Cik lah ka para ustadz KUSNET, kumaha pamendakna kana Hadist nu 
nyebutkeun yen Pamimpin/Imam/Kalifah kudu ti urang Quraisy? Masalah 
ieu TEU SEDERHANA lamun Daulah Islam ngadeg, sabab tangtu aya nu 
nyokot kana Hadist ieu. Batur kuring kungsi nyaritakeun yen manehna 
kungsi nyapih urang Pakistan jeung urang Arab nu patorong-torong 
tepi ka arek gelut, perkara naha Kalifah teh Urang Arab atawa 
meunang tinu etnik sejen. Si urang Arab ngotot kudu urang Arab deui, 
da meureun nyokot AH ieu. Kajadian ieu waktu batur kuring sakola di 
Amerika.

Kanggo bahanna, kuring nyutat ti alamat ieu:
http://blogbahrul.wordpress.com/2007/11/28/studi-hadits-kepemimpinan-
pada-quraisy/

Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi Saw bersabda, "Para Imam (pemimpin) 
itu dari Quraisy. Jika mereka memerintah, maka mereka adil. Jika 
mereka berjanji, mereka memenuhi. Jika mereka diminta belas kasihan, 
mereka berbelas kasih. Siapa saja di antara mereka yang tidak 
berbuat demikian, maka dia akan mendapatkan laknat Allah, laknat 
para malaikat, dan laknat seluruh manusia. Tidak dapat diterima 
taubat dari mereka dan tidak diterima pula tebusan (azab) dari 
mereka."

Takhrij Al Hadits (Otentisitas Hadits)

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud At-Thayâlisy dalam 
musnadnya Juz 2 hal. 163. Imam Ahmad juga meriwayatkannya dari Anas 
bin Malik dan Abi Barzah dengan redaksi yang lebih pendek: Bahwa 
Rasulullah Saw berdiri di depan pintu rumah Beliau Saw dan kami ada 
(di dalam rumah beliau), lalu berkata: "Para Imam itu dari Quraisy." 
(Al-Musnad, juz 3, hal. 139 dan juz 4, hal. 421). Imam Al-Bukhari 
meriwayatkan hadits tersebut dalam Kitab Al-Anbiya' dengan lafazh: 
Dari Mu'awiyah bahwasanya dia mendengar Nabi Saw bersabda:

"Sesungguhnya urusan (pemerintahan/khilafah) ini ada di tangan 
Quraisy. Tidak seorang pun yang memusuhi mereka melainkan Allah akan 
membuatnya terjungkal/tersungkur ke tanah, selama mereka menegakkan 
agama (Islam)." (lihat Shahih Bukhari, juz 6, hal. 389). Beliau juga 
meriwayatkan hadits itu dari Abdullah bin Umar r.a. dengan 
lafazh: "Urusan (pemerintahan khilafah) ini senantiasa berada di 
tangan Quraisy selama masih tersisa dari mereka dua orang." (Idem, 
juz 6, hal. 389). Imam Ibnu Hajar Al-`Asqalani tentang sanad hadits 
itu berkata: "Para perawinya (rijâl hadits) tergolong dalam para 
perawi yang shahih, tetapi dalam sanad ini ada keterputusan 
(inqithâ')." (Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 231). Dan hadits Ibnu Umar 
ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Al-Imârah dengan 
lafazh: "Urusan (pemerintahan khilafah) ini senantiasa berada di 
tangan Quraisy selama masih tersisa dua orang di antara manusia." 
(Shahih Muslim, juz 12, hal. 201). Imam Muslim meriwayatkan hadits 
serupa dari Abu Hurairah r.a. dengan lafazh: "Manusia mengikuti 
Quraisy dalam perkara (pemerintahan) ini. Yang muslim mengikuti kaum 
muslimin dari kalangan mereka. Yang kafir mengikuti kaum kafir dari 
kalangan mereka." (Shahih Muslim, Juz 12, hal. 200).

Dalam Sunan At-Tirmidzi, juz 4, hal. 503, diriwayatkan hadits dari 
Amr bin Al `Ash bahwasanya dia mendengar Nabi Saw bersabda: "Quraisy 
adalah pemimpin manusia (wulâtun nâs) dalam kebaikan dan keburukan 
hingga hari qiyamat" dan Imam At-Tirmidzi berkata: "[i]Hadits ini 
adalah hadits hasan gharib shahih." Dalam Sunan Al-Baihaqi, juz 8, 
hal. 144, diriwayatkan hadits dari `Atha' bin Yasar bahwasanya 
Rasulullah Saw bersabda kepada orang-orang Quraisy: "Kalian adalah 
manusia yang paling layak memegang urusan (pemerintahan) ini selama 
kalian berada dalam kebenaran. Apabila kalian menyimpang dari 
kebenaran maka kalian akan dikupas habis sebagaimana kulit kayu ini 
dikupas! —Beliau menunjuk sebuah kayu yang ada ditangannya." Dan 
Imam Syafi'i meriwayatkannya dengan lafazh yang sama dalam Al-Musnad 
bagian Mu'amalat. Beliau mengeluarkan sebuah hadits yang 
diriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa telah sampai padanya bahwa 
Rasulullah Saw bersabda: "Persilahkan Quraisy tampil kedepan (untuk 
memimpin) dan janganlah kalian mendahuluinya ke depan (untuk 
memimpin). Belajarlah dari Quraisy dan jangan mengajari mereka." 
(Imam Syafi'i, Idem, hal. 194). Dalam kitab Majmu' Az-Zawâid karya 
Al-Haitsami dari Tsauban berkata: Rasulullah Saw bersabda:

"Tetaplah bersama Quraisy selama mereka tetap bersama kalian. Kalau 
mereka tidak melakukan hal itu, maka angkatlah pedang kalian diatas 
pundak kalian, lalu musnahkahlah pemimpin-pemimpin (quraisy) itu. 
Jika kalian tidak melakukannya, maka jadilah sebagai kaum petani 
yang payang hidupnya dimana kalian akan makan hanya dari hasil 
jeritan kalian." Al-Haitsami berkata: Hadits ini telah diriwatkan 
Ath-Thabrani dalam Al-Mu'jam As-Shaghîr dan Al-Ausath, dan para 
perawi As Shaghîr terpercaya (lihat juz 5, hal. 228).

Tentang hadits "Para Imam dari Quraisy" Al-Halabi berkata dalam 
Sirah Halabiyah, juz 2, hal. 480: "Hadits tersebut adalah hadits 
shahih yang diriwayatkan sekitar 40 shahabat." Imam Ibnu Hazm 
menilai hadits tersebut mutawatir. Dia berkata: "Riwayat hadits ini 
datang secara tawatur." (Al-Fashal fil Milal wal Ahwâ' wan Nihal, 
juz 4, hal. 89). Imam Ibnu Taimiyyah cenderung menilai hadits itu 
mutawatir dari segi maknanya saja dan bukan dari segi sanadnya 
(Minhâjus Sunnah An-Nabawiyyah, juz 2, hal. 85-86). Apa yang 
dikatakan Ibnu Taimiyyah itulah yang benar. Sebab, diterimanya 
penilaian itu tidak berdasarkan banyaknya perawi yang meriwayatkan 
hadits, tetapi pada dipenuhinya syarat-syarat tawatur oleh sebuah 
hadits.

Fiqh Al-Hadits (Pengertian Hadits)

Syarat keturunan (nasab) Quraisy telah mendapatkan perhatian besar 
dalam pengangkatan Imam atau Khalifah dari jumhur para ulama dan 
dalam masalah ini terdapat perbedaan yang besar di antara para ulama 
yang menganggapnya sebagai syarat in'iqad (keharusan) dalam 
mengakadkan khalifah —yang berpendapat bahwa selain orang Quraisy 
tidak boleh menjadi khalifah— dengan kalangan yang memasukkannya 
sebagai syarat afdlaliyyah (keutamaan) semata. Bahkan para 
mufakkirin kontemporer semacam Syaikh Abdul Wahhab Khalaf dalam 
kitab As-Siyâsah As-Syar'iyyah hal 28 dan Dr. Al-Khurbuthli dalam 
kitab Al-Islam wal Khilafah hal. 59, mereka menolak keshahihan 
hadits tersebut dan menganggapnya tidak jelas asal usulnya dalam 
syara' berdasarkan ketiadaan nash yang shahih yang menunjukkannya.

Madzhab Ahlu Sunnah, seluruh Syi'ah, sebagian kelompok Mu'tazilah, 
dan sebagian besar kelompok Murji'ah berpendapat bahwa keturunan 
Quraisy merupakan syarat in'iqaad khilafah (Imam Ibnu Hazm, Al-Fashl 
fil Milal wan Nihal, juz 4, hal. 89; Abul Hasan Al-Asy'ari, Maqalât 
Al-Islamiyyîn, juz 2, hal. 134; Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2, hal. 
522-524; dan Al-Qalqassyandi, Mâtsirul Inâfah fi Ma'âlimil Khilafah, 
juz 1, hal. 38). Imam Malik berkata: "Imamah atau kepemimpinan tidak 
boleh ada kecuali pada Quraisy." ( Ibnu Arabi, Ahkâmul Qur'an, juz 
4, hal. 1709). Imam Ahmad berkata: "Tidak ada khalifah dari selain 
Quraisy.[/i]" (Abu Ya'la al Farrâ'[/b], Al-Ahkam As-Sulthâniyah, hal 
20). Mereka berargumentasi dengan dalil hadits "Para Imam dari 
Quraisy" dan ijma' shahabat, sebab Abu Bakar r.a. telah berdalil 
dengan sabda Rasulullah Saw: "Para imam dari Quraisy" ketika beradu 
argumentasi dengan kaum Anshar dalam perselisihan pendapat tentang 
masalah imamah. Argumentasi itu disaksikan oleh para shahabat dan 
mereka menerimanya sehingga menjadi dalil yang pasti yang memberikan 
pengertian persyaratan Quraisy dalam khalifah (lihat Abul Hasan Al-
Asy'ari, Maqalât Al-Islamiyyîn, juz 1, hal. 41; Ibul Arabi, Al-
`Awâshim minal Qawâshim, hal 43; Al-Mawardi, Al-Ahkâm As-
Sulthâniyyah, hal. 5-6; dan Al-Aijî, Al-Mawâqif, juz 8, hal. 350; 
dan Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al Farqu bainal Firaq, hal. 15).

Sedangkan al Khawarij, jumhur kalangan Mu'tazilah, sebagian 
Murji'ah, Qadli Abu Bakar Al-Bâqilâni, sebagian kelompok Ghulat al 
Imâmiyyah, Ibnu Khaldun, Imam Ibnul Hajar Al-`Asqalani, dan para 
ulama kontemporer berpendapat bahwa nasab Quraisy tergolong syarat 
afdlaliyyah bukan termasuk syarat in'iqad (lihat Al-Amidi, Al-Fashl 
fil Milal wal Ahwâ wan Nihal, juz 4, hal. 89 dan Ghâyatul Maram fi 
Ilmil Kalam, hal 383; Ibnu Hajar, Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 237; 
Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2, hal. 524; Syaikh Abdul Wahhab Khalaf 
dalam kitab As-Siyâsah As-Syar'iyyah hal. 27; Dr. Abdul Hamid 
Mutawalli, Mabâdi Nizham al Hukm fil Islam, hal. 613; dan Dr. Al 
Khurbuthli, Al-Islam wal Khilafah, hal. 35).

Wajhul Istidlal Hadits Ini (Motif Dasar Dalil)

Sesungguhnya hadits-hadits yang ada menyebut persyaratan nasab 
Quraisy bagi kepemimpinan kaum muslimin, sekalipun menunjukkan bahwa 
manusia yang paling berhak untuk memegang jabatan khilafah adalah 
orang Quraisy, hanya saja hal itu tidak menunjukkan bathilnya 
kehilafahan dari selain mereka. Juga tidak menunjukkan pembatasan 
bahwa kursi kekhilafaan hanya untuk Quraisy dan tidak sah jika 
diakadkan/diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, syarat 
nasab Quraisy termasuk syarat afdlaliyyah, bukan termasuk syarat 
in'iqad. Inilah pendapat yang benar dalam perkara ini.

Argumentasinya nampak pada beberapa segi:

Pertama, Sesungguhnya semua hadits yang diriwayatkan dan sanadnya 
shahih dari Rasulullah Saw seperti hadits Anas: "Para imam adalah 
dari Quraisy" dan hadits Mu'awiyah "Sesungguhnya urusan 
(pemerintahan/ khilafah) ini berada pada Quraisy" dan yang serupa 
dengannya sekalipun dari hadits-hadits itu dapat difahami penentuan 
kekhilafahan Quraisy, hanya saja dalam hadits-hadits tersebut tidak 
menunjukkan bahwa selain Quraisy tidak boleh memegang jabatan 
khilafah, tapi menunjukkan bahwa Quraisy punya hak dalam hal itu 
dari segi keutamaan lantaran posisi sentral Quraisy sebelum Islam 
dan kedudukan mereka di antara orang-orang Arab.

Ketika datang Islam memecahkan masalah dalam realitas yang ada di 
antara manusia, yaitu keadaan masyarakat yang tidak mau menerima 
kepemimpinan selain dari Quraisy. Mereka tidak rela kalau yang 
berkuasa mengatur urusan mereka adalah orang selain Quraisy. Inilah 
yang ditunjukkan oleh Abu Bakar As-Shiddiq r.a. dalam pidato beliau 
di Saqifah Bani Saaidah Beliau r.a. mengatakan: "Sesungguhnya 
perkara (pemerintahan/ khilafah) ini berada pada Quraisy selama 
mereka taat kepada Allah dan istiqamah dalam menjalankan 
perintahNya, dan telah sampai kepada kalian hal itu dan kalian 
mendengarnya dari nabi kalian." (Diriwayatkan oleh Muhammad bin 
Ishaq dalam Al-Kitab Al-Kabir dan itu dinukil oleh Ibnu Hajar dalam 
Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 235). Hal itu juga terdapat pada karya 
Ibnu Hazm dengan lafazh: Dan tidak akan mengakui bangsa Arab perkara 
ini (pemerintahan) kacuali dipegang oleh suku dari Quraisy ini., 
mereka adalah kaum Arab yang terkemuka dari segi keturunan dan 
negeri, yakni mereka adalah bangsa Arab yang paling mulia dan negeri 
mereka adalah Makkah yang berupakan wilayah yang mulia (Sirah Ibnu 
Hisyam Juz 2 hal 659).

Kedua, sesungguhnya semua hadits yang diriwayatkan itu , yang 
menjadikan urusan pemerintahan berada pada orang Quraisy telah ada 
dalam bentuk khabar dan tidak satu hadits pun datang dalam bentuk 
perintah. Bentuk khabar menurut para ulama ushul sekalipun 
memberikan pengertian tuntutan (thalab) tetapi tidak terkategori 
tuntutan yang pasti (thalaban jaaziman) selama tidak disertai dengan 
indikasi (qarinah) yang menunjukkan penekanan (ta'kid) dan ternyata 
tidak ada satu qarinah pun yang menyertainya, tak ada dalam satu 
riwayat yang shahih. Sehingga menunjukkan bahwa status hukumnya 
adalah mandub (sunnah) bukan wajib. Jadi syarat nasab Quraisy itu 
adalah syarat afdlaliyyah bukan syarat in'iqad.

Ketiga, sesungguhnya kata Quraisy adalah isim (kata nama), bukan 
sifat. Dalam istilah ilmu ushul disebut "laqab" (sebutan). Dan 
mafhum isim atau mafhum laqab tidak diamalkan/dipakai secara mutlak. 
Sebab isim atau laqab tidak mempunyai mafhum. Para ulama ushul, 
kecuali Ad-Daqqaq, telah bersepakat mengatakan bahwa laqab tidak 
mengandung mafhum (Al-Aamidi, Al-Ihkâm fi Ushûlil Ahkâm, juz 2, hal. 
160 dan Asy-Syaukani, Irsyâdul Fuhûl ila Tahqiiqil Haqqi min Ilmil 
Ushûl, hal. 159). Oleh karena itu, penentuan Quraisy bukan berarti 
tidak menjadikan jabatan khalifah untuk selain Quraisy. Sabda 
Rasulullah Saw "Sesungguhnya urusan (pemerintahan/khilafah) ini 
berada pada Quraisy" dan sabdanya pula: "Urusan (pemerintahan) ini 
selalu di tangan quraisy" tidak berarti bahwa urusan ini, yakni 
pemerintahan dan khilafah, tidak dibenarkan berada di tangan orang 
selain Quraisy. Dan tidaklah berarti selalu di tangan mereka itu 
tidak dibenarkan kalau beada di tangan slain mereka. Tetapi berarti 
urusan pemerintahan itu di tangan mereka dan bisa (benar) juga di 
tangan selain mereka. Penentuan keberadaan pemerintahan di tangan 
mereka bukan berarti mencegah keberadaan khilafah di tangan selain 
mereka.

Keempat, kalau syarat nasab/keturunan Quraisy menjadi syarat 
in'iqad, kenapa Rasulullah Saw bersabda: "Selama mereka menegakkan 
agama (Islam)." Sebab mafhum mukhalafah dari hadits 
Mu'awiyah "Selama mereka menegakkan agama (Islam)" berarti 
bahwasanya jika mereka tidak menegakkan agama (Islam), maka urusan 
(pemerintahan) tersebut keluar dari mereka (Ibnu Hajar, Fâth Al-
Bârî, juz 16, hal. 333-334). Jika urusan pemerintahan lepas dari 
tangan mereka, bolehkah kaum muslimin hidup tanpa Imam yang 
menyebabkan terbengkalainya hukum dan terhentinya jihad?

Sesungguhnya hukum syar'i menetapkan bahwa mengangkat imam atan 
Khalifah itu wajib bagi umat. Umat juga wajib memecat penguasa jika 
dia menampakkan kekufuran yang nyata, baik penguasa itu seorang 
Quraiys atau bukan. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abdullah bin 
Mas'ud r.a. bahwasanya dia telah mendatangi Rasulullah Saw dan 
mendengar beliau bersabda:

"Amma ba'du. Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian adalah 
kaum yang berhak atas urusan (pemerintahan) ini, selama kalian tidak 
bermaiksiat kepada Allah. Jika kalian bermaksiat kepada-Nya maka dia 
niscaya akan mengerahkan kepada kalian sekelompok orang yang akan 
menguliti (mengupas habis) kalian sebagaimana kayu ini dikuliti –
beliau menunjuk pada sebuah kayu yang ada di tangan beliau." Perawi 
berkata: "Kemudian beliau Saw mengelupas kulit tongkatnya yang 
kemudian nampak putih keras." (Al Musnad, juz 6, hal. 176 hadits No. 
4380). Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam 
Al-Mu'jam As-Shaghîr dan Al-Ausath dari Tsanban berkata: Rasulullah 
Saw bersabda: "Peganglah janji setia kepada Quraisy selama mereka 
setia (tidak khianat) memimpin kalian. Jika mereka tidak melakukan 
(khianat dalam memimpin umat) maka angkatlah pedang kalian di atas 
pundak kalian dan musnahkanlah pemimpin-pemimpin (Quraisy) itu." (Al-
Haitsami, Majmau' az Zawâid, juz 5, hal. 228).

Hadits-hadits ini tidak menjadikan wewenang pemerintahan (wilayatul 
amri) pada Quraisy dalam kebenaran maupun kebatilan, tetapi Quraisy 
hanya diberi wewenang dalam kebenaran saja. Jika mereka dalam 
keadaan batil, dan yang lain dalam kebenaran, Rasulullah menyuruh 
tidak mengikuti kebatilan dan melawannya dengan kekuatan fisik. Dari 
keseluruhan hadits yang ada, tak terbayang kecuali bahwa syarat 
nasab Quraisy itu hanya syarat afdhaliyah semata, tidak merupakan 
syarat in'iqad.

Kelima, Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Umar bin Al Khaththab 
r.a dengan sanad rijalnya tsiqah (terpercaya) bahwasanya dia 
berkata: "Jika telah sampai ajalku, dan Abu Ubadah masih hidup, maka 
aku akan menyerahkan kekhilafahan kepadanya." Maka dia menyebutkan 
hadits yang di dalamnya ada ungkapan: "Jika telah sampai ajalku dan 
Abu Ubadah telah mati maka aku akan memberikan kekhilafahan kepada 
Mu'adz bin Jabal.[/i]" (Al-Musnad, juz. 16 hal. 236).

Lebih-lebih lagi Umar bin Khaththab r.a mengucapkan hal itu dengan 
dihadiri oleh para shahabat r.a. Dan tidak ada satu riwawatpun yang 
menyebut bahwasanya mereka berbeda pendapat dengan Umar tentang 
pendapatnya itu dan berhujjah bahwa Khilafah mesti di tangan Quraisy 
dan tidak boleh di tangan keturunan yang lain. Oleh kerena itu 
pemahaman inilah yang difahami Umar r.a dan tak seorangpun dari 
shahabat yang mengingkarinya bahwa syarat nasab Quraisy bukanlah 
syarat in'iqad.

Keenam, jika kita asumsikan bahwa nasab Quraisy harus dipakai untuk 
mengakadkan (menyerahkan) khilafah kepada seorang dari Quraisy, 
tentunya syara' menjelaskan hal itu. Namun syara' tidak meminta 
mempertahankan nasab Quraisy di antara manusia. Bagaimana bisa 
dibayangkan dalam hal ini kemampuan kaum muslimin mengangkat seorang 
khalifah dari suku Quraisy ?!

Ini telah disepakati oleh kebanyakan mutakallimin bahwasanya taklif 
tak ada kaitannya kecuali dengan perbuatan hamba yang dia mampu 
melakukannya (As-Sarkhasy, Muntaha as Sûl fi ilmil Ushul, juz 1, 
hal. 35). Dan memelihara nasab Quraisy hingga hari kiamat adalah 
sesuatu yang diluar kemampuan manusia. Oleh karena itu, nasab itu 
jika diketahui termasuk syarat afdhaliyah, bukan merupakan syarat 
in'iqad. Hal ini karena syarat in'iqaad yang akad khilafah tidak 
bisa disahkan kecuali dengan syarat itu dan seorang calon khilafah 
harus memenuhinya untuk jabatan khilafah, adalah 7 syarat, yaitu: 
dia harus seorang muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, 
dan mampu melaksanakan tugas-tugas khilafah ( An-Nabhani, Nidzamul 
Hukmi fil Islam).

Syarat-syarat itulah yang menjadi syarat in'iqaad khilafah dan 
selain ketujuh syarat itu tidak layak menjadi syarat in'iqad, 
sekalipun bisa menjadi syarat afdhaliyat. Jika nashnya terbukti 
shahih. Atau tersubordinasi dari hukum yang telah ditetapkan dengan 
nash yang shahih, seperti keberadaan khilafah di tangan Quraisy, 
atau ia seorang ahli ijtihad, atau seseorang yang memiliki pendapat 
yang dapat membantu dalam memelihara urusan rakyat dan mengatur 
kemashlahatan mereka, dan lain-lain.

Oleh karena itu, nasab Quraisy, perannya hanya terbatas pada syarat 
afdhaliyah yang urgensinya menonjol ketika disodorkan nama-nama 
calon pemangku jabatan khilafah kepada mayoritas kaum muslimin. Dan 
disodorkan setiap calon dan kelebihannya atas calon-calon lain agar 
umat dapat membai'at siapa yang mereka inginkan dengan rela dan 
memilih orang yang mereka inginkan dengan rela tanpa memperhatikan 
sesuatu apapun selama orang yang dipilih oleh umat telah memenuhi 
syarat-syarat in'iqad.

Ya Allah, kami mohon kepadaMu daulah Islamiyah yang mulia, Khilafah 
Rasyidah yang mengikuti pola kenabian yang dengannya Islam dan 
pemeluknya menjadi mulia serta kekufuran dan pelakunya menjadi hina, 
dan jadikanlah kami para penyeru (ummat) untuk taat kepada-Mu, dan 
menjadi pemimpin yang membawa (seluruh manusia) ke jalan-Mu, ya 
Allah, dan tetapkanlah kami dengan kemuliaan tersebut dunia akhirat, 
dengan RahmatMu Ya Arhamar Raahimiin.

Kirim email ke