Moal dikometaran ah, tapi hatur lumayan we ieu mah:

Indonesia
Caping Tempo, Senin, 17 Agustus 2009

KADANG-KADANG saya berpikir, apa gerangan yang ada dalam pikiran bapak saya 
beberapa saat sebelum ia ditembak mati. Kadang-kadang saya ingin membayangkan, 
ia menyebut nama "Indonesia" di bibirnya, atau "Indonesia merdeka", tapi tentu 
saja ini satu imajinasi klise, dan sebab itu tiap kali muncul cepat-cepat saya 
stop. Bukan mustahil bapak ketakutan di depan regu tembak pasukan pendudukan 
Belanda itu. Atau ia pasrah? Yang agaknya pasti, beberapa puluh menit, atau 
beberapa puluh detik kemudian, seluruh ketakutan (atau sikap pasrah, atau 
jangan-jangan kecongkakan yang tampil seperti keberanian) pun punah: 
peluru-peluru menembus batok kepalanya. Darah muncrat, ia roboh, tak akan 
pernah pulang lagi.

Di tengah perkabungan, seluruh keluarga kami ketakutan dan menangis. Hanya ibu 
yang teguh: seperti tiang rumah yang ajaib. Ia menangis tapi ia menenangkan 
kami semua dan mengambil alih persiapan pemakaman dan perkabungan yang 
tergesa-gesa itu. 

Kini saya mencoba mengerti kenapa ibu dapat demikian kuat. Ia mungkin sudah 
tahu, hidup suaminya akan berakhir seperti itu, atau sedikit lebih baik 
ketimbang ditembak mati. Ibu telah menyaksikan bapak keluar-masuk penjara; ia 
bahkan menyertai bapak ke pembuangan nun di Digul, di Papua, yang tak 
terkirakan jauhnya. Adakah ia ikhlas? Ibu tak pernah berbicara tentang suaminya 
dengan kekaguman kepada seorang pejuang; ia hanya sesekali berbicara tentang 
sikap keras hati laki-laki itu: ada saat-saat ia seperti bertapa buat 
menetralisir musuh-musuhnya (yang tak pernah dijelaskan kepada saya siapa), ada 
saat-saat ia meninggalkan rumah untuk sebuah rapat gelap di atas perahu, ada 
saat-saat ia tak putus-putusnya mendengarkan radio. Selama itu, ibu tak pernah 
berbicara tentang "Indonesia". 

Barangkali karena bagi generasi aktivis politik masa itu—yang terlibat langsung 
dalam pergerakan nasional sejak awal abad ke-20—"Indonesia" sudah dengan 
sendirinya hadir dalam pikiran, sehingga mulut tak perlu mengucapkannya lagi. 
Atau kata "Indonesia" dengan sendirinya sebuah perlawanan bagi kata "Hindia 
Belanda". Karena setiap saat dalam aktivitas politik masa itu adalah 
perlawanan, kata "Indonesia" sudah tersirat ketika orang siap masuk penjara. 
Atau dibuang. Atau ditembak mati.

Ibu membesarkan sisa anak-anaknya yang belum dewasa dengan praktis: mereka 
harus makan dan bersekolah. Hampir hanya itu. Dalam percakapan keluarga kami 
sama sekali tak ada pesan untuk cinta tanah air. Tapi saya tumbuh, dan saya 
kira juga saudara-saudara sekandung saya, dengan ingatan tentang bapak—dan 
bersama itu, diam-diam, "Indonesia" pun menongkrongi diri kami, melibatkan 
kami. Artinya jadi sangat berarti. Setidaknya saya tak bisa membayangkan diri 
saya hidup tanpa pertautan dengan "Indonesia". 

Saya yakin, saya tak sendirian. Bersama yang lain-lain, saya tak akan bisa 
merumuskan dengan fasih apa arti "Indonesia" bagi saya. Tapi saya melihat 
teman-teman saya yang tanpa merumuskan apa pun berdiri menyanyikan Padamu 
Negeri seraya siap untuk melakukan tindakan besar bagi orang banyak di 
negerinya—misalnya melawan mereka yang menindas. Saya melihat Upik dan Udin 
yang berangkat ke Aceh untuk membantu mereka yang terhantam tsunami dan 
memasang bendera merah-putih kecil di ransel mereka. Saya mengenal Tati dan 
Toto yang—meskipun tak menyukai apa saja yang "politik"—berkaca-kaca matanya 
ketika mendengar Indonesia Raya dengan musik yang agung. 

Apa yang mendorong mereka demikian? Mungkin karena tanah air adalah ingatan dan 
harapan yang menyangkut tubuh: harum padi yang terkenang, rasa rempah yang 
membekas, deras arus yang tak bisa dilupakan, suara ayah yang memuji, lagu ibu 
yang sejuk, batuk kakek, dan cerita-cerita kanak yang mengendap dalam 
kesadaran. Juga harapan: rumah kelak akan dibangun, anak-anak akan beres 
bersekolah, karier akan dicapai. Juga harapan akan melakukan sesuatu yang 
berarti. 

Tapi tentu saja ada mereka yang menolak itu semua—atau tak merasa terpaut 
dengan tanah air yang mana pun. Saya kira, mereka yang bersetia kepada gagasan 
"Darul Islam" yang tak berpeta bumi itu adalah contoh yang baik; mereka 
berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain, tanpa bertaut ke masing-masing 
tempat. Mereka tak bertanah air, sebab tanah air adalah bagian dari bumi dan 
badan, sedang mereka yakin bahwa hukum—yang bagi mereka adalah 
segala-galanya—tak terpaut pada bumi dan badan, ruang dan waktu tertentu. Tak 
akan mengherankan bila "Indonesia" bagi mereka tak berarti apa-apa. Geografi 
mereka sederhana: sebuah tempat adalah bagian dari wilayah musuh atau wilayah 
diri. Tak ada yang lain.

Kita tahu mereka siap untuk mati, untuk ditembak mati. Tapi betapa berbedanya 
dengan mereka yang merasa terpaut dengan sebuah tempat hidup dan tempat mati. 
Mungkin sekali di depan regu tembak itu bapak saya tak menyebut nama 
"Indonesia" dengan tekad utuh. Mungkin sekali ibu saya bekerja dengan tekad 
untuk anak-anaknya bukan untuk masa depan negeri ini. Tapi bagi saya mereka 
seperti kebanyakan kita: bagian dari sesama, yang hidup fana, di sebuah masa, 
di sebuah tempat, dan tak pernah bisa ditiadakan dengan hukum dan senjata.

Goenawan Mohamad


Kirim email ke