Ara Suhara, Si Penakluk Kartosuwirjo
SIAPA tak kenal dengan Sukarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Sejarah mencatatnya sebagai seorang gembong gerakan separatis DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang sangat meresahkan masyarakat Jawa Barat hingga awal tahun 1960-an. Banyak orang menganggapnya sebagai orang yang ”berilmu” hingga terkesan sangat licin untuk ditangkap selama bertahun-tahun. Hutan belantara adalah tempat persembunyian gerombolan ini. Saat kekurangan perbekalan, mereka pun turun ke kampung-kampung untuk menjarah makanan dan harta. Tak jarang, kekerasan pun dilakukan jika ada yang berupaya menentang aksi mereka. Masyarakat saat itu melencengkan kepanjangan gerombolan DI ini yaitu gerombolan duruk imah (bakar rumah) yang selalu dilakukan saat menjarah kampung. Adalah Ara Suhara (78), seorang penduduk asli Kp./Desa Maruyung Kec. Pacet Kab. Bandung. Meskipun hanya seorang tentara berpangkat rendah saat itu, namun keberaniannya mampu menangkap Kartosuwirjo. Pimpinan DI/TII itu, ditangkap 4 Juni 1962 di persembunyiannya di salah satu gubuk di Gunung Geber Kab. Bandung (sekarang wilayah Kamojang). Ara Suhara waktu itu berpangkat sersan. Ia tergabung dalam Kompi C Batalyon 328/Kujang I Kodam VI/Siliwangi (sekarang Kodam III/Siliwangi) pimpinan Letda Anda Suhanda. Ara menuturkan kisah ini di sela-sela acara “Mulangkeun Panineungan Ka Mangsa Operasi Pager Bitis 1962” di Lapangan Kecamatan Ibun Kab. Bandung, Sabtu (12/5). Posisi gerombolan diketahui saat dilaporkan adanya penjarahan di Kp. Pangauban Pacet. Sayangnya, anggota pasukan Kompi C berada pada kondisi menurun. Saat itulah, Ara memutuskan mengikuti jejak gerombolan DI/TII sendirian. Setelah diketahui persembunyian Kartosuwirjo, Ara menerobos masuk dan menodongkan senjatanya kepada para pejabat DI/TII, diantaranya Aceng Kurnia (Panglima Pasukan DI/TII) dan Dodo Muhammad Darda (Sekretaris DI/TII sekaligus anak Kartosuwirjo). Pada saat bersamaan, pasukan TNI yang bergabung dengan rakyat tiba. Ara pun tiba pada salah satu gubuk . Meskipun ia sama sekali tak mengetahui wajah Kartosuwirjo, namun mewahnya barang yang ada dalam gubuk itu, Ara yakin tempat tersebut merupakan persembunyian Kartosuwirjo. “Kartosuwirjo sedang duduk dengan pasrah. Kami pun sempat bercakap-cakap. Anehnya, dia tahu bahwa istri saya tengah mengandung dan mengatakan bahwa anak yang dikandung itu adalah laki-laki. Dia pun memberi saya satu pulpen,” ujar Ara. Kala itu, istri Ara memang tengah mengandung anak kedua mereka. Anak lelaki yang kelak diberi nama Sekar Ibrahim itu kini berpangkat Mayor dan bekerja sebagai dokter di RS Dustira Cimahi. Kata Sekar diambil dari nama Sukarmadji Maridjan Kartosuwirjo, sementara Ibrahim diambil dari nama Pangdam VI/Siliwangi waktu itu, Ibrahim Adjie. Kabar tentang tertangkapnya Kartosuwirjo, sekaligus akhir perjuangan melawan DI/TII tahun 1962. Lalu, apa yang didapat Ara Suhara setelahmenangkap Kartosuwirjo? “Sejak itu, setiap atasan banyak yang naik pangkat. Tapi, saya... Diberikan karunia dari Allah dengan anak 10!” ucapnya. Kebersamaan Peristiwa Pagar Betis tahun 1962, merupakan salah satu wujud kebersamaan antara tentara dan rakyat . Demikian dikatakan Adang S., Ketua Panitia acara “Mulangkeun Panineungan Ka Mangsa Operasi Pager Bitis 1962” . Menurut Adang, kebersamaan ini sudah waktunya dibangkitkan kembali untuk memerangi kemiskinan dan kebodohan yang kini menjadi musuh laten bangsa Indonesia. Acara tersebut digagas oleh Paguyuban Warga Kujang Satu (PWKS). Lapangan di Kec. Ibun Kab. Bandung dipilih karena pada saat itu merupakan lokasi menyerahnya para pendukung Kartosuwirjo. Sejumlah pelaku sejarah dan saksi mata operasi Pagar Betis yang hadir dalam acara kemarin, di antaranya adalah Brigjen TNI (Purn.) Ngudiono dan Kolonel (Purn.) Lili Sumatri. Hadir juga Danrem 062/Tarumanagara Kol. Inf. Adang Rachmat Sudjana, Dandim 0609/Kab. Bandung-Cimahi Letkol Inf. Handy Geniardi, politisi senior Jabar Tjetje Padmadinata, Ketua DPD Golkar Jabar Uu Rukmana, serta Direktur Utama PT Pikiran Rakyat Bandung Syafik Umar. Konsep Pagar Betis merupakan usulan dari Danrem Bogor waktu itu, Ishak Djuarsa. Ribuan rakyat yang kesal terhadap ulahn DI/TII bersatu dengan sekitar 30 batalyon tentara dari mulai Banten hingga Gunung Ciremai, untuk mengepung setiap daerah yang diduga menjadi persembunyian gerombolan. Rapatnya penjagaan yang dilakukan rakyat dan tentara (setiap 500 meter), membuat penjagaan itu bak pagar betis manusia. Sebagai penghargaan terhadap para pelaku sejarah operasi Pagar Betis itu, PT Pikiran Rakyat Bandung memberikan bingkisan terhadap 24 orang pelaku sejarah . (Deni YudiYudiawan/”PR”)***