Ass,
Saderek sadaya.
Lalakon kuring mudik ka Banten. Punten, ieu ditulis ku bahasa Indonesia
keneh.
Wass

baktos
Tantan. *


Kisah Pertama: Menuju Banten

*Alhamdulillah. Begitulah ucap saya ketika ternyata cukup memiliki
kesempatan untuk pulang mudik. Ya, meski bukan ke kampung halaman tempat
tumpahdarah, namun setiap ada kesempatan ini, selalu menggembirakan.
Kami sekeluarga pulang ke rumah mertua alias kampung istri saya. Untuk pergi
ke sana, saya meminjam mobil kawan sekantor dan meminta bantuan tetangga
untuk menyopiri mobil tersebut. Sebab rencananya kami hanya diantar saja,
adapun mobilnya sendiri kemudian dipulangkan kembali kepada pemiliknya.

Kami pulang hari Ahad, tanggal 28 September, atau 28 Ramadhan. Saya, Reni
(istri), Binda (anak I), dan Javid (anak II) dan Pembantu saya. Selain itu,
tentu saja ada Pak Salim (sopir), dan anaknya (Ika) yang mau ikut. Maklum,
Ika adalah kawan akrab kedua anak kami, selain memang Pak Salim adalah
tetangga sebelah rumah persis.

Berangkat dari Bogor, sekitar jam 1.45. Sengaja dipilih waktu demikian agar
kami bisa tiba di Banten menjelang buka. Dan benar saja, kelak kami tiba
sekitar seperempat jam sebelum bedug magrib berkumandang.

JASINGA

Perjalanan sengaja memilih lewat Jasinga. Tidak lewat tol seperti biasa.
Sengaja, selain menghemat anggaran paling tidak untuk Tol, juga dari sisi
jarak tempuh juga berkurang jauh. Oh ya, ada pertimbangan lain melewati
Jasinga yakni menghindari kemacetan. Toh meski lewat jalur alternatif,
menurut Asep, adik saya yang sehari sebelumnya melewati rute tersebut dengan
menggunakan motor, jalannya juga cukup baik.

Kami melewati Jasinga tidak ngebut. Bahkan kecepatan relatif pelan, sekitar
40-50 km/jam. Hal ini dikarenakan jalannya tidak terlalu lebar dan banyak
sekali tikungan.

Pemandangan hijau di sepanjang jalan, kebun-kebun penduduk, sawah, kebun
sawit PTPN VIII, menjadi hiasan yang memanjakan mata kami. Sayang, kedua
anak saya kurang bisa menikmati perjalanan karena mabuk dan kelelahan.
Javid, meski sempat tidur siang dan makan dulu, tetapi sudah mabuk duluan
ketika masuk ke daerah Leuwi liang. Sedangkan Binda yang berpuasa terus,
sejak masuk mobil sudah minta untuk "allahumma laka sumtu" alias minta
berbuka puasa.

Kami sampai di Banten benar-benar menjelang magrbib. Ternyata di sana sudah
disediakan Es Kelapa Muda yang enak, Ikan tenggiri, dan petai. Maka ketika
waktu berbuka puasa tiba, kami tidak bisa tidak makan dengan sangat lahap.

*Kisah Kedua; Krisis Air

*Di Banten, tepatnya di kampung Babakan Lor tempat mertua saya tinggal, air
sedang kering (sekali). Untuk mandi, kami harus menggunakan motor pergi ku
rumah sodara yang berjarak cukup jauh. Dan itu dilakukan tiap hari. Maka
dari itu, jika sedang di sana, selain mandi, BAB, dll kami lakukan. Sebab
mumpung ada air.

Kadang, saya malas pulang ke Banten untuk mudik, bukan hanya masalah jarak,
atau ongkos yang semau gue, tetapi masalah air ini yang bikin kesal.
Bayangkan, kita harus benar-benar menghemat air. Bagaimana jika BAB tidak
bisa didesain inginnya pas saya sedang mandi ke tempat jauh itu?

Untuk minum, kami harus membayar sangat mahal setiap jarigennya. Hal ini
terjadi karena air yang harus dicari jauh, dan menggunakan motor sewaan.

Makanya, untuk masalah minum, mertua saya membeli aqua gelas. Tapi ya itu,
kesadaran para peminum air itu teramat rendah, sehingga jika minum tidak
dihabiskan. Bahkan tidak jarang hanya seteguk (alasannya sopan saja, kali).
Saya kadang sebal dan marah sekali. Mereka tidak menyadari bahwa ini sedang
krisis air dan air sangat mahal.

Di kamar mandi, air ada dua drum besar. Itu sekedar buat jaga-jaga dalam
situasi yang sengaja jika darurat sekali. Eh, pernah satu kali, datang
rombongan sodara dari Jakarta. Ketika mereka menumpang ke WC, dengan
seenaknya buang-buang air, padahal hanya untuk kencing anaknya yang kecil.
Alasannya, ini anaknya pengen main air.

Duh...


*Kisah ketiga : Hal membanggakan

*Salah satu hal yang cukup membanggakan adalah ketika ada spanduk warna
kuning dari sebuah partai (sebut saja GOLKAR) menghiasi perjalanan. Bukan
GOLKARnya yang membuat saya bangga. Toh dari dulu partai ini belum pernah
membuat saya bangga. Yang kemudian membuat saya bangga adalah potret
seseorang yang ada di dalam poster tersebut. Dialah H. Tb. Ace Hasan Sadzily
M.Si.

Ya, perlu dijelaskan alasannya: Pertama, dia adalah kawan saya. Saya kenal
beliau ketika masih kuliah, ketika sama-sama menjadi aktivis majalah
Mahasiswa INSTITUT IAIN (dulu, sekarang UIN), Jakarta, dan sejumlah
kebarengan dengannya.

Kedua, saya mengenalnya sebagai pribadi yang cerdas, muda, dan juga
berpotensi. Tidak rugilah, rasanya, jika kemudian dia jadi anggota DPR RI
(semoga engkau terpilih, Bung Ace! Saya sudah kampanye agar saudara2 di sana
memilih dirimu).

Sedangkan hal lain yang membanggakan adalah, ketika salah seorang saudara
istri saya juga dicalonkan partainya, PKS, menjadi caleg untuk kabupaten
Pandeglang. Namanya, Dodi. Dia luluasan Universitas Lampung untuk jurusan
Ekonomi. Di partainya, PKS itu, Dodi adalah bendahara. Semoga sukseslah,
Dod. Saya tahu pribadimu. Engkau itu antara polos dengan terlalu ikhlas,
bercampur baur.
*

Kisah Keempat: Hal yang menyebalkan

*Kami pulang pada hari sabtu, tanggal 04 Oktober 2008, atau hari keempat di
bulan Syawal. Jelas masih kental suasana lebaran, terutama di angkutan umum.


Kami mendapati hal tidak mengenakkan—dan ini selalu berlangsung setiap
lebaran—dalam hal ongkos. Hal ini terjadi karena ongkos bisa dinaikkan
semaunya. Mentang-mentang di bus dan lagi butuh, mereka seenaknya saja
menaikkan lebih dari ketentuan.

Ongkos normal bus Jurusan Labuan-Kalideres adalah Rp. 22.500. Jika dinaikkan
sesuai tuslag, 25% misalnya, maka kenaikannya hanya menjadi 28.125 saja.
Atau tarolah menjadi Rp. 30.000. Sedangkan kami diminta menjadi 40 ribu
perorang. Saya tanya, mengapa bisa menjadi segitu, apa dasar aturannya, apa
sesuai dengan anjuran pemerintah? Dia tidak bisa menjawab.

Dan akibatnya, banyak penumpang yang turun kembali. Termasuk saya juga
tadinya mau begitu. Tetapi ketika melihat kedua anak saya sudah duduk manis
di bangku dengan berusaha membuat diri mereka nyaman, bahkan terlihat
berusaha keras menyesuaikan dengan keadaan karena situasi yang tidak biasa
mereka rasakan, saya tidak tega mengganggu kenyamanan mereka. Dan sayapun
menyerah dengan keadaan tersebut.

Saya hitung, paling tidak di pintu depan ada sekitar 15 orang yang turun
lagi. Rata-rata umpatannya sama: ini pemerasan. Maka otomatis, sampai
Serang—bahkan Jakarta sekalipun—busnya tidak bisa penuh. Selain itu, mereka
ribut terus.

Padahal jika dia sesuai aturan, ia tidak akan ribut, kemudian penumpang juga
akan iklash2 saja. Dan selain itu, maka bus pasti penuh. Ini yang tidak
dipikirkan oleh Asli dan juga bus-bus lain jurusan Labuan Kali Deres.

Agaknya, Dephub harus menyoroti masalah transportasi ini. Mungkin karena
tidaka da wartawan yang memberitakannya, jadi perhatian pemda, DLLAJR, dan
aparat lain tidak ada. Padahal ini terjadi tiap tahun, tiap lebaran. Selain
sifat ugal-ugalan pengemudi bis yang sering membahayakan baik penumpang di
bus, maupun orang-orang atau kendaraan yang dilewati. Silahkan periksa
daftar kecelakaan di kawasan Banten, bisa dipastikan bahwa kelakuan sopir
bisa memberikan kontribusi besar bagi kecelakaan tersebut.

Bus yang saya tumpangi itu saja, ketika dari Labuan jalannya pelan minta
ampun. Tetapi begitu masuk tol, langsung cepat dan mengambil jalur paling
kiri. Pikiran saya langsung terbang pada gambar di jalan tol Jagorawi yang
menjelaskan akibat seperti ini, 42 penumpang bus meninggal karena
kecelakaan.

Tapi Alhamdulillah. Akhirnya kami bisa lega karena sampai di rumahm, tiba
dengan selamat dan disambut hujan lebat.

Buat warga kampung Idewe. Mohon maap lahir batin. hehe....




-- 
tantan hermansah | SM 1270

Kirim email ke