Ieu aya artikel sae deui, soal Azahari, kenging copy-paste tina millis tatangga.
Baktos, WALUYA Azahari dan Indonesia Oleh Goenawan Mohamad Azahari dan Noordin Top masuk diam-diam dari Malaysia ke Indonesia, dan membaur dengan orang setempat. Mereka bukan orang asing, jika asing berarti ganjil dan tak dikenal. Tapi mereka bukan orang sini. Mereka merekrut orang lokal yang dilatih untuk meledakkan bom, membunuh orang secara acak, dan sejak itu Indonesia pun terjerembab. Sejak itu negeri ini, yang kita nyanyikan sebagai negeri aman sentausa, jadi tempat yang dianggap tak aman dan tak sentausa. Tentu saja Azahari dan Noordin Top mengatakan mereka melawan Amerika Serikat dan Zionisme. Tentu saja mereka akan mengatakan jihad mereka adalah bagian dari perang global yang kini berkecamuk. Tapi pada akhirnya yang terluka bukanlah Amerika Serikat atau Israel, melainkan Indonesia -- sebuah negeri yang bagi kedua orang Malaysia itu tak punya makna apa-apa. Mereka memang bukan orang sini. Kata sini mengimplikasikan sebuah perbatasan, antara dalam dan luar. Harus diakui perbatasan itu tak datang dari Tuhan atau alam, melainkan dari sebuah proses politik dalam sejarah. Perbatasan itu juga tak kekal. Tapi apakah yang tak kekal tak punya arti dan tak punya kekuatannya sendiri? Azahari dan orang sejenisnya - yang bercita-cita mendirikan sebuah kekhalifahan Islam yang mengatasi negara-bangsa - berangkat dari semangat de-lokalisasi: melintasi lokalitas yang mereka anggap membatasi diri. Mereka tak mau bersetia kepada sebuah tanah air. Yang pasti, mereka tak mau bersetia kepada Indonesia. Mereka berangkat bersama asumsi bahwa Islam adalah sesuatu yang universal, yang berlaku di mana saja dan kapan saja. Mereka seiring dengan dinamika abad ini, yang menerjang atau menyeberangi perbatasan nasional, dinamika yang digerakkan ilmu, teknologi, dan kapitalisme mutakhir. Hari ini, agama bersekutu dengan tele-tekno-ilmu, kata Derrida dalam sebuah simposium di Capri di tahun 1994 - sebuah kalimat yang tetap punya gema satu dasawarsa kemudian. Tapi pada saat yang sama, terjadi juga sebuah tabrakan. Agama, seperti yang dibawakan orang macam Azahari, mengandung kontradiksi: di satu sisi ia mengklaim dirinya universal, tapi di sisi lain, semakin ia jadi bendera identitas kelompok, semakin ia melawan sifat universalnya sendiri. Maka ketika agama jadi identitas kelompok, globalisasi yang dibawakan oleh modal, ilmu dan teknologi pun seakan-akan jadi ancaman - meskipun sebenarnya televisi, internet, serta teknik persenjataan dan pembunuhan, yang berasal dari tele-tekno-ilmu, adalah penopang gerak de-lokalisasi mereka. Dalam pemikiran agama macam ini, identitas kelompok bertaut dengan de-lokalisasi. Itu artinya agama, dalam kata-kata Derrida, terlepas dari semua tempatnya yang pas, bahkan dari pengertian tempat itu sendiri. Tapi bisakah kebenaran agama, ketika diamalkan, berlangsung tanpa tempat dan terlepas dari konteks lokal apapun? Pernahkah? Khalil Abdul Karim, seorang mantan anggota gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, pernah menganalisa bahwa sejarah Islam sejak sebelum dan segera sesudah Nabi Muhammad s.a.w. tak dapat dilepaskan dari posisi politik suku Quraish di sekitar Mekah. Ia menyebut bukunya (diterjemahkan dan diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta) Hegemoni Quraish. Buku itu mungkin tak sepenuhnya tepat. Tapi sulit dibayangkan Islam terlepas dari keterpautan dengan yang sempit di sebuah ruang dan sebuah waktu. Khalifah Usmani yang berpusat di Turki, yang konon melintasi perbatasan negara-bangsa itu, pada dasarnya bagian dari pengalaman dan kepentingan tahta Turki itu sendiri. De-lokalisasi selalu mustahil: Islam yang diamalkan akan senantiasa terkait dengan sebuah petak di muka bumi. Sesuatu yang bukan-global, yang telah ada sejak beratus-ratus tahun, terus bertahan: sebuah wilayah dan sehimpun manusia yang identifikasi dirinya disebutkan dengan nama sebuah negeri ataupun bangsa. Itulah tanah air. Tanah air adalah tempat seseorang terlempar. Di sana ia memilih untuk menerima posisi itu secara aktif ataupun pasif, secara bersemangat atau pasrah. Tanah air, seperti yang terjadi ketika republik ini lahir dari penjajahan, adalah sebuah peristiwa: sesuatu yang mengguncang kehidupan dan menggerakkan hati. Tapi tanah air juga sebuah pengalaman: sebuah proses tumbuhnya akar. Kita tak perlu mengaitkan akar itu dengan asal-usul darah dan tanah, Blut und Boden, seperti dalam nasionalisme Jerman yang sesat. Akar itu bukan sesuatu yang harus disakralkan, dan tempat kita hidup dan berasal, Heimat, bukanlah sesuatu yang suci. Tanah air terbentuk terus oleh sejarah, oleh kerja kita, dan itu sebabnya ia, dengan bekas darah dan keringat, punya arti bagi kita... Indonesia, tanah air kita, lahir seperti itu, melalui revolusi - satu hal yang tak dialami orang Malaysia macam Azahari. Revolusi itu melibatkan rakyat banyak yang menderita di bawah penjajahan Belanda. Revolusi itu sebuah peristiwa, levenement dalam pengertian Badiou, khususnya peristiwa solidaritas, dengan pengorbanan dan rasa bangga. Tapi sebagai peristiwa, revolusi selalu punya akhir, tak dapat diulangi, dan setelah itu Indonesia pun terjadi, tumbuh, dan akhirnya jadi sebuah proyek bersama. Proyek itu makin disadari sebagai sesuatu yang tak sempurna, karena menyadari keterbatasan manusia. Itu sebabnya Indonesia sebagaimana ia dirikan di tahun 1945 adalah tanah air dengan banyak harap tapi juga cemas, dengan gairah tapi juga gentar. Naskah Proklamasi itu tak ditulis dengan cetakan yang sempurna; ada coretan dalam teks yang ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta. Di situlah ia berbeda dengan negara Islam yang membawa nama sesuatu yang yang kekal dan tak akan salah. Negara Islam, terutama dalam impian Azahari, adalah sebuah keangkuhan kepada sejarah. Sebaliknya Indonesia: ia tak menafikan dan tak takut bahwa dirinya tak akan pernah salah, bahkan berdosa. Itulah sebabnya demokrasi niscaya: demokrasi adalah sebuah mekanisme untuk selalu memperbaiki diri, mengurangi langkah yang keliru. Dan kita tahu, Indonesia telah berjalan panjang dan terbentur-bentur, tapi sampai hari ini bangkit lagi - juga dengan harap dan cemas. Azahari tak memahami ini: ia dan kawan-kawannya tak punya kaitan dengan pengalaman kita, apalagi dengan sejarah revolusi Indonesia. Mereka meledakkan bom berkali-kali, merusak negeri ini berkali-kali, dan kita merasakan sakitnya. Apa gerangan hasilnya, selain sebuah jalan ke surga yang diyakini sementara orang - sebuah firdaus yang instan, sebuah kenikmatan yang seketika, seperti banyak hal yang ditawarkan di pasar dunia yang serba tak sabar sekarang? Mungkin Azahari dan kawan-kawannya, ketika mereka memasarkan surga yang instan, mereka tahu jihad mereka akan gagal. Amerika akan tetap tegak dan Zionisme tak punah. Jika demikian, Azahari dan kawan-kawannya siap mati dengan harapan bisa ke sorga bagi diri sendiri, bukan dengan harapan untuk memenangkan orang-orang yang mereka bela di muka bumi.** ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today! http://us.click.yahoo.com/LeSULA/FpQLAA/E2hLAA/0EHolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/