> "Simkuring" <alkarta_...@...> wrote:
> Eta oge ceunah Malaysia teh sabenerna hayangeun diaku provinsi ka 37
> Indonesia, keun sugan weh ari tos janten provinsi mah moal calutak 
> teuing

Tah sigana sami jeung tulisan Putu Setia dina Tempointeraktif dihandap ieu:


Pendet Malaysia

Sabtu, 29 Agustus 2009 | 22:26 WIB

Putu Setia

Geger tari Pendet, yang diklaim Malaysia sebagai tari tradisionalnya, sudah 
menyurut. Penyelesaiannya pun khas Melayu. Pemerintah Malaysia mengaku tak tahu 
urusan itu, karena promosi pariwisata di kerajaan tersebut dikerjakan swasta. 
Adapun pihak swasta yang membuat tayangan promosi itu sudah meminta maaf karena 
mereka mendapatkan gambarnya dari pihak ketiga. Sedangkan pihak ketiga, yang 
entah siapa, diduga mendapatkan bahan dari sekeping VCD yang dibelinya di 
Bali--bisa jadi pula VCD bajakan, yang memang mudah sekali diperoleh di kaki 
lima.

Ya, urusan selesai, mau diapakan lagi? Tari Pendet adalah klaim yang kesekian 
kali oleh Malaysia terhadap budaya Indonesia. Sebelumnya ada reog Ponorogo, 
kain batik, wayang kulit, angklung, keris, beberapa lagu. Urusan non-budaya 
juga ada, misalnya klaim terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan. Hebatnya, Malaysia 
selalu menang. Artinya, mereka berhasil mendapatkan publikasi tanpa menerima 
hukuman apa pun, sedangkan di Indonesia, orang hanya teriak-teriak di jalanan 
sambil mengacungkan tangan: ganyang Malaysia.

Ketika sejumlah seniman Bali bersedih atas klaim tari Pendet ini, saya sempat 
tertawa dalam hati. Sebab, begitu bodohnya Malaysia mengklaim sesuatu. Begitu 
banyak jenis tari di Bali, baik yang tradisional maupun setengah tradisional, 
kenapa memilih tari Pendet? Hanya orang idiot yang bisa diyakinkan bahwa tari 
Pendet milik orang non-Bali. Jika promosi pariwisata itu dilakukan dengan 
cara-cara orang idiot, memangnya ada yang percaya? Apa turis yang mau disasar 
Malaysia adalah turis yang bloon? Jadi memprotes kerjaan orang bodoh, ya, sama 
juga bodoh.

Tari Pendet awalnya tari sakral, persembahan untuk Hyang Widhi, Tuhan dalam 
sebutan orang Bali. Meskipun diprofankan oleh seniman tari angkatan Nyoman 
Reneng, tetap saja bau sakralnya ada. Dan terus terang, irama dan busana tari 
itu tak cocok--atau bahkan bisa disebutkan bertentangan--dengan akidah Islam, 
agama mayoritas di Malaysia. Karena itu, saya tak habis pikir, bagaimana 
mungkin sebuah "negara kerajaan" yang berbasis ajaran Islam berani mengklaim 
kesenian dari khazanah budaya Hindu yang wanita penarinya menonjolkan aurat.

Saya menduga, Malaysia telah kehilangan jati diri, setidaknya kehilangan 
kepercayaan terhadap kemampuan bangsanya sendiri, terutama dalam hal budaya. 
Karena tak percaya akan modal bangsanya, negara itu lantas mengklaim berbagai 
kekayaan budaya negeri jirannya, Indonesia. Nah, kenapa kita justru ribut? 
Mestinya kita kasihan dan membantu Malaysia dengan menyodorkan lebih banyak 
lagi budaya kita untuk mereka klaim. Setelah batik, reog, wayang, angklung, 
Pendet, ya, jika perlu, nanti kita sodorkan jaipong, tayub, bedoyo, dan banyak 
lagi. Lalu, kita tawari mereka mengklaim Pancasila sebagai dasar negara, 
kemudian merah putih sebagai bendera bangsanya, dan siapa tahu nanti terus 
mengklaim Presiden SBY sebagai kepala negaranya.

Nah, setelah itu, kita tinggal mengundang para sultan di Semenanjung Malaysia 
ke Senayan dan Ketua MPR RI membacakan maklumat: "Dengan rahmat Tuhan Yang 
Mahakuasa, Semenanjung Malaysia resmi sebagai Daerah Istimewa Khusus Malaysia 
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Sarawak resmi menjadi 
Provinsi Kalimantan Utara."

Inilah sejatinya yang diniatkan Mahapatih Gajah Mada ketika mengucapkan Sumpah 
Palapa. Kini kita mewujudkan sumpah itu tanpa bau mesiu, karena dibukakan jalan 
damai: mulai dari klaim-mengklaim budaya. Selamat datang, Malaysiaku, Indonesia 
yang sebenarnya.


Kirim email ke