Mengenal Lebih Dekat Bujangga MA Salmun
Selama ini belum banyak masyarakat, khususnya masyarakat mengenal siapa MA
Salmun, yang namanya diabadikan dengan nama Jalan MA Salmun. MA Salmun yang
nama lengkapnya Mas Atje Salmun adalah seorang bujangga besar yang tidak
dimiliki oleh bujangga bujangga-bujangga lainnya. Hingga saat ini (abad XXI)
kebesaran nama dan penguasaan ilmu susastra dan bahasa, baik bahasa Sunda
maupun bahasa Indonesia, belum tertandingi. Kemahiran Salmun didalam
susastra seperti penulisan novel, roman, wawacan dan puisi sebanding dengan
penguasaan penulisan yang bersifat non fiksi seperti penelaahan tata bahasa.


Bujangga yang dikenal dengan nama M.A. Salmun lengkapnya adalah Mas Atje
Salmun Raksadikaria lahir di Rangkasbitung pada tanggal 23 April 1903 dan
wafat di Bogor pada tanggal 10 Pebruari 1972. Beliau dimakamkan dipemakanan
Blender Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal. Ayah Salmun asisten wedana
Pabyosongan Kabupaten Serang, Banten, bernama Mas Abusa'id Rakyadikaria.
Pada masa mudanya ayah Salmun terkenal penari ulung dan penulis sandiwara
yang dahulu dikenal dengan istilah" Kamidi". Ibu Salmun bernama Nyi Mas
Samayi, yang masih mempunyai hubungan darah dengan bangsawan Lebak. Konon
sang Ibu, meskipun tidak pernah bersekolah akan tetapi pandai membaca Latin,
Jawa, Sunda, dan Arab. Pada zamannya Ibu Salmun dianggap sebagai ahli
bahasa, karena mahir berbahasa Sunda, Jawa, Kawi, serta lancar berbahasa
Melayu. Disamping itu dapat pula sedikit-sedikit berbahasa Belanda Arab dan
Tionghoa. Selain itu Ibu Salmun pun faham pula berbagai pustaka Klasik,
sehingga sering menjadi tempat bertanya sarjana-sarjana Belanda.

Salmun dapat dikatakan sebagai sastrawan generasi tahun 1920 an yang paling
produktif sejak masa muda hingga akhir hayatnya. Meskipun penglihatannya
terganggu dan nyaris tidak melihat, ia tetap menulis. Indra mata adalah
organ terpenting di dalam upaya tulis menulis khususnya bagi seorang
bujangga sekaliber Salmun. Hal yang sama dialami oleh komponis Jerman Ludvig
van Beethoven (1770-1827). Ketika pada tahun 1800, tahun mulainya masa baru
yang kreatif dan sangat produktif, sadar bahwa alat pendengarannya mulai
terganggu. Kedua indra tersebut, mata dan telinga adalah organ penglihatan
dan pendengaran yang sangat-sangat dibutuhkan bagi penciptaan karya seni
sastra dan seni musik. Anehnya kedua orang besar itu tidak tergangu dan tak
pernah menjadi penghambat oleh kekurangan tersebut bagi kreativitas ciptaan
mereka. Karya-karya mereka, seni sastra dan musik mengalir terus hingga ajal
menjelang.

Karya awal Salmun semula dalam bentuk dangding dan cerita pendek yang muncul
dalam penerbitan Volksalmanak Soenda dan Majalah Parahiangan terbitan Balai
Poestaka. Kemudian menulis wawacan, gending karesmen, bahasan (essay),
roman, sajak-sajak dan yang lainnya.

Setamat HIS (setara SD 6 tahun sekarang) bekerja di Kantor Pos dan
Telepon-Telegrap (PTT) Rangkasbitung, kemudian dipindah ke Tanjung Karang
dan selanjutnya ke Cianjur. Sewaktu dinas di Tanjung Karang, Salmun mulai
mengarang serius dan senantiasa mengirim tulisan-tulisan ke Balai Poestaka.
Namun bukunya yang pertama berjudul Moro Julang Ngaleupaskeun Peusing (1923)
dan Sungkeman Gelung (1928) terbit bukan oleh Balai Poestaka.

Tahun 1938 Salmun ditarik ke Sidang Pengarang Soenda, Balai Poestaka. Pada
waktu itu banyak menerbitkan wawacan antara lain, Ciung Wanara (1939),
Mundinglaya (1940), Ekalaya Palastra (1940), Asmarandhana (1942), Goda
Rancana (1942). Tahun 1943 Salmun keluar dari Balai Poestaka, kemudian
menjadi pegawai tinggi Pamong Praja di Banten, tapi kemudian kembali lagi
(1948-1951).

Setelah kembali ke Balai Poestaka Salmun menerbitkan buku Padalangan
Pasundan (1949), menyunting Mahabharata (1950), Wawangsalan Jeung Sisindiran
Karya Mas Adiwinata dan Raden Bratakusumah menjadi Sisindiran pada tahun
1950 dan Gogoda Ka Nu Ngarora (1951).

Keluar dari Balai Peostaka menjadi pegawai tinggi di Departemen Sosial
sampai pensiun. Ketika Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta membuka
Kuliah Bahasa Sunda, Salmun diminta menjadi Dosen luar biasa tahun 1951. Ia
juga aktif dalam Konperensi Basa Sunda di Bandung pada tahun 1952.
Konperensi ini melahirkan Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS). Dalam
setiap kongres yang diselenggarakan oleh LBSS, Salmun sering memberikan
prasaran tentang bahasa dan sastra sunda, perkembangan dan tantangannya.

M.A. Salmun termasuk yang ikut membangun dan menerbitkan Majalah Sunda
Tjandra di Bogor pada tahun 1954. Berturut-turut tahun 1957 Majalah
Panglipur Mangle dan Majalah Sari pada tahun 1963. Hingga saat ini, tahun
2006, Majalah Mangle masih terbit dengan teratur dan semakin menarik seiring
dengan perkembangan teknologi Informatika. Di dalam setiap majalah yang
diasuhnya, Salmun senantiasa menulis cerita bersambung dan bahasan tentang
sastra. Beberapa cerita bersambung banyak yang dibukukan antara lain, Budah
Cikapundung (1965), Angeun Haseum (1965), Villa Bati Nyeri (1966), Neangan
Bapa (1966). Selain itu apabila menengok ke belakang, Salmun banyak menulis
naskah Gending Karesmen seperti Mundinglaya (1933), Kelenting Kuning (1933),
Lenggang Kancana yang kemudian disadur oleh sastrawan Armijn Pane dalam
Bahasa Indonesia pada 1934. Pada masa sesudah perang, Salmun menulis Gending
Karesmen Arya Jalak Harupat riwayat Otto Iskandardinata pada tahun 1954.

Karya-karya yang jumlahnya ratusan itu sayang hingga saat ini belum
seluruhnya terkumpul dengan baik dan lengkap. Masih banyak karangan yang
terbenam dalam media yang memuatnya seperti Volksalmanak Soenda,
Parahiangan, Surat Kabar Sipatahoenan, Majalah Sunda, Candra, Sari, Mangle
dan yang lainnya. Kecuali karya kreaatif baik dangding, sajak, roman dan
Gending Karesmen, Salmun banyak menulis artikel tentang sastra wayang dan
Padalangan. Bukunya tentang sastra sunda berjudul Kandaga Sastra Sunda yang
terbit 1957 di Bandung. Kandaga Sastra Sunda adalah buku yang sifatnya
berseri, isinya menelaah tentang sastra dan tata bahasa sunda. Di dalam buku
ini pula diguar aspek-aspek bahasa yang lengkap mulai dari ejaan,
perbendaharaan, dan fenomena-fenomena kebahasaan yang ditelaah secara
mendalam.

Salmun tak hanya mahir menulis dalam bahasa Sunda ia pun sanggup dengan baik
menulis di dalam bahasa Indonesia. Gaya menulisan dan bahasa Salmun selain
penuh humor, ia pun secara serius sering memaparkan tentang filsafat, etika
kehidupan dan agama. Sebagai seorang yang mendalami sastra wayang dan
pedalangan karya-karya tulis Salmun tentang wayang dan pedalangan tersebut
penuh dengan nasihat, petuah dan filsafat kemanusiaan.

Tahun 1971 dengan kondisi mata yang 80% yang tidak melihat, Salmun berhasil
menyelesaikan naskah Paribasa Sunda yang dikirimnya ke penerbit Sumur
Bandung. Karya terakhir Salmun yang beripa naskah tentang pribahasa Sunda
tersebut pada tahun 1971 beberapa bulan sebelum akhir hayatnya.

Hasil karya Salmun tercatat dan terkumpulkan sebanyak 480 judul, termasuk
karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Indinesia. Ke-480 judul tersebut
adalah terbitan tahun 1929 sampai 1967, terdiri dari : guguritan 122 judul,
wawacan 6 judul, sanjak 25 judul, cerita pendek 103 judul, roman 7 judul,
anekdot 26 judul, drama dangding dan gending karesmen 5 judul, bahasan 172
judul, pengetahuan bacaan umum 6 judul, buku pelajaran 8 judul.

Salmun adalah pengarang tiga zaman yang sangat produktif dan serba bisa. Ia
menulis dalam hampir semua bentuk karangan baik prosa, maupun puisi dalam
bahasa Indonesia dan Sunda. Salmun banyak jasanya dibidang kebudayaan
(Sunda), diantaranya ia berjasa mendirikan " Sakola Dalang" di Bandung pada
tahun 1965.

Bogor yang kita kenal selama ini tak hanya memiliki Kapten Muslihat, Mayor
Oking, atau Kolonel Endjo Martadisastra, Bogor pun memiliki ahli botani
termashur yaitu Prof. Kostermans, arsitek Masjid Istiqlal F.Silaban, Taufiq
Ismail tokoh sastra angkatan 66, Bogor juga memiliki tokoh pantun yang
paling sepuh hingga kini Abah Kanceng, juga sastrawan Ali Audah yang banyak
menerjemahkan karya-karya filsafat dan sastra Timur/Barat, Rahayu Effendi
aktris yang terkenal tahun 70- 80 an Kegiatan menonjol lainnya, di Bogorlah
Kota pertama di Indonesia yang menyelenggarakan Festival Teater Indonesia
tahun 1955.

Pahlawan pada hakekatnya tak hanya sosok seseorang yang memanggul senjata,
pahlawan juga adalah insan yang secara serius dan konsisten dengan ilmu yang
dimilikinya dan bermanfaat bagi masyarakat.

M.A. Salmun yang beristirahat dengan tenang di bumi Bogor pada tahun 1972
namanya diabadikan untuk sebuah jalan, Jalan M.A Salmun. Semoga keabadian
nama pengganti jalan Pabrik Gas itu tak hanya sekedar nama yang terpampang
dalam sebuah plang nama belaka namun seyogyanya diabadikan melalui kegiatan
intelektual sastra yang secara kontinyu diselenggarakan secara sinambung dan
terus menerus. Penyelenggaraan kegiatan bisa melalui peringatan Hari Jadi
Bogor atau Kegiatan Pelestarian Budaya oleh Dinas Informasi Kepariwisataan
dan Kebudayaan. Semoga !.

*(Rachmat Iskandar penulis adalah Staf Bidang Kebudayaan pada Dinas
Informasi, Kepariwisataan dan Kebudayaan)*

URL: http://www.bogornews.com/mod.php?mod=spot&op=viewarticle&artid=64

Kirim email ke