Awewe di puncak jaman, nyanggakeun meunang nyutat tina Tempo: Para Perempuan di Puncak Zaman
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2006/12/18/LU/mbm.20061218.LU122594.id.html Perempuan adalah pria yang tak lengkap," kata Aristoteles. Menurut filsuf Yunani Kuno itu, secara fisik dan psikologis, perempuan lemah, emosional, dan tak mandiri. Tapi pendapat itu jelas tidak benar. Dalam sejarah Nusantara ini, para perempuan tercatat di puncak-puncak zaman. 674 Sima ditabalkan sebagai Ratu Kerajaan Kaling dan dikenal sebagai pemimpin yang adil. Selain mengontrol 28 kerajaan kecil, Kaling juga memiliki pasukan perempuan yang kuat. Semuanya ada dalam catatan kekaisaran Cina, Chi'iu T'ang-Shu dan Hsin T'ang-shu, 618-906. 842 Pramodawardhani diangkat menjadi Ratu Dinasti Syailendra, yang Buddha, bergelar Cri Kahulunan. Dia dikenal sebagai ratu yang memiliki toleransi beragama tinggi. Dia, misalnya, memberikan tanah untuk pembangunan candi Hindu. 1328-1350 Tribuana Tungga Dewi menjadi Ratu Majapahit ketika kerajaan tersebut bergolak. Namun, Tribuana berhasil membawa Majapahit ke kejayaan, salah satunya dengan mengangkat Gajah Mada dari kasta terendah, sudra, sebagai patih. Setelah turun takhta, Tribuana menjadi bhiksuni hingga wafat pada 1372. 1429-1447 Sekali lagi Majapahit dipimpin perempuan, Ratu Suhita, anak Raja Wikramawardhana. Dia juga menyatukan kembali Majapahit yang pecah akibat perang saudara. 1554-1574 Retno Kencono, putri raja ketiga Demak, Sultan Trenggono, menjadi Ratu Kalinyamat (kini Jepara), setelah suaminya tewas dibunuh Bupati Jipang, Arya Penangsang. Jepara berkembang menjadi pusat perdagangan. 1590 Laksamana Keumalahayati ditunjuk Sultan Alaudin Riayatsyah al Mukammil (1589-1604) sebagai pimpinan armada Aceh untuk mengusir tentara kolonial Belanda. 1641-1699 Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah diangkat menjadi Sultan Kerajaan Aceh (1641-1675). Dia membentuk pasukan khusus perempuan, Si Pai' Inong, untuk melawan Portugis. Ia dikenal sebagai peletak dasar peran perempuan dalam politik. Dan setelah wafat, penggantinya juga perempuan, Sri Ratu Nur Alam Nakiatuddin Syah (1675-1678) dan Sri Ratu Inayat Syah Zakiatuddin Syah (1678-1688). Inayat-lah yang menjadikan Banda Aceh sebagai kota bertaraf internasional. Inayat digantikan Ratu Kumala Syah (1688-1699). 1817 Martha Christina Tiahahu bersama ayahnya, Paulus Tiahahu, memberontak terhadap Belanda dan merebut benteng Beverwijk. 1825 Nyi Ageng Serang (1752-1828) adalah pemimpin tangguh di masa Perang Diponegoro pada 1825. Di usia 73 tahun, ia mendapat kepercayaan memimpin pasukan dengan memprakarsai penggunaan daun talas sebagai taktik penyamaran. 1850-1908 Cut Nyak Dien adalah pejuang dalam Perang Aceh melawan Belanda. Bahkan setelah suaminya, Teuku Umar, gugur di Meulaboh pada 1899, Cut terus berjuang. Selain itu, satu lagi perempuan pemimpin Perang Aceh: Cut Meutia (1870-1910). 1900 R.A. Kartini (1879 -1904), putri Bupati Jepara, dikenal sebagai peletak dasar emansipasi perempuan atau kesetaraan gender. 16 Januari 1904 Dewi Sartika di Jawa Barat mendirikan sekolah untuk perempuan, Sakola Istri. 1909 Majalah pertama perempuan, Putri Hindia, terbit di Bandung. Pemrakarsanya R.A. Tjokroadikusumo. 10 Juli 1912 Koran Sunting Melayu, yang diterbitkan di Padang, merupakan harian bertema politik dan kebangkitan perempuan. 1912 Yayasan Kartini di Semarang mendirikan "Sekolah Wanita Kartini" atas prakarsa keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis. --- In urangsunda@yahoogroups.com, "Roro Rohmah" <roro.roh...@...> wrote: > > Subhanalllah, kutan urang Sumedang? Sihoreng wanoja Sumedang ge teu eleh > wawanen sareng wanoja seler sejen.... Waktos ningali eta acara, kuat ka > maruriding* bakat ku reueus, Bah. :) > > ro2