hehe...

kunaon us teu boga nagara?
ari indonesia sanes? ah naha jadi nanya deui nya? haha
jadi inget ka hasan tiro, dina artikel majalah tempo taun 2000 (kabeneran di
salasahiji milis anyar-anyar ieu dipostingkeun deui, bareng jeung maotna
tokoh gam ieu) kacutat:

""Anda dulu sekolah di mana?" tanyanya tiba-tiba. Ketika mendengar
jawaban Universitas Indonesia, lelaki itu tiba-tiba menyemprot,
"That's stupid". Tak jelas apa yang diejek oleh Tiro. Tapi rasanya
kata "Indonesia" memang selalu membuatnya gusar. Di mata Tiro,
Indonesia adalah sebuah gagasan yang absurd.

Dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada November 1980, The Legal
Status of Acheh Sumatra under International Law, Tiro menyebut
penyerahan kedaulatan Aceh dari Belanda kepada Indonesia pada 1949
sebagai sesuatu yang ilegal. Basis hukum yang dipakainya adalah
Resolusi PBB yang mewajibkan negara kolonialis menyerahkan daerah
jajahannya kepada penduduk asli. Indonesia, menurut Tiro, bukanlah
penduduk asli Aceh. "Penyerahan kedaulatan itu dilakukan tanpa
pemilihan umum yang menyertakan seluruh masyarakat, termasuk
masyarakat Aceh," katanya dalam wawancara dengan televisi Hilversum
Belanda pada 1996.

Dengan kata lain, di mata Tiro, Indonesia adalah negara yang
dipaksakan keberadaannya oleh Sukarno. Daerah seperti Aceh, Padang,
Maluku, Kalimantan, yang sesungguhnya punya hak untuk menjadi kawasan
yang berdaulat, dibelenggu dalam satu ikatan "Indonesia" oleh presiden
pertama Indonesia itu. Sukarno memang terobsesi oleh gagasan negara
kesatuan. Wilayah Indonesia, menurut Sukarno-lalu didukung Muhammad
Yamin-adalah wilayah bekas jajahan Belanda yang wujudnya adalah
Indonesia seperti yang kita lihat sekarang."

---

hehe... aya teu nya urang sunda nu cara hasan tiro?

dudi

----

artikel nu dimaksud:

Nasional NO. 13/XXIX/29 Mei - 4 Juni 2000

Dua Jam Bersama Hasan Tiro

Pemimpin Gerakan Aceh Merdeka itu masih sehat walafiat. Selama dua jam
ia menerima TEMPO di apartemennya di Stockholm, Swedia.
__________________________________________________________

LELAKI itu merapatkan mantelnya. Ia berdiri di pintu balkon menghadap
ke luar apartemen. Angin dingin musim semi berembus. Lima belas
derajat Celsius. Kering, menusuk seperti jarum. Di luar, laut M_laren
yang menggenangi Kota Stockholm berpendar-pendar. Di atasnya, sebuah
bukit warna cokelat menyembul dari permukaan air. Udara cerah. Awan
meriaki biru langit.

"Lihat pemandangan itu," katanya. "Mirip sekali dengan Aceh." Lelaki
itu, Hasan Muhammad di Tiro, 75 tahun, kembali merapatkan mantelnya.
Rambutnya yang putih tersisir ke samping. Rautnya keras dan giginya
kusam termakan usia. Sesekali ia tersenyum.

Bagi sebagian besar orang Aceh, Hasan Tiro adalah legenda. Ia jarang
muncul ke depan publik. Wawancara dengan pers dilakukan terbatas hanya
kepada wartawan asing. Pernah ia melakukan wawancara kepada media
Indonesia, tapi itu hanya dilakukannya melalui telepon internasional.

Tiro memang sosok yang jarang tampil ke muka publik. Dalam perundingan
putaran terakhir antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Indonesia
dan Henry Dunant Centre di Jenewa, Swiss, 12 Mei lalu, ia memang
sempat muncul. "Kami sempat bercanda," kata Duta Besar/Perwakilan
Tetap Indonesia di PBB, Hassan Wirajuda, yang mewakili Indonesia dalam
pertemuan itu. Tapi setelah itu ia raib. Pers yang memburunya tak
menemukan jejaknya. Menurut seorang stafnya, dari Jenewa ia langsung
terbang ke Zurich bersama Menteri Negara GAM Malik Mahmud.

Sebagai presiden National Liberation Front of Acheh Sumatra (NLFAS),
organisasi yang lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka, tak aneh
jika Hasan Tiro banyak bersembunyi. Selama bertahun-tahun, terutama
setelah mendeklarasikan berdirinya Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember
1976, ia adalah incaran nomor satu aparat keamanan Indonesia dengan
tuduhan sebagai pemimpin pemberontakan Aceh. Keluar-masuk hutan selama
tiga tahun (1976-1979), pada 29 Maret 1979 Tiro akhirnya memutuskan
untuk meninggalkan tempat persembunyiannya di Aceh dan berlayar ke
luar negeri. Ia sempat ke Amerika dan beberapa negara lain sebelum
akhirnya menetap di Stockholm, Swedia, hingga kini.

TEMPO diterima staf GAM dan Hasan Tiro dengan tangan terbuka. Di
sebuah apartemen pinggiran kota itulah kami bertemu, Sabtu dua pekan
lalu. Apartemen itu tidak terlalu luas, sekitar 100 meter persegi. Di
ruang tengah apartemen itu terletak seperangkat sofa warna kuning yang
berhadapan dengan meja kerja Tiro yang besar. Di atas meja kerja
itulah Tiro menumpuk map, kertas, dan sebuah vandel bendera Aceh
Merdeka serta sebuah miniatur bola dunia. Di samping meja itu terdapat
meja kecil yang dipenuhi foto koleksinya. Foto Hasan Tiro bersama
pasukan GAM, foto ketika ia berada di Amerika, foto istri dan anaknya,
Karim di Tiro, serta foto seorang jabang bayi yang masih merah. "Itu
anaknya Karim. Cucu saya," katanya.

Agak ke samping terdapat sebuah meja kerja lagi. Sebuah dinding yang
dipenuhi oleh kliping media yang memuat berbagai pemberitaan tentang
Aceh dan GAM serta foto Hasan Tiro dalam berbagai kesempatan pertemuan
internasional.

Siang itu Hasan Tiro tampil bersahaja. Ia mengenakan setelan warna
biru. Tubuhnya yang tak besar, sekitar 160 sentimeter, dibalut mantel
warna biru tua. Dibandingkan dengan fotonya pada tahun 1980-an yang
banyak beredar, ia kelihatan lebih kurus. Tapi wajahnya cerah dan
matanya berbinar. Suaranya masih jernih meski kadang tersendat. Yang
menarik, ia menggunakan bahasa Inggris. Menurut kalangan dekatnya,
Tiro memang enggan berbahasa Indonesia meski ia mampu. Kebenciannya
pada Indonesia menyebabkan ia lebih suka memakai bahasa Aceh atau
bahasa asing lainnya dalam berkomunikasi.

TEMPO, yang berulang kali meminta agar obrolan kami itu direkam dan
dijadikan bahan wawancara, ditolaknya dengan halus. Begitu juga ketika
TEMPO ingin memotretnya. "Bukan sekarang saatnya," katanya.

"Anda sudah baca buku ini?" tanya Tiro tiba-tiba. Tangannya
menggenggam sebuah buku seukuran diktat kuliah bersampul kuning, The
Drama of Achehnese History 1873-1978. Itu adalah naskah teater tentang
Perang Aceh yang ditulis Tiro pada 1978. Naskah 56 halaman itu
memadukan dua pengetahuan Tiro sekaligus: sejarah Aceh dan musik
klasik. Tiro memakai komposisi Purcell, Johann Sebastian Bach,
Beethoven, dan beberapa komposer Barat lainnya untuk membuka dan
menutup adegan. Tiga halaman pengantar drama itu ditulis oleh Husaini
Hasan, Menteri Pendidikan Aceh Merdeka-tokoh yang belakangan
meninggalkan Hasan Tiro dan mendirikan Majelis Pemerintahan GAM.

"Coba Anda baca bagian ini keras-keras," demikian Tiro meminta. Dalam
kata pengantarnya Husaini Hasan menceritakan suka duka Hasan Tiro
menulis naskah itu ketika bergerilya di hutan-hutan Mampr_e di Gunung
Patisah Pidie, Aceh, akhir tahun 1970-an. "Tengku (Hasan Tiro) menulis
dari pukul 7 pagi hingga 6 petang. Kami tak punya lampu jika malam.
Itu semua dilakukannya sewaktu kami semua berhari-hari menunggu suplai
makanan dari kampung," tulis Husaini.

Tiba-tiba, Tiro beranjak ke pojok ruangan. Ia menyetel kaset Johann
Sebastian Bach. Toccata & Fugue dan Air in G. String sayup-sayup
segera merambati ruangan. Sunyi. Tak ada suara selain gesekan biola
dan naskah drama yang dibaca TEMPO pelan-pelan. Sekali lagi lelaki itu
termenung. Tubuhnya disorongkannya ke depan. Wajahnya serius. Matanya
seperti menembus dinding apartemen. "Drama" satu babak itu berakhir.
Tiro kembali berdiri.

Hasan Tiro lelaki yang romantis. Ia menikmati kesendiriannya. Anak dan
istrinya tinggal di Amerika. Karim di Tiro, 31 tahun, adalah doktor di
sebuah universitas di Negeri Paman Sam itu. Wajah Karim tampan,
badannya gagah. Maklum, ibunya perempuan Amerika. Hasan Tiro sangat
bangga pada anaknya.

Tiro kembali mengeluarkan sebuah buku. Sebuah jurnal ilmiah yang
memuat tulisan Karim. Pada halaman pertama buku itu, Karim menorehkan
tanda tangan di bawah sebuah kalimat pendek, "For Papa". Ketika
menunjukkan buku itu, mata Tiro berbinar.

"Anda dulu sekolah di mana?" tanyanya tiba-tiba. Ketika mendengar
jawaban Universitas Indonesia, lelaki itu tiba-tiba menyemprot,
"That's stupid". Tak jelas apa yang diejek oleh Tiro. Tapi rasanya
kata "Indonesia" memang selalu membuatnya gusar. Di mata Tiro,
Indonesia adalah sebuah gagasan yang absurd.

Dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada November 1980, The Legal
Status of Acheh Sumatra under International Law, Tiro menyebut
penyerahan kedaulatan Aceh dari Belanda kepada Indonesia pada 1949
sebagai sesuatu yang ilegal. Basis hukum yang dipakainya adalah
Resolusi PBB yang mewajibkan negara kolonialis menyerahkan daerah
jajahannya kepada penduduk asli. Indonesia, menurut Tiro, bukanlah
penduduk asli Aceh. "Penyerahan kedaulatan itu dilakukan tanpa
pemilihan umum yang menyertakan seluruh masyarakat, termasuk
masyarakat Aceh," katanya dalam wawancara dengan televisi Hilversum
Belanda pada 1996.

Dengan kata lain, di mata Tiro, Indonesia adalah negara yang
dipaksakan keberadaannya oleh Sukarno. Daerah seperti Aceh, Padang,
Maluku, Kalimantan, yang sesungguhnya punya hak untuk menjadi kawasan
yang berdaulat, dibelenggu dalam satu ikatan "Indonesia" oleh presiden
pertama Indonesia itu. Sukarno memang terobsesi oleh gagasan negara
kesatuan. Wilayah Indonesia, menurut Sukarno-lalu didukung Muhammad
Yamin-adalah wilayah bekas jajahan Belanda yang wujudnya adalah
Indonesia seperti yang kita lihat sekarang.

Tapi Tiro membantah konsep "Indonesia" itu. Menurut dia, perjuangan
kemerdekaan melawan Belanda dari setiap daerah adalah upaya setiap
anak bangsa untuk membebaskan kawasannya sendiri dan bukan untuk
"Indonesia". Gagasan Indonesia barulah muncul belakangan. Itulah
sebabnya penyerahan kedaulatan 1949 ditandai Tiro sebagai beralihnya
penjajahan Belanda menjadi penjajahan Indonesia/Jawa di Aceh.

Dibandingkan dengan era 1950, pada tahun 1980-an ada pengerasan sikap
pada diri Tiro. Dalam buku Demokrasi untuk Indonesia yang ditulisnya
di Amerika pada 1958 (buku ini dicetak ulang dua kali di Jakarta pada
1999 lalu), yang menjadi pusat kritiknya adalah gagasan negara
persatuan Sukarno. Menurut Tiro, dengan wilayah yang luas sangat tidak
mungkin jika Indonesia dipaksakan menjadi negara persatuan. Dalam buku
itu Tiro mengusulkan federalisme sebagai pilihan yang terbaik untuk
demokrasi Indonesia. Artinya, pada era ini Tiro masih memberi
alternatif bagi penyelesaian hubungan pusat-daerah.

Tapi akumulasi nasib buruk yang menimpa rakyat Aceh selama
bertahun-tahun membuat seorang Hasan Tiro tidak memiliki pilihan lain
kecuali memerdekakan Aceh. Bantuan Aceh untuk Republik pada masa-masa
awal perang kemerdekaan dijawab pemerintahan Sukarno dan Soeharto
dengan menjadikan Aceh, sebagaimana kawasan lain, sebagai prioritas
nomor dua secara politik dan ekonomi. Karena ketidakpercayaan terhadap
pemerintahan Jakarta selama bertahun-tahun itu pulalah ide otonomi
daerah yang ditawarkan Abdurrahman Wahid tidak pernah ditanggapi Tiro
dan kelompoknya.

"Saya ingin memperdengarkan satu kaset pada Anda," kata Hasan Tiro
tiba-tiba. Ia mengambil sebuah kaset bersampul putih dan sebuah tape
recorder. Kaset itu berisi pidato Tiro di muka pasukan GAM di Tripoli,
Libya, pada 1985. Sebuah pidato yang membakar semangat pasukan yang
disampaikannya dalam bahasa Arab, Prancis, Inggris, dan Aceh. Beberapa
kali TEMPO berusaha menanyakan konteks peristiwa pidato itu, tapi ia
cuma menjawab pendek, "Just listen."

Tiro memang sering tak ingin menjawab. Beberapa pertanyaan tentang ide
Aceh merdeka dijawabnya pendek sebelum akhirnya ia beralih ke topik
lain. Beberapa kali ia bahkan cuma menyahut, "Baca saja buku ini,"
sambil menunjuk beberapa buku yang pernah ia tulis.

Pada masa mudanya Tiro memang banyak menulis. Selain Drama dan Legal
Status of Acheh Sumatra, ia juga pernah menulis The Prince of Freedom:
The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro. Buku 226 halaman ini
merupakan catatan hariannya ketika ia berperang di hutan Aceh pada
1976-1979.

Di buku itulah ia menggambarkan kepulangannya kembali ke Aceh pada
1976-setelah 25 tahun tinggal di Amerika-seperti kedatangan Napoleon
yang mendarat di Teluk Juan dari Pulau Elba atau Julius Caesar yang
melintasi Rubicon. Pada 30 Oktober 1976 itu ia melukiskan dirinya
dengan mengutip sebuah karya Nietzche, Thus Spoke Zarathustra:

Di tempat pendaratannya, di Kualatari datang menjemput pasukan Tiro di
bawah pimpinan Daud Paneuk, tokoh yang kini juga tinggal di Swedia dan
belakangan meninggalkan Tiro dengan membentuk MP GAM. "Sungguh tidak
mudah meninggalkan kehidupan saya di Riverdale New York dan memilih
tinggal di hutan yang pekat sebagai pemimpin gerilya," tulis Tiro.

Ia kini memang tidak tinggal di Aceh. Ia memimpin pasukan gerilyanya
dari jauh. Sebuah negara di kawasan Skandinavia, hampir 8.000 mil dari
tanah kelahirannya. Ide Aceh Sumatra merdeka yang diambilnya dari
daerah kekuasaan Kesultanan Iskandar Muda dulu masih dipercaya
pendukungnya sebagai perekat bagi persatuan bangsa Aceh dan Sumatra.
Kepemimpinannya di kalangan GAM dipatuhi, meskipun sebagian orang
menggugat Hasan Tiro karena kepemimpinannya di GAM tidak lepas dari
unsur mengalirnya darah Tiro dalam dirinya. Untuk waktu yang lama GAM
memang belum bisa lepas dari pola suksesi ala kesultanan ini.

Hari menjelang sore. Jam dinding di rumah Tiro menunjukkan pukul empat
sore. Tapi pada musim semi yang memanjangkan siang, petang itu
matahari masih terik. TEMPO mohon diri dan Tiro mengantar sampai ke
luar. Di muka pintu ia mengepalkan tangannya dan berteriak dengan
suara bergetar, "Sumatra!" Dari balik pintu lift yang perlahan
tertutup, masih tampak lelaki itu merapatkan mantelnya, sekali lagi.

Arif Zulkifli (Stockholm, Swedia)

2010/6/9 tantan hermansah <sariak.lay...@gmail.com>

>
>
> Naon alesana?
> Hmmm...alus oge. Ngan ku sabab kuring sanes Yahudi. Janten teu tiasa
> ngajawabna.
> heuheu...
>
> Tapi anu didiskusikan ku Kang Kumi oge hade.
> Kunaon US teu boga nagara?
> Ku naon US teu loba di sarakana?
> Ku naon US bet siga minder?
> Ku naon....jeung ku naon....deui eta penting pisan.
> Sigana, memeh siga Yahudi atawa Palestina, US oge kudu mikir leuwih teleb
> batan ayeuna....
>
> Baktos
> Tantan
>
> __
>



-- 
d-: dudi herlianto :-q
kunyuk nuyun kuuk, kuuk nuyun kunyuk

Kirim email ke