Sami...!, bangga pisaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnn
   
  ipeut

yayat cipasang <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
    Bangga (Aku) Jadi Orang Sunda, Euy!
Oleh YAYAT R. CIPASANG 
   
  http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/08/0802.htm
   
    Sebagai warga yang hidup di kota metropolitan seperti Jakarta yang plural 
dan tempat berkumpulnya beragam etnis, kadang aku merasa cemburu dengan orang 
Jawa atau orang Batak. 
   
  TAUFIK Ismail memberi judul salah satu buku kumpulan puisinya Malu (Aku) Jadi 
Orang Indonesia (Yayasan Anda, 1998). Bila Taufik Ismail boleh mengungkapkan 
nada satir lewat puisinya, aku juga berhak memberi judul tulisan ini, Bangga 
(Aku) Jadi Orang Sunda.
  Kata bangga dalam konteks tulisan aku dan malu dalam konteks Taufik Ismail 
sebenarnya tidak ada bedanya. Keduanya sama-sama secara eksplisit menunjukkan 
kecintaan yang mendalam kepada tanah kelahiran dan bangsanya lebih jauh.
  Sebagai orang Sunda pituin, aku sangat miris bila membaca tulisan autokritik 
dari pemikir yang tak diragukan kesundaannya, Kang Ajip Rosidi. Paling tidak 
dua tulisan terakhir Kang Ajip di harian Pikiran Rakyat membuat aku tergerak 
untuk menulis artikel ini.
  Berikut beberapa kegundahan Kang Ajip. "Kalau kegiatan seni dan ilmiah tidak 
didorong hidupnya di Bandung, demikian pula kalau kegiatan penerbitan buku 
hanya terbatas kepada buku-buku ajar untuk mengejar projek-projek pemerintah 
pusat dan pemda apalagi kalau dengan melakukan KKN, maka kehidupan intelektual 
di Bandung akan kian jauh tertinggal oleh Yogyakarta dan mungkin juga oleh kota 
lainnya" (Pikiran Rakyat, Rabu 4/5).
  ".... bahasa Sunda sekarang sedang dalam proses kematiannya karena kita 
saksikan orang Sunda secara perlahan-lahan sedang menjalankan pembunuhan 
terhadap bahasa Sunda sebagai bahasa ibunya. Kita saksikan kian banyak orang 
Sunda yang tidak mau bercakap-cakap dengan bahasa Sunda, walaupun dengan sesama 
orang Sunda. Kita juga saksikan, umumnya orang Sunda kalau mau bercakap-cakap 
tentang hal tertentu lalu beralih kode ke bahasa Indonesia atau bahasa lain. 
Bahasa Sunda dianggap tidak cukup tepat atau tidak cukup terhormat untuk 
menyampaikan pikirannya" (Pikiran Rakyat, Senin 16/5).
  Dua kutipan di atas mewakili kegundahan aku juga. Aku adalah pemuda yang 
hijrah ke Jakarta dari sebuah udik di Priangan Timur, tepatnya di Tambaksari, 
Kabupaten Ciamis. Aku sudah menjadi warga Jakarta sejak tujuh tahun silam. 
Tetapi percayalah, tempat berpijak sekarang tidak mengubah kecintaan aku pada 
Tatar Sunda.
  Sebagai warga yang hidup di kota metropolitan seperti Jakarta yang plural dan 
tempat berkumpulnya beragam etnis, kadang aku merasa cemburu dengan orang Jawa 
atau orang Batak. Ketika mereka bertegur sapa dengan rekannya di tempat umum di 
kantor atau di tempat yang sifatnya nasional mereka tetap berbicara dalam 
bahasa ibunya.
  Atau saat naik bus tanggung Metromini, kondektur dan sopir saling cakap dalam 
bahasa nenek moyangnya. Kadang aku menuduh mereka egois dan tidak tahu diri 
atau bahasa ilmiahnya primordial. Tetapi bila berpikir jernih, mereka itu 
sebenarnya adalah aset daerah yang penting dalam pelestarian bahasa dan budaya 
secara umum.
  Kegundahan aku biasanya terobati saat aku pergi ke kantor dari Depok ke Jalan 
Gatot Subroto, Jakarta Selatan, dengan naik bus Mayasari Bhakti. Aku sangat 
menikmati saat sopir dan kondektur berceloteh dalam bahasa Sunda. Maklum, 
pentolan atau kru bus ini mayoritas barudak Tasikmalaya dan Ciamis.
  Saat mengikuti diskusi Forum Bahasa Media Massa (FBMM) di Pusat Bahasa, 
Rawamangun, Jakarta Timur, aku tertarik dengan lontaran wartawan senior Syu'bah 
Asa. Saat itu mantan wartawan majalah Tempo ini menyebutkan orang Sunda 
termasuk yang masih bangga menggunakan bahasa daerahnya. Ini hasil pengamatan 
dia. Namun, aku belum percaya seratus persen karena belum ada penelitian yang 
komprehensif.
  Sebenarnya aku sempat bangga dengan pernyataan Syu'bah Asa itu. Namun, saat 
membaca sebuah harian ibu kota malah kembali ciut dan sedih ketika Miing Bagito 
mengungkapkan pengalamannya saat bertandang ke Bandung. Ia mengaku miris saat 
melihat anak-anak muda Bandung sudah tak lagi bangga bercakap-cakap dalam 
bahasa Sunda. Padahal, Bandung adalah muka Jawa Barat. Dari sini aku bisa 
memperkirakan anak-anak muda di kota-kota besar Jawa Barat juga kemungkinan 
gayanya sama.
  Dalam pengamatan yang sangat dangkal, aku juga mencermati perkembangan 
kebudayaan massa yang berkembang dalam sepuluh tahun terakhir ini. Aku lebih 
khususnya menelisik tentang perkembangan televisi di Indonesia yang begitu 
masif setelah pemerintahan B.J. Habibie membuka keran media massa dan menghapus 
lisensi.
  Perkembangan televisi yang kini sudah mencapai 11 stasiun siaran nasional 
adalah sebuah fenomena bagi Indonesia setelah munculnya open sky policy. 
Malaysia dan Singapura saja jauh tertinggal bila dilihat dari jumlahnya. Belum 
lagi kini dengan menjamurnya televisi lokal.
  Menjamurnya televisi adalah sarana efektif untuk mengenalkan budaya lokal 
menjadi budaya yang menjadi milik nasional. Barudak Bandung dan Jawa Barat 
lainnya sebenarnya sudah memanfaatkan saluran massal ini. Lihat saja, Peterpan, 
Seurius, /rif, Java Jive, PAS Band, dan Kahitna adalah di antara sejumlah grup 
musik yang sering memenuhi acara televisi tanah air.
  Belum lagi kelompok Padhyangan Project dan P Project atau presenter Rina 
Gunawan dan Aming. Mereka itu begitu populer belakangan ini. Termasuk presenter 
asal Batak, Sophie Novita yang nyunda sekali. Mereka tampil dan cukup populer. 
Di sela-sela omongan dan candaan mereka kerap telontar kata-kata, idiom-idiom 
dan logat Sunda yang cukup kental. Begitu juga bila melihat Asep Sunandar 
Sunarya dan kelompoknya manggung di Televisi Pendidikan Indonesia setiap malam 
Ahad. Bila melihat mereka tampil di televisi aku bangga.
  Aku bekerja di sebuah stasiun televisi partikelir nasional. Kondisi kantorku 
beragam etnis dari mulai Sunda, Batak, Bugis, Jawa (Tegal, Surabaya) dan 
Palembang. Namun, setiap masuk kantor aku merasakan seperti di Tatar Sunda.
  Aku sempat terheran-heran ketika wong Jawa Timur di kantor fasih banget 
berbicara dalam bahasa Sunda halus. Belakangan aku ketahui ternyata ia 
menghabiskan masa kuliahnya di Bandung. Begitu juga orang Tegal, tak kalah 
fasihnya ngomong Sunda. Orang Batak juga tak kalah serunya. Cuma bedanya kalau 
bilang ”punten” ia masih menggunakan ”punten” dengan e taling.
  Belakangan munculnya juga fenomena Aa. Penyebutan Aa belakangan ini begitu 
populer seiring semakin mencorongnya figur Aa Gym atau Abdullah Gymnastiar yang 
punya Pesantren Daarut Tauhid. Sekarang tak segan-segan seorang gadis walaupun 
bukan dari Sunda memanggil pacar atau suaminya dengan panggilan Aa. Aa begitu 
populer dan generik.
  Suatu saat aku merindukan ungkapan dan idiom Sunda menjadi bahasa pergaulan 
di kalangan anak muda Ibu Kota seperti halnya bahasa Betawi atawa Inggris. So 
what gitu loh, kalau meminjam istilah anak muda kiwari. Hal ini adalah sesuatu 
yang mungkin karena anak-anak muda pesohor dari Bandung kini banyak memenuhi 
televisi nasional. Mereka kerap menggunakan bahasa Sunda.*** 
   
  Penulis, editor dan penulis lepas tinggal di Bogor, Jawa Barat.
  

surtiwa surtiwa <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
      Muhun nya..aya dosen nyeratna gaya LSM.Mun di Pulisi
mah..tembahk dulu...tanya belakangan..... Tapi tong
riweh lah Basa Sunda mah moal maot..........Urang Cina
bandung sapope geuning marake Basa Sunda...

--- kumincir <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Mimitina mah saregep maca teh....
> 
> On 2/25/07, awan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> >
> > Persoalannya kemudian, apakah para penutur
> bahasa Sunda sekarang bisa
> > melakukan hal yang sama? Apakah para sarjana
> sastra Sunda yang sering
> > merasa sok modern mampu memformulasikan pengalaman
> dalam bahasa yang
> > demikian?
> >
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> Ari pek jol ka dieu... "... para sarjana sastra
> Sunda yang sering merasa sok
> modern..."
> Aya naon ieu teh? Heuheu... (sigana mah rada kajawab
> ku pedaran MJ ngeunaan
> kasang tukang nu nulis)
> 
> > Gugun Gunadi, sarjana Sastra Sunda dan Staf
> Pengajar Fakultas Sastra
> > Unpad,
> > menyerang dengan jurus agak culas. Ia bilang bahwa
> tragedi itu terjadi
> > akibat kesalahan ibu-ibu muda....
> >
> 
> 
> 
> 
> 
> Ari neumbleuhkeun ukur ka ibu2 muda mah memang
> salah, da nu perlu
> disalahkeun mah masarakat sakabeh, kaasup ibu-ibu
> tua, bapak-bapak muda,
> atawa bapak-bapak tua. Pokona mah kabeh we, nu teu
> pupuguh sok nyarita ku
> basa Indonesia ka barudak leutik... heuheu
> 
> > Wow, jika saya berada pada posisi dua pihak
> tersebut, saya akan segera
> > bertanya, apa pula yang Anda lakukan sebagai
> sarjana sastra Sunda? Apa
> > ikhtiar Unpad (c.q. Jurusan sastra Sunda!) dalam
> mengatasi masalah
> > tersebut? Bukankah sejauh ini Anda dan kawan-kawan
> hanya bersembunyi
> > di sebuah ruang eksklusif bernama kampus? Mana
> karya Anda yang
> > menunjukkan jerih payah untuk memasyarakatkan
> bahasa Sunda yang bisa
> > dicerna publik: Buku? Hasil penelitian? Karya
> ilmiah? Bukankah Anda
> > orang akademis yang mestinya bisa bekerja secara
> metodologis? Anda,
> > saya kira, tidak diajari untuk hanya bisa
> menyalahkan orang lain. Anda
> > pasti diajari untuk bertanggung jawab pada
> keilmuan Anda.
> >
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> Tanyakeun naha? (Tanya kenapa? maksudna mah...)
> 
> > Beranalogi pada contoh ekstrem tersebut, tentu
> tidak mungkin lahir
> > dan/atau lestari bahasa Sunda jika ruang dan waktu
> tempat orang Sunda
> > berinteraksi dipenuhi benda dan pemikiran yang
> menjauhkan mereka dari
> > alam kesundaan itu sendiri. Akan sia-sia seorang
> ibu mengajarkan
> > bahasa Sunda jika yang ada di dalam rumahnya bukan
> benda-benda yang
> > mengingatkan mereka pada kesundaan, jika pola
> pikir mereka tidak
> > nyunda.
> >
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> Duka kuring nu bodo atawa aing nu belet. Kuring teu
> ngarti kana maksud
> 'benda-benda
> yang mengingatkan mereka pada kesundaan'. Ari
> 'kasundaan' teh naon? Ari
> 'benda-benda kesundaan' teh naon? Cikan, mamanawian
> aya nu tiasa maparin
> bobolongan...
> 
> > Demikian juga soal kurikulum pendidikan bahasa
> Sunda. Mubazir kiranya
> > kurikulum bahasa Sunda diberlakukan jika kelas
> dipenuhi benda dan
> > model atau metodologi pengajaran asing.
> >
> 
> 
> 
> 
> 
> Sami anu ieu ge, '... kelas dipenuhi benda dan model
> atau metodologi
> pengajaran asing...'
> Naha basa Sunda teu bisa diajarkeun reureujeungan
> jeung pangajaran sejen?
> 
> > Mari kita kepung orang Sunda dengan karya, bukan
> dengan umpatan. Para
> > sarjana Sunda, Unpad, Unpas, dan pihak-pihak yang
> mendompleng pada
> > kesundaan, berkaryalah! Meneliti, menulis,
> terbitkan minimal 1.000
> > buku, 1.000 jurnal, dan sekian ribu tulisan di
> media dalam setahun!
> >
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> Puguh da ngadamel buku (Sunda) teh kawas dagang
> gorengan atawa cimol nu
> laris dijual di sisi jalan. Buku anu ayeuna medal
> ge, sakitu teu seueur, bet
> geuning teu seep-seep... Mangkaning nyitak buku teh
> peryogi cicis... atuh
> mun teu dipaleseran mah cicisna moal muter,
> pamedalna habenagen
> mereketetet...
> Jadi.... butuh cicis... Kusabab nu gaduh cicis mah
> Pamarentah, kapaksa kudu
> meredih ka Pamarentah...
> "Tah, Tah... Cing atuh golontorkeun cicisna kanggo
> nyitakan buku-buku
> Sunda... Ngarah masarakat teu hese mun hayang maca
> bacaan dina basa Sunda...
> Ngarah para pangarang bisa hirup ku nyieun
> karya-karya dina basa Sunda..!!"
> 
> > Lihatlah, sampai edisi terakhir Cupumanik yang
> saya baca hingga tulisan
> > ini dibuat, tak ada satu pun peribahasa yang
> diciptakan oleh orang Sunda
> > modern. Seluruhnya telah saya kenali sejak sebelum
> mengenal bangku sekolah
> > dasar.
> >
> 
> 
> 
> 
> 
> Hih... marukan paribasa teh dikarang kawas urang
> medalkeun kamus atawa
> glosarium... Dina enyana ge medalkeun paribasa
> anyar... saha nu rek make?
> naha rek diaku salaku paribasa kitu? Pan nu kitu mah
> hasil tina proses
> kabiasaan sapopoe, lain diajarkeun didikte...
> "Yeuh, barudak... Mun maraneh hayang ngagambarkeun
> kajunun anu ngabuahkeun
> hasil, paribasa nu kudu dipake teh 'cikaracak
> ninggang batu, laun-laun jadi
> bekok'. Ngarti..?!!"
> Ah, da asa lain kitu....
> 
> > Ah, saya jadi curiga pada model studi bahasa Sunda
> di perguruan tinggi.
> > Jangan-jangan mereka telah menempatkan bahasa
> sebagai objek yang mati
> > belaka. Jangan-jangan mereka hanya mengintip
> bahasa dalam jarak karena
> > alasan objektivitas ilmiah. Jangan-jangan mereka
> pun mengilmiahkan bahasa
> > Sunda dengan
> > hukum-hukum yang diadopsi dari pola-pola bahasa
> asing sebagaimana
> 
=== message truncated ===

__________________________________________________________
Bored stiff? Loosen up... 
Download and play hundreds of games for free on Yahoo! Games.
http://games.yahoo.com/games/front



    
---------------------------------
  Don't be flakey. Get Yahoo! Mail for Mobile and 
always stay connected to friends.  

 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

Kirim email ke