aya, ieu geura:

RUMAH BACA BUKU SUNDA
Perumahan Margawangi
JL. Margawangi VII No.5
Margacinta
Bandung 40287
Jawa Barat, Indonesia
Tlp 022-7511914
email : kuringm...@gmail.com
http://rumahbacabukusunda.blogspot.com/

Pusat Studi Sunda (PSS)
Jl. Taman Kiningan II No 5,
Bandung 40264,
Indonesia
Telepon/Faksimili: 62.22.7310625
http://su.wikipedia.org/wiki/Pusat_Studi_Sunda

tah nu ngurus rumah baca, oge kuncen milis urang sunda
PSS oge nu nerbitkeun majalah sunda cupumanik, jurnal sunda

2010/6/28 Mohammad zen <zenhus...@yahoo.com>

>
>
>
> kumaha atuh lamun aya perpustakaan Sunda jeung penelitian resmi na--- ngan
> lumpat deui kana duit hehe...
>
> ------------------------------
> *From:* A Gunawan <rotan...@yahoo.com>
> *To:* urangsunda@yahoogroups.com
> *Sent:* Mon, June 28, 2010 12:06:43 AM
> *Subject:* [Urang Sunda] Penelitian Mutakhir Naskah Sunda Kuna
>
>
>
> Kenging mulung ti Kompas Jabar 26 Juni 2010. Nyanggakeun. .
>
> *
> *
>
> *Penelitian Mutakhir Naskah Sunda Kuna*
>
> Oleh. ATEP KURNIA
>
>
>
> Ada beberapa naskah Sunda kuna (NSK)yang “hadir” belum lama ini. Tentu
> saja, “hadir” di sini maksudnya dihadirkan karena telah dan sedang diteliti
> dari sisi filologi, ilmu yang memang bergerak di bidang transliterasi,
> transkripsi, rekonstruksi, translasi dan interpretasi naskah kuna.
>
>             Paling tidak ada 13 NSK yang diteliti. Naskah yang dimaksud
> sebagai berikut: *Carita Raden Jayakeuling* (CRJ, L 407), *Kaleupasan* (K,
> L 426 B), *Sanghyang Jati Maha Pitutur* (SJMP, L 426 C), *Kala Purbaka*(KP, L 
> 506),
> *Sanghyang Sasana Maha Guru* (SSMG, L621), *Warugan Lemah* (WL, L 622), *
> Bimaswarga* (B, L 623), *Sanghyang Swawar Cinta* (SWC, L 626), *Kisah
> Putra Rama dan Rawana (KPRR)*, dan empat versi naskah *Sewaka Darma*.
>
>             Dari sisi peneliti naskah, paling tidak dapat digolongkan
> menjadi dua golongan. Pertama, datang dari kalangan staf Perpustakaan
> Nasional RI, yakni Aditia Gunawan. Peneliti muda ini meneliti *SSMG*, *KP*,
> *SJMP*, *K*, *WL*, dan *SSC*. Dari jumlah tersebut yang telah
> dipublikasikan baru dua, yakni yang dibukukan menjadi *Sanghyang Sasana
> Maha Guru dan Kala Purbaka: Suntingan dan Terjemahan* (2009).
>
> Sementara yang kedua berasal dari kalangan akademisi, baik mahasiswa maupun
> dosen yang tengah menyelesaikan studi lanjutannya. Dari kelompok ini
> tercatat Undang A. Darsa (pengajar di Unpad), Mamat Ruhimat (pengajar di
> Unpad), Rahmat (pengajar di Unpad), dan Reza Saeful Rachman (mahasiswa UPI
> Bandung).
>
>             Dari sisi bahan ada yang menarik kita perhatikan. Dari ke-13
> NSK, ada dua di antaranya yang ditulis di atas bilah bambu. Keduanya, *
> SJMP* dan *K*. Penggarapan NSK bilah bambu ini merupakan kali pertama yang
> dilakukan oleh peneliti, karena sebelumnya yang banyak diteliti adalah
> naskah-naskah yang berbahan tulis lontar dan nipah.
>
>             Sedangkan dari asal usulnya pun tidak jauh berbeda dengan yang
> telah dilakukan pada penelitian-peneliti an NSK sebelumnya: kebanyakannya
> berasal dari koleksi Perpustakaan Nasional dan Kabuyutan Ciburuy.
>
> Naskah-naskah dari Perpusnas adalah *SSMG*, *KP*, *SJMP*, *K*, *B*, *WL*,
> *CRJ*, dan satu versi *Sewaka Darma* (L 408) yang pernah diteliti
> sebelumnya. Sementara dari Kabuyutan Ciburuy, adalah *KPRR* dan tiga versi
> naskah *Sewaka Darma *yang dua di antaranya telah ditranskripsi oleh
> Partini dan Edi S. Ekadjati (1988)*.*
>
>             Dari sisi isinya memang mengetengahkan keragaman, meskipun
> kebanyakannya disemangati oleh suasana keagamaan baik agama Hindu-Budha
> maupun agama wiwitan. Dari ke-13 naskah tersebut, di antaranya ada naskah
> yang berkaitan dengan kosmologi (*KP*), pantun Sunda (*CRJ*), rajah pantun
> (*SSWC*), dan topografi (*WL*).
>
>             Naskah *KPRR* yang mula-mula dianggap *uniqum* (tidak ada
> salinannya) pada penelitian J. Noorduyn dan A. Teeuw (2006), ternyata satu
> versi lagi ditemukan tercecer di tiga kropak NSK yang ada di Kabuyutan
> Ciburuy. Naskah ini kini ditangani oleh Mamat Ruhimat.
>
>             Selain itu, yang layak juga dicatat adalah *SSMG. *Dari naskah
> berisi etika para pengabdi hukum (*sang sewakadarma*) yang diformulasikan
> dalam bentuk numerik dan dibagi menjadi 46 bagian ini, kita diperkaya dengan
> khazanah pengetahuan literasi yang dulu hadir di kalangan orang Sunda,
> khususnya di kalangan para resi, biku, atau pendeta sebagai pembaca dan
> penyalin naskah.
>
>             Pengetahuan tersebut berkaitan dengan penyebutan Dewa Gana
> yang dipercayai sebagai *prima causa* tulisan. Dewa inilah yang dipercayai
> melahirkan lontar dan gebang sebagai bahan tulis. Selain itu, juga
> disebut-sebut dewa ini pun melahirkan tangan, air, kuas, dan tinta atau
> disatukan dengan istilah *Asta Gangga Wira Tanu*.
>
>             Demikian pula penyebutan 10 media tulis, yakni emas, perak,
> tembaga, baja, besi, batu, papasan kayu, bilah bambu, daun lontar, dan daun
> gebang, berikut pembagian pihak yang berhak menggunakan medianya. Ke-10
> media tersebut diistilahkan sebagai *dasawredi* (sepuluh tanda kemajuan).
> Hal tersebut, jelas, mengungkapkan bahwa di kalangan kaum
> agamawan-cendikiawa n Sunda di masa lalu telah tumbuh kesadaran akan
> kekuatan yang ditimbulkan bacaan, oleh tulisan. Dengan kata lain, literasi
> memang memegang kekuatan sebagai pendorong kemajuan sebuah masyarakat.
>
>             Naskah WL pun menarik untuk disimak. Dengan permulaan, “*Ini
> warugan lemah. Inge(t)keun di halana, di hayuna. Na pidayeuhheun, na
> pirembulleun, na piuballeun”*, NSK ini mengungkap 16 karakteristik tanah
> yang akan dijadikan pemukiman, konsekuensi pememakaiannya, serta 
> penolakbalanya.
> Meski mirip primbon, NSK ini tapi sebenarnya membuktikan kearifan lokal
> orang Sunda tempo dulu ketika dihadapkan pada pemilihan tanah yang dinilai
> baik bagi pemukiman.
>
> Inilah salah satu contohnya, “*l**amunna témbong ka laut ma ngarana Tuyang
> Laya na dayeuh. Pamalina /2r/ paéh ku bajra dayeuhan dayeuh. Panyudana
> nyawung di tengah lemah poéna tupek kaliwon”** *(Bila menghadap ke laut,
> namanya Tuyang Laya. Akibatnya daerah tersebut akan hangus terkena petir.
> Penawarnya, membuat pondok di tengah tanah, harinya kliwon).
>
>              Naskah lainnya yang juga dapat memperkaya referensi kita atas
> sastra Sunda di masa lalu adalah CRJ. Berikut bagian awal NSK yang
> bernuansakan pantun Sunda yang berhasil dibaca dan ditransliterasi oleh
> Reza, *“pineuh sareureuh neut hudang**/dipeureumkeun ha(n)teu
> beunang/reuwas ku i(m)piyan/ai eta ngaranna/ carek di jeuro i(m)piyan/sada
> cucu midang bulan/sada careuh ngalaherang/ sada walik dina nangsi/sada poneh
> di kiraway/sada cangcarang di rangrang/sada titiran disada/sada taliktikan.
> *”
>
>              Sebenarnya, dari fakta-fakta di atas,  jelas penelitian NSK
> masih eksis hingga kini. Dari komposisi para penelitinya, saya kira, kita
> patut gembira dengan hadirnya para peneliti muda, yang diwakili Aditia,
> Reza, Rahmat, dan Mamat. Dengan demikian, baik disengaja atau tidak,  
> pewarisan
> literasi atas NSK kepada generasi muda telah berjalan. Juga menambah daftar
> orang yang *literate* di bidang NSK, yang sebelumnya dikhawatirkan tidak
> ada lagi.
>
>             Selain itu, yang tak kalah pentingnya, dengan terungkapnya
> kandungan NSK di atas mengisyaratkan urgennya upaya pembacaan,
> pengalih-aksaraan, dan penerjemahan NSK lainnya, mengingat jumlah NSK yang
> belum terungkap itu masih banyak yang belum tersentuh.
>
> Aditia (2009) mencatat 55 NSK yang ada di Perpusnas. Belum yang ada di
> kabuyutan, seperti Kabuyutan Ciburuy, Kabuyutan Jasinga, dan yang masih
> tersebar di masyarakat. Semuanya harus segera “diselamatkan” dan ditangani
> secara filologis, mengingat kondisi NSK yang kian rapuh dimakan waktu.
>
> Karena sebagaimana yang terungkap dari sebagian hasil penelitian-peneliti
> an NSK di atas, ternyata sangat memperkaya pengetahuan kita pada kebudayaan
> Sunda di masa lalu. Dengan penanganan yang masif dan rinci atas NSK-NSK yang
> belum diteliti, bisa kita harapkan munculnya beragam pengetahuan baru dari
> perikehidupan orang Sunda di masa lalu.
>
> Dengan upaya demikian barangkali kita takkan kena kutuk sebagai generasi
> yang *pareumeun obor*. Tidak menjadi generasi yang membiarkan warisan
> budaya dibiarkan musnah dimangsa zaman. Karena warisan itu dapat dijadikan
> kekuatan berupa cerminan untuk menghadapi kehidupan masa kini dan membuat
> strategi untuk membaca masa yang akan datang.
>
>
>
>
>
> **ATEP KURNIA, penulis lepas, bergiat di Pusat Studi Sunda (PSS), Rumah
> Baca Buku Sunda, dan Komunitas Sasaka UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. *
>
>
>
> *            *
>
>
>
>
>
>  AG
>
>
>
>
>
>
>
>
> 

Kirim email ke