Unggal nu disangka teroris beunang katewak ku pulisi, loba nu ngajenghok 
pangpangna nu wawuh kaeta jalma, sabab dina sapopoena mah eta jalma teh jalma 
"BAGEUR", leket ibadah .....teu mungkin ngalakukeun hiji pagawean nu kacida 
telengesna. Dilemna keur masyarakat urang, da piraku kudu curiga terus ka 
unggal jalma?

Tapi waspadana mah sigana perlu, siga kolom artikel Putu Setia dihandap ieu:

Densus 88
Tempo Interaktif, Minggu, 09 Agustus 2009 | 00:00 WIB

Putu Setia

Kondisi saya cukup sehat ketika nonton siaran televisi, penyerbuan yang 
dilakukan Detasemen Khusus 88 terhadap rumah Muh Zahri di Kedu, Temanggung, 
Jumat lalu. Tapi, karena pengepungan itu lama, saya sempat tertidur. Terdengar 
suara: "Polisi saja nggak capek, yang nonton malah tidur. Bangun, bantu polisi 
perangi teroris."

Dari mana suara itu? Anak, istri, atau dari alam mimpi? Ah, dari mana pun 
asalnya, saya tak ingin klarifikasi. Yang jelas, saya jadi malu. Polisi sudah 
berbuat banyak, terutama pasukan Detasemen Khusus 88, yang demikian tangguh. 
Saya memuji mereka, saya bangga terhadap mereka, saya salut terhadap mereka. 
Sudah banyak komplotan teroris yang ditangkapnya, demikian banyak pula bom yang 
ditemukan. Bayangkan kalau bom-bom itu semuanya meledak, dan meledak sesuai 
dengan keinginan pembuatnya. 

Saya malu sebagai warga negara yang merasa tak berbuat apa-apa dalam memerangi 
teroris. Kalaupun berbuat, ya, paling memberi semangat lewat tulisan: "Mari 
perangi teroris dengan mengawasi lingkungan terdekat kita, kenali 
tetangga-tetangga kita, jangan panik, dan jangan takut".

Intinya: waspada. Setiap orang yang belum kita kenal, apalagi membawa sesuatu 
yang mencurigakan, untuk sementara anggap saja orang jahat. Setelah kita 
mengetahui siapa dia, apalagi sempat bertanya apa yang dibawanya, sementara 
kita sebut orang itu tidak jahat. Dan seterusnya, kalau kita sudah akrab, ya, 
sebut saja orang baik.

Setelah bom "jilid II" meledak di Hotel JW Marriott, polisi sibuk di mana-mana. 
Razia dilakukan hampir di setiap sudut jalan. Bandar udara, pelabuhan laut, 
diawasi dengan ketat. Dalam perjalanan pulang ke Bali, di Pelabuhan Gilimanuk, 
kendaraan saya dihentikan, seperti halnya semua mobil yang lain. Ketika sopir 
saya membuka kaca jendela, polisi malah mengangguk dan mempersilakan mobil 
jalan. Saya tanya: "Kok tidak diperiksa?" Polisi menjawab: "Mana mungkin 
pendeta bawa bom?"

Saya minta mobil tetap berhenti. "Pak Polisi, Anda tahu siapa saya? Kok tahu 
saya pendeta?" Agak cengengesan polisi menjawab: "Pakaian Bapak, ya, jelas 
itu." Dan mobil terpaksa jalan karena antrean di belakang panjang.

Saya kecewa, bukannya bangga. Pakaian pendeta bisa dibeli di toko-toko dan 
siapa pun bisa memakainya, termasuk teroris, untuk penyamaran. Jika itu 
terjadi, kardus yang dibawa "pendeta teroris" ini bukanlah sesajen, bisa saja 
bom. Apa tak gawat? Mudah-mudahan informasi sepele ini diperhatikan oleh pak 
polisi dan bukan malah jadi pelajaran buat para teroris.

Kita tahu, yang membawa bom ke Hotel Marriott itu "orang dalam", bom diletakkan 
dalam kardus yang dikira tumpukan bunga oleh petugas keamanan hotel. Kita pun 
puluhan kali mendengar, setiap komplotan teroris dibekuk, pengakuan masyarakat 
adalah: "Dia orangnya sopan, suka bersembahyang." Noor Din M. Top, yang 
dilumpuhkan di Kedu kemarin, menginap di rumah Muh Zahri. Dan apa komentar 
masyarakat sekitar? "Muh Zahri tokoh masyarakat."

Kita sering terjebak dengan simbol kesalehan ini. Rajin sembahyang tak identik 
dengan kebaikan. Teroris--juga koruptor--bisa saja rajin sembahyang. Bahkan ada 
yang bilang, doa sang teroris lebih didengar Tuhan, sehingga tak mudah 
dilumpuhkan. Tokoh masyarakat pun harus diwaspadai jika menerima "tamu", dan 
masyarakat mestinya tetap curiga. Bukankah di setiap sudut jalan di pedesaan 
tertulis pengumuman: "Tamu 1 x 24 jam, lapor".

Noor Din M. Top sudah tewas--mudah-mudahan bukan Noor Din palsu. Kita bangga 
terhadap Densus 88. Tapi perang melawan teroris tak boleh berhenti.


Kirim email ke