Cik kira-kira saha presenter TV nu favorit? Favorit kuring mah Tina Talisa, 
presenter di TVone. minantuna Paskah Suzeta, sang menteri. SInghoreng si Tina 
teh dokter gigi (paingan huntuna mani rapih ...hehehe),  urut penyiar radio di 
Bandung, penyiar basa Sunda TVRI Bandung (?) nu hijrah ka Jakarta. Tina lamun 
ngawanacara nara sumber dina Apakabar malam TVone, luar biasa cerewedna. Khas 
wanoja Sunda kitu?

Republika, Sabtu, 16 Februari 2008

Hidup Mengalir Tina Talisa


Suatu hari di tahun 2003, gelar sarjana kedokteran gigi sudah dalam genggaman 
Tina Talisa. Ketika menunggu waktu wisuda yang masih berselang sekitar dua 
bulan lebih, ia mendengar ada lowongan menjadi seorang penyiar radio. Tina pun 
tergerak untuk mencoba. Rupanya, inilah awal langkah anak kedua pasangan Tjutju 
Tjahjaman dan Uce Khodijah itu masuk ke dunia broadcast.

Dunia penyiaran pun perlahan menjadi bagian dari kehidupan wakil Jawa Barat 
pada Pemilihan Putri Indonesia 2003 ini. Bahkan, dia pernah berkarier di dua 
stasiun radio sekaligus: Paramuda dan Mustika Bandung.

Ternyata, inilah dunia yang membuatnya jatuh cinta. Demi cintanya itu, 
perempuan kelahiran Bandung, 24 Desember 1979, yang semula enggan meninggalkan 
kota kelahirannya rela hijrah ke Jakarta. Tina merasa ada peluang baru yang 
bakal menyambutnya di ibu kota. TVRI menjadi stasiun televisi pertama untuk 
kiprahnya di dunia penyiaran.

Perlahan, Tina mulai melupakan gelar sarjana yang disandangnya. Sejak 2003, 
Tina memilih untuk tidak meneruskan cita-citanya mengambil pendidikan profesi 
kedokteran gigi. ''Aku akhirnya memutuskan untuk stop berkeinginan menjadi 
dokter gigi dan mulai menekuni dunia broadcasting. Aku juga mulai menimba ilmu 
komunikasi secara formal walau belum lulus.''

Berada di tengah ingar bingar dunia siaran menghadirkan atmosfer baru untuk 
Tina. Di lapangan, dia mengaku, tidak selamanya pengalaman menjadi penyiar 
radio memuluskan jalan untuk beradaptasi di dunia stasiun televisi. Namun, 
setidaknya dia tak sulit lagi ketika harus membawakan siaran secara audio. 
''Aku tinggal menyesuaikan secara visual, membiasakan diri menghadapi kamera.''

Namun, adanya rasa nyaman saat siaran di televisi ternyata amat membantunya 
beradaptasi. ''Aku memang senang dengan dunia ini. Walaupun berat dan 
melelahkan, tapi aku tetap menjalaninya.'' Di sisi lain, pilihan perempuan yang 
sempat menjadi dosen broadcast radio di salah satu universitas di Bandung ini 
untuk terjun di dunia penyiaran menyelipkan suatu idealisme mendasar.

Dengan menjadi jurnalis, Tina berharap bisa menolong orang lain. Apalagi, 
dengan menjadi jurnalis televisi, ia berharap bisa memberi dampak lebih besar 
pada orang lain dengan mengantarkan informasi yang secara tak langsung juga 
bersifat edukasi. ''Sebanyak apa pun orang yang menonton siaranku, apakah satu, 
100, atau 100 ribu orang, sangat berarti. Aku menjadi merasa berguna buat orang 
lain.''

Jarum jam masih mengarah pada angka empat. Tepatnya, pukul 04.00 WIB. Akan 
tetapi, keriuhan dari sebuah ruang di Wisma Nusantara, Jakarta, telah 
terdengar. Tina, news anchor dan produser program Apa Kabar Indonesia di 
stasiun televisi TV One, sudah bergerak sigap. Selama 90 menit, Tina mengasuh 
acara yang dimulai pada pukul 06.30 WIB.

Dalam benaknya, perempuan yang belum lama menikah dengan Muhamad Eggi Hamzah 
ini berniat ingin menjadikan tayangan Apa Kabar Indonesia menjadi tayangan yang 
memberi warna lain di Indonesia. Setelah acara usai, tak ayal rasa kantuk 
kembali menyerang. Namun, untuk Tina, inilah konsekuensi dari sebuah pilihan.

Setelah melewati masa adaptasi yang tak mudah, Tina merasa pilihan yang 
diambilnya tetap tidak berubah. Dia kukuh melakoni profesi sebagai jurnalis 
televisi. Wejangan sang ayah untuk selalu melakukan yang terbaik tampaknya 
mampu menghadirkan semangat tersendiri.
Maka, tak ada kata menyesal dalam kamusnya. Dia hanya berujar, ''Saya biasa 
hidup mengalir saja.'' Dan, hidup Tina terus mengalir di antara hiruk pikuk 
dunia televisi, mengalir pula di tengah penantian sang buah hati. fia

( )

Kirim email ke