam kidung ini
dikisahkan prabu Hayam Wuruk dari Majapahit yang ingin
mencari seorang permaisuri, kemudian beliau
menginginkan putri Sunda yang dalam cerita ini tak
memiliki nama. Namun patih Gajah Mada tidak suka
karena orang Sunda dianggapnya harus tunduk kepada
orang Majapahit (baca orang Jawa). Kemudian terjadi
perang besar-besaran di Bubat, pelabuhan di mana
orang-orang Sunda mendarat. Dalam peristiwa ini orang
Sunda kalah dan putri Sunda yang merasa pilu akhirnya
bunuh diri.


Daftar Isi
1 Versi kidung Sunda
2 Ringkasan 
2.1 Pupuh I
2.2 Pupuh II (Durma)
2.3 Pupuh III (Sinom)
3 Analisis
4 Penulisan
5 Beberapa cuplikan teks 
5.1 Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda
(bait 1. 66b – 1. 68 a.)
5.2 Raja Sunda yang menolak syarat-syarat Majapahit
(bait 2.69 – 2.71)
5.3 Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang
telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)
6 Referensi
7 Lihat pula
 




Versi kidung Sunda
Seorang pakar Belanda bernama Prof Dr. C.C. Berg,
menemukan beberapa versi KS. Dua di antaranya pernah
dibicarakan dan diterbitkannya:

Kidung Sunda
Kidung Sundâyana (Perjalanan (orang) Sunda)
Kidung Sunda yang pertama disebut di atas, lebih
panjang daripada Kidung Sundâyana dan mutu
kesusastraannya lebih tinggi dan versi iniliah yang
dibahas dalam artikel ini.


Ringkasan
Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan
membeberkan isi cerita atau akhir kisahnya.
Di bawah ini disajikan ringkasan dari Kidung Sunda.
Ringkasan dibagi per pupuh.


Pupuh I
Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang
permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau mengirim
utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk
mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka membawa
lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik
hatinya. Maka prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri
Sunda cantik dan beliau mengirim seorang juru lukis ke
sana. Setelah ia kembali maka diserahkan lukisannya.
Saat itu kebetulan dua orang paman prabu Hayam Wuruk,
raja Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak
menyatakan rasa keprihatinan mereka bahwa keponakan
mereka belum menikah.

Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan
putri Sunda. Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh
Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya.

Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam
hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang,
putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut.
Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar.

Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan
raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak
lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali
iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya
adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.

 
Kapal jung. Ada kemungkinan rombongan orang Sunda
menaiki kapal semacam ini.
Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda
buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda
adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/China) seperti
banyak dipakai semenjak perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)

Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk
mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari
kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa
rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam Wuruk
beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi
patih Gajah Mada tidak setuju. Beliau berkata bahwa
tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit
menyonsong seorang raja berstatus raja vazal seperti
Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang musuh yang
menyamar.

Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat
menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem
keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat
mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.

Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar
kabar burung tentang perkembangan terkini di
Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya,
patih Anepakěn untuk pergi ke Majapahit. Beliau
disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka
langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana
beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak
pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji.
Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan
supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya
vazal-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi
pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh
Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah
utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan
terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua
hari.

Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak
bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazal. Maka
beliau berkata memberi tahukan keputusannya untuk
gugur seperti seorang ksatria. Demi membela
kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi
dihina orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka
akan mengikutinya dan membelanya.

Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan
menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi
mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani
sang raja.


Pupuh II (Durma)
Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke
perkemahan orang Sunda dengan membawa surat yang
berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda pun
menolaknya dengan marah dan perang tidak dapat
dihindarkan.

Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa
di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada
dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya.

Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit
banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang
Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit.
Anepakěn dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan
raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja
Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira
Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara
maayt-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan
melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka
bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri
para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan
bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami
mereka.


Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan
peperangan ini. Beliau kemudian menuju ke pesanggaran
putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka
prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan
dengan wanita idamannya ini.

Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan
mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang lama,
maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana.

Setelah beliau diperabukan dan semua upacara keagamaan
selesai, maka berundinglah kedua pamannya. Mereka
menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka
mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian
bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu patih
Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka
beliau mengenakan segala upakara (perlengkapan)
upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau
menghilang (moksa) tak terlihat menuju ketiadaan
(niskala).

Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip “Siwa
dan Buddha” berpulang ke negara mereka karena
Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan
yang terjadi.


Analisis
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan
bukan sebuah kronik sejarah yang akurat, meski
kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian
faktual.

Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang
dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas dan lancar.
Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis.
Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis
yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang
hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup. Misalkan
adegan orang-orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah
Mada bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu
Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda bisa
dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca
terharu.

Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda
juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya
bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih
Gajah Mada. Hal ini juga bertentangan dengan
sumber-sumber lainnya, seperti kakawin
Nagarakretagama, lihat pula bawah ini.

Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih
berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah
dikemukakan, seringkali bertentangan dengan
sumber-sumber lainnya. Seperti tentang wafat prabu
Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda
dengan kakawin Nagarakretagama.

Kemudian ada sebuah hal yang menarik, nampaknya dalam
kidung Sunda, nama raja, ratu dan putri Sunda tidak
disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering disebut
bernamakan Dyah Pitaloka.

Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks
dibedakan pengertian antara Nusantara dan tanah Sunda.
Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara,
kecuali oleh patih Gajah Mada. Sedangkan yang disebut
sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang Palembang,
orang Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci (?),
Wandan (Maluku), Tanjungpura (Banjarmasin) dan
Sawakung (?) (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga
sesuai dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah
Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit di mana
mereka harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama,
Madura juga tak disebut.


Penulisan
Semua naskah kidung Sunda yang dibicarakan di artikel
ini, berasal dari Bali. Tetapi tidak jelas apakah teks
ini ditulis di Jawa atau di Bali.

Kemudian nama penulis tidaklah diketahui pula. Masa
penulisan juga tidak diketahui dengan pasti. Di dalam
teks disebut-sebut tentang senjata api, tetapi ini
tidak bisa digunakan untuk menetapkan usia teks. Sebab
orang Indonesia sudah mengenal senjata api minimal
sejak datangnya bangsa Portugis di Nusantara, yaitu
pada tahun 1511. Kemungkinan besar orang Indonesia
sudah mengenalnya lebih awal, dari bangsa Tionghoa.
Sebab sewaktu orang Portugis mendarat di Maluku,
mereka disambut dengan tembakan kehormatan.


Beberapa cuplikan teks
Di bawah ini disajikan beberapa cuplikan teks dalam
bahasa Jawa dengan alihbahasa dalam bahasa Indonesia.
Teks diambil dari edisi C.C. Berg (1927) dan ejaan
disesuaikan.


Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1.
66b – 1. 68 a.)
Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki
mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana
bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara
dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring
yuda.
Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit,
amrang pradesa ring gunung, ěnti ramening yuda,
wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih
Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.
Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng
angěmasi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang,
amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan
pating burěngik, padâmalakw ing urip.
Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir,
kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharěpta,
tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning
dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng
niraya atmamu těmbe yen antu.
Alihbahasa:

“Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar
terhadap kami? Kita ini sekarang ingin membawa Tuan
Putri, sementara engkau menginginkan kami harus
membawa bakti? Sama seperti dari Nusantara. Kita lain,
kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.
Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau
berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan.
Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang.
Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu
mundur.
Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng
diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri.
Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka
mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana
mereka merengek-rengek minta tetap hidup.
Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti
kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu
itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau
ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta
dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu
akan jatuh ke neraka, jika mati!”

Raja Sunda yang menolak syarat-syarat Majapahit (bait
2.69 – 2.71)
[...], yan kitâwĕdîng pati, lah age marĕka,
i jĕng sri naranata, aturana jiwa bakti,
wangining sĕmbah, sira sang nataputri.
Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing
ati, ah kita potusan, warahĕn tuhanira, nora
ngong marĕka malih, angatĕrana, iki sang
rajaputri.
Mong kari sasisih bahune wong Sunda, rĕmpak kang
kanan keri, norengsun ahulap, rinĕbateng
paprangan, srĕngĕn si rakryan apatih, kaya
siniwak, karnasula angapi.
Alihbahasa:

[...], jika engkau takut mati, datanglah segera
menghadap Sri Baginda (Hayam Wuruk) dan haturkan bukti
kesetianmu, keharuman sembahmu dengan menghaturkan
beliau sang Tuan Putri.
Maka ini terdengar oleh Sri Raja <Sunda> dan beliau
menjadi murka: “Wahai kalian para duta! Laporkan
kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi
menghantarkan Tuan Putri!”
“Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya,
atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan ‘silau’
beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek
telinganya mendengarkan (kata-kata pedas orang
Majapahit).

Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah
tewas (bait 3.29 – 3. 33)
Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri,
tinuduhak&#283;n aneng made sira wont&#283;n aguling,
mara sri narapati, kat&#283;mu sira akukub,
per&#283;mas natar ijo, ingungkabak&#283;n tumuli,
kagyat sang nata dadi at&#283;mah laywan.
W&#283;n&#283;sning muka angraras, netra dum&#283;ling
sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja
amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun,
ngke pangeran mar&#283;ka, tinghal kamanda
punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.
Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti,
marmaning par&#283;ng prapta kongang mangkw
at&#283;mah kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen
pangeraningsun, pilih kari ag&#283;sang, kawula mangke
pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.
Palar-palar&#283;n ing j&#283;mah, pangeran sida
kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing
duskr&#283;ti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih
katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis,
sang sinambrama l&#283;ngl&#283;ng amrati cita.
Sangsaya lara kagagat, p&#283;t&#283;ng rasanikang
ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin
gumirih, lwir guruh ing katrini, matag
pan&#283;d&#283;ng ing santun, awor swaraning kumbang,
tangising wong lanang istri,
ar&#283;r&#283;b-r&#283;r&#283;b pawraning g&#283;lung
lukar.
Alihbahasa:

Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan
tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia,
tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya
tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah.
Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah
menjadi mayat.
Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka,
bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup
terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading.
Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke
mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda,
datang ke tanah Jawa.
Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang
sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut
datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika
datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin <hamba>
masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh
kejamlah kuasa Tuhan!
Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah,
berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi
niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu,
keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas
menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan
merana.
Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya.
Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja semakin merana.
Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan
Ketiga*, yang membuka kelopak bunga untuk mekar,
bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para
pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai
bagaikan kabut.
*Bulan Ketiga kurang lebih jatuh pada bulan September,
yang masih merupakan musim kemarau. Jadi suara guruh
pada bulan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim.


Referensi
C.C. Berg, 1927, ‘Kidung Sunda. Inleiding, tekst,
vertaling en aanteekeningen’. BKI 83: 1 – 161.
C.C. Berg, 1928, Inleiding tot de studie van het
Oud-Javaansch (Kidung Sund&#257;yana). Soerakarta: De
Bliksem.
Sri Sukesi Adiwimarta, 1999, ‘Kidung Sunda (Sastra
Daerah Jawa)’, Antologi Sastra Daerah Nusantara, kaca
93-121. Jakarta: Yayasan Obor. ISBN 979-461-333-9
P.J. Zoetmulder, 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno
Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan. (hal. 528-532)

Lihat pula
Sastra Jawa
Halaman berkategori: Majapahit | Sastra Jawa
Pertengahan | Sunda



Kidung Sunda ! #

www.figureout.info
forum.figureout.info
Online Books





















All text is available under the terms of the GNU Free
Documentation License
This page is cache of Wikipedia 




                
___________________________________________________________ 
How much free photo storage do you get? Store your holiday 
snaps for FREE with Yahoo! Photos http://uk.photos.yahoo.com


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/O4u7KD/FpQLAA/E2hLAA/0EHolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke