Nya Sengker Tunggu Mulyani, Adiknya        
http://www.surya.co.id/web/Citizen-Journalism/Nya-Sengker-Tunggu-Mulyani-Adiknya.html
Thursday, 29 May 2008
  
Akhirnya Nya Sengker perempuan berhati batu ini lunak juga. Kalau
semula ia hanya mengaku nama ayahnya, maka Kamis (22/5) lalu, ia mau
mengaku namanya. "Sudian, beta pung nama," kata Nta Sengker. Bukan itu
saja Semua nama anggota keluarganya pun diungkap sudah. . Mereka hanya
berempat, ayah, ibu, serta dia dan adiknya yang juga perempuan. Di
samping nama ayahnya Bustaman, ia menyebutkan nama ibunya dan adik
perempuannya. 

"Sumbiyati itu nama beta punya mama. Adik perempuan nama Mulyani,"
kata Nya Sengker. 
Adik peremuannya ini yang diharapkan masih akan bertemu dengan dia.
Sambil menghabisi hari tuanya ia masih menyimpan secercah harapan
terakhirnya, bisa bertemu dengan Mulyani. 

"Mungkin hanya dia yang masih hidup, katanya pada Jalil Latuconsina
yang menemuinya Kamis itu. Saya sendiri sudah terbang ke Jakarta
setelah pertemuan terakhir kami, 3 Mei lalu. Ketika itu ia hanya
meminta agar saya mencari adiknya di Semarang, tetapi tidak mengungkap
nama adiknya, juga namanya sendiri, kecuali nama ayahnya, Bustaman.
Ayahnya, menurut Nya Sengker adalah seorang pegawai (ambtenar).

"Beta seng tahu pegawai apa, tetapi saban pagi papa pi kantor," kata
Nya Sengker dengan dialek Buru. "Tolong cari tahu keadaan papa,"
katanya ketika itu.

Hebatnya lagi, setelah berita tentang Nya Sengker turun di Surya edisi
Minggu lalu, hari Jumat ini Pemda Pulau Buru sudah menyediakan 50 sak
semen itu memperbaiki rumahnya. 
"Agar beta seng malu kalau Mulyani datang," kanta Nya Sengker
optimistis. Masyarakat adat yang akan bergotong royong merenovasi
rumah Nya Sengker yang selama ini menjadi ibu adat mereka, demikian
telepon Jalil Latuconsina ketika berita ini dibuat. 

Pelajar putri Indonesia yang pada masa lalu dijadikan jugun ianfu,
kebanyakan dari sekolah Belanda, kata Suwadji, yang pada masa itu
sudah kelas tiga sekolah rakyat di Blitar. Pak Kandar yang juga
tetangga saya di Kampung Malang, Surabaya, ketika itu sudah remaja,
mengatakan ia mengetahui pelajar-pelajar putri itu diasramakan. Tetapi
ia tidak mengetahui ke mana mereka sekarang. 

"Dulu mereka dibawa untuk sekolah di Tokyo. Tentu sekarang sudah enak,
tidak mau pulang," kata Pak Kandar. Banyak warga Indonesia beranggapan
seperti Pak Kandar, karena keberangkatan pelajar-pelajar putri
Indonesia itu juga sangat dirahasiakan. Karena itu pula banyak yang
tidak mengetahui bahwa mereka tidak pernah sampai ke Tokyo. Kapal
mengubah arah dan membawa mereka ke konsentrasi tentara Jepang yang
kebanyakan tersebar di bagian timur Indonesia.

Di sana mereka dijadikan budak-budak nafsu tentara Jepang yang seusai
perang sebagian besar tidak pulang. Kita pun efooria dalam kemerdekaan
dan tidak banyak bertanya tentang nasib ribuan pelajar putri Indonesia
itu.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), biro propaganda Jepang
mengeluarkan pengumuman agar pelajar-pelajar putri bersedia
melanjutkan sekolah ke Jepang. Menurut propaganda itu, mereka kelak
membangun Indonesia, pada saat sudah merdeka. Mereka akan digembleng
menjadi srikandi-srikandi Indonesia untuk mendampingi putra-putra
Indonesia yang juga digembleng dalam PETA (Pembela Tanah Air) dan
Heiho (pembantu tentara).

Sebagian mereka mendaftar dengan sukarela, tetapi sebagian lainnya
terpaksa ikut setelah orangtuanya mendapat intimidasi. Karena itu saya
memaklumi, apabila Nya Sengker, Nya Sembar (Siti Fatimah), Muka Lomin,
Muka Jawa, Mak Wa, dan Rahayu, serta masih banyak lagi teman-temannya
kemudian hari tidak pulang. Yang menakjubkan, dalam kondisi yang
paling tertindas pun mereka masih kreatif. Masa depan mereka
dihancurkan, hidup mereka dihinakan, tetapi semangat mereka tidak
dapat dipadamkan. 

Bahkan, Nya Sembar mampu mengislamkan suaminya dan seluruh soa
bermarga Bessan. Muka Jawa mengislamkan perempuan dari suku-suku
primitif yang masih nomaden di lereng-lereng Gunung Rana, dan Rahayu
mengajarkan mereka menanam padi ladang agar tidak hidup berpindah-pindah. 

Akan halnya Rahayu, ia berhasil membawa suku tempat ia bergabung
berhenti dari tradisi nomaden, lalu menetap di tepi Danau Rana, di
dataran tinggi Rana yang lebih 2.000 meter dari permukaan laut. Desa
ini sampai sekarang dikenal sebagai Warujawa, yaitu tempat menetapnya
seorang perempuan Jawa, Rahayu.

Kepala soa Warujawa menjelaskan, baru mengetahui nama asli Rahayu
ketika kali pertama sensus menjelang pemilihan umum 1971. Rahayu,
satu-satunya yang tidak mengganti nama atau bersembunyi di balik nama
adat. Sayangnya, saya tidak berhasil bertemu langsung dengan Rahayu.
Untuk menuju ke tempatnya harus berjalan kaki tiga hari dari Desa
Wamana Baru, dusun adat Muka Lomin dengan medan yang sangat berat. 
Dikejar-kejar waktu dan medan yang berat membuat saya harus menunda
dulu pencarian beberapa mantan jugun ianfu. Terakhir saya hanya ingin
sendirian di semak-semak tempat jasad Nya Sembar (Siti Fatimah)
dibaringkan untuk selama-lamanya.
 
Tiba-tiba saya teringat, hari ini tanggal 4 Mei. Pada tanggal yang
sama 147 tahun lalu, peneliti alam terbesar di dunia, Alfred Russel
Wallace sampai di sini, sementara bagi saya adalah hari terakhir saya
di Waeapo. Di semak-semak Waeapo ini dulu tahun 1861 Wallace
mengoleksi 66 spesies burung, 17 spesies di antaranya baru dan tidak
ditemukan di Kepulauan Maluku yang lain. Tiga spesies yang menjadi
favoritnya adalah Tanysiptera acis, dan Ceyx Cajeli (diambil dari nama
teluk Kayeli di Pulau Buru) yang sangat indah, Nectarinea proserpina
yang menawan dengan sayap hitam putih, dan Monarcha loricata yang
memiliki tenggorokan yang indah berwarna biru metalik. 

Di sini juga Wallace menyaksikan babi rusa yang sepesiesnya sama
dengan yang terdapat di Sulawesi. 
Berada sendirian di semak-semak ini pula, di sisi pembaringan terakhir
Nya Sembar, saya teringat penulis terkenal Belanda Beb Vuyk dengan
bukunya yang indah: Rumah Terakhir di Dunia yang juga ditulisnya di
Pulau Buru. (Saya sempat mencari rumah Beb Vuyk di Tanjung Kayeli,
karena itu pula patut menjadi referensi saya).

Nya Sembar, dan para jugun ianfu seperti Sri Mulyati yang asal Klaten,
Muka Mede dan Muka Jawa dan semua teman mereka tidaklah salah memilih
Pulau Buru sebagai rumah terakhir mereka. Beb Vuyk kawin dengan Pieter
"Nyong" Wilgen, adalah putra opziener terakhir Belanda di Pulau Buru
yang kawin dengan seorang perempuan Timor kelahiran Ambon. 

Keputusan mereka untuk memilih rumah terakhir dan "bersembunyi" di
Pulau Buru bagi saya adalah sesuatu yang mulia. Tetapi karena itu pula
saya mulai meragukan banyak hal.

Perempuan-perempuan itu dalam keterpurukan hidup mereka masih bisa
berbuat sesuatu bagi orang lain, bagi peradaban ini. Di tengah
kehancuran dan kehinaan yang menerpa, mereka tetap membisu sementara
di televisi semua mulut berbusa-busa tentang seratus tahun kebangkitan
nasional, seremonial yang lagi "ngetren" dan pasti akan cepat berlalu. 

Tanpa menyisakan apa-apa. 

Tetapi yang sudah dilakukan perempuan-perempuan yang bahkan sudah
merasa dirinya "sampah" adalah sesuatu yang nyata bagi kemanusiaan,
bagi peradaban. Perempuan-perempuan itu telah membawa suku-suku
primitif itu ke gerbang dunia baru, dan perlahan-lahan suatu perubahan
tampak sedang berlangsung di sana.

Pesan Siti Fatimah yang terakhir yang disampaikan pada anaknya Selang
(Syarif), sungguh menghancurkan hati saya: "cepat atau lambat, suatu
ketika pasti kau akan bertemu dengan saudara-saudaramu di Subang.
Katakanlah, mama tak pulang agar tidak membawa aib dalam keluarga,
tetapi mereka janganlah malu menerima anak cucu mama yang adalah darah
daging mereka juga." 

Saya lalu meragukan diri saya sendiri. Apa yang sudah saya kerjakan
adalah sesuatu yang belum apa-apa. Mencari berita dengan berkuda di
Pulau Sumba selama lima hari, melakukan investigasi ke medan-medan
yang berat di hampir semua pelosok tanah air pada masa muda saya, dan
koran-koran menyambut hangat berita-berita hasil investigasi saya di
halaman muka, untuk siapa? Untuk kemanusiaan, untuk peradaban, atau
untuk diri saya sendiri?

Saya pun melangkah keluar dari semak-semak dengan harapan bisa mencari
keluarga Nya Sembar dan Nya Sengkar di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Siapa tahu, ada yang peduli untuk mempertemukan mereka,
perempuan-perempuan yang selama hidupnya ibarat lolos dari mulut
harimau terperangkap dalam mulut buaya. Lolos dari kekejaman tentara
Jepang, jatuh ke tangan suku primitif. 

Bagi saya, mumpung ada satu dua jugun ianfu yang terperangkap di Pulau
Buru itu masih hidup, bisa menjadi saksi sejarah tentang sisi lain
dari kekejaman perang. Seekor burung cui, si kecil lincah hitam putih,
melubangi dasar kelopak kembang sepatu di halaman depan rumah Umi
Thalib. Lidahnya yang panjang diulurkan melalui lubang itu mengisap
madu bunga. Sebentar lagi, burung itu akan terbang pulang ke sarang,
kembang sepatu pun menjadi layu, lepas terhempas………. 

(peter_r...@yahoo.comalamat e-mail ini telah dilindungi dari tindakan
spam bots, Anda butuh Javascript dan diaktifkan untuk melihatnya )  


Kirim email ke