CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [12].
KE MELAK!MAHAKAM BICARA KEPADAKU [1] "ala ice, ala due,mahakam memercik dahi mukaku kuraup wajah, wajah kuraup hingga rambut*] naga sungai menyambutku padanya aku bersujud mengucap cinta anak katingan tak kenal takluk ala ice, ala due, anak sungai kembali ke sungai meloncat pesut menyapa angkasa tanda aku dikenalnya ala due, ala telo, ala epat, kupercik kutabur janji ke mahakam anak sungai kembali ke sungai" *** Sungai adalah ibu pengasuh masa kanakku. Sungai seperti hutan dan gunung, juga laut turut membentuk diriku dengan arus, dengan ombak, kabut, ikan dan burung-burungnya. Alam beginilah yang mengajarku melesit dari satu dahan ke dahan lain menyaing tupai dan siamang. Mereka jugalah yang mengajarku bagaimana merenangi arus di antara kilap perut ikan berwarna putih.Masa kanakku adalah masa kehidupan Dayak yang menjadi putra-putri alam. Alam adalah kehidupanku. Karena itu, Celia, anakku kuajar menyatu dan mengenal alam sebelum kelak sendiri mengembarai hidup. Aku ingin Celia segagah alam dan seindah alam. Alam adalah kegagahan dan keindahan yang padu. Lelaki atau perempuan sama saja. Layak gagah dan indah terutama jiwanya seperti ditunjukkan oleh kisah Kayau Pulang dan Bawi Kayau [Puteri Kayau] di daerah Schwaner-Müller. Karena itu aku merasakan kebahagian besar ketika Celia menjadi hidup menyala matanya saat melihat siamang bergayutan dari pohon ke pohon dan terkekeh girang ketika speed boatnya di ayun gelombang seraya berteriak: "Aku ingin terjun ke sungai, aku ingin berenang, Ba", teriaknya. "Terjunlah dengan gagah, Sayang, sebagaimana kau kuharapkan kelak dalam merenangi sungai kehidupan.Jangan takut tenggelam", jawabku dalam hati, tapi hanya tertuang di senyum. Sekarang sungai itu ada di hadapanku. Sungai itu menungguku. Mahakam, sungai raya dan naganya seperti melambai-lambaiku seakan-akan bertanya menguji dan bercanda: "Masihkah kau putraku dulu kuasuh?", pertanyaan paralel yang pernah diucapkan oleh seseorang kepadaku di hadapan tragedi, dengan sejuta makna:"Masihkah kau bisa bersikap gagah?". Masihkah ada kegagahan di negeri ini? Masihkah kegagahan meresapi anak bangsa dan negeriku? Menyambut lambaian itu aku segera turun meniti titian asal-asalan disebut tangga menuju long boat. Kebiasaan telah menumpulkan perhatian pada titian asal-asalan ini. Kebiasaan menumpulkan tanya dan sering dipandang sebagai keniscayaan yang benar padahal kebiasaan itu patut diberontaki. Pada tangga atau titian asal-asalan ini aku melihat fatalisme dan ketumpulan tanya sekaligus kekuatan dari kebiasaan. Dermaga berlabuh long boat pun juga asal-asalan padahal Kaltim adalah propinsi kaya. Kaya akan hutan, batu bara dan minyak bahkan emas. Kemana larinya kekayaan itu? Padahal pelabuhan dan transport merupakan soal vital dalam kehidupan penduduk. Pada titian dan dermaga asal-asalan serta rongsokan ini aku melihat wajah pulauku sesungguhnya di balik adanya parabola, tambang-tambang dan deru pesawat terbang serta gemuruh speed boat melaju membelah sungai. Titian dan dermaga asal-asalan serta rongsokan ini seakan mempertanyakan konsep pemberdayaan dan pembangunan yang dijadikan mata proyek dan pada suatu ketika diagamakan. Ya, negeri ini pernah menjadikan pembangunan sebagai agama dan hasilnya nampak pada titian dan dermaga asal-asalan serta kumuh bagi long boat Tenggarong. Wajah titian dan dermaga asal-asalan dan rongsokan yang kusaksikan sejak ketika sungai mengasuh masa kanakku dan hari ini masih kusaksikan di senja usia. Sebagai ilustrasi dari soal ini, aku ingin mengutip sebuah diskusi yang berlangsung di milis [EMAIL PROTECTED] , sebagai berikut: ----- Original Message ----- From: andy adjeunk To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Saturday, October 01, 2005 7:55 AM Subject: [dayak] Apa kabar mereka yang di Perbatasan? Salam Jika warga dayak di pinggiran saja banyak yang terabaikan, bagaimana dengan mereka yang ada di perbatasan? Ini ada kiriman berita yang sudah terbit di Radar Tarakan (www.radartarakan.com) pertengahan bulan lalu. Menarik untuk dicermati. Berbelanja Saja, Malinau Pilih Malaysia.Disertasi S3 Bupati Malinau di Unibraw Malang Jatim=====sub MALANG-Bayangkan, untuk berbelanja saja masyarakat Kabupaten Malinau Kaltim lebih memilih ke Malaysia daripada Indonesia. Bukan hanya harga saja yang terpaut sampai 100 persen, tapi juga dekatnya jarak tempuh dan murahnya biaya angkut barang yang membuat mereka menjatuhkan pilihan. Setidaknya, itulah fenomena mengejutkan seputar kehidupan masyarakat perbatasan Indonesia-Malaysia yang dikupas habis oleh Bupati Malinau Drs Marthin Billa MM saat memaparkan disertasi program Doktor Ilmu Ekonomi Kekhususan Manajemen berjudul Peran Perdagangan Lintas Batas dalam Peningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Timur di gedung PPS Unibraw. Sontak, paparan itu sempat membuat undangan yang hadir terpana. Bagaimana tidak, masyarakat perbatasan yang notabene rakyat Indonesia lebih memilih negeri jiran untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal, imbalan yang didapat masyarakat sangatlah minim. "Umumnya, warga Malaysia ke perbatasan hanya membeli suvenir dan beberapa hasil hutan. Itu pun, jumlahnya tidak banyak dan tidak rutin seperti masyarakat perbatasan belanja kebutuhan sehari-hari di sana,"ucap laki-laki kelahiran Nahakrano 29 Maret 1954 ini di hadapan 7 orang profesor sebagai tim penguji dengan dosen promotor untuk pengambilan gelar doktor ini Prof Dr M Syafeiie Idrus M Ec . Kenyataan tersebut rupanya benar-benar membuat ayah empat anak ini sangat terpukul. Namun, apa boleh buat, kondisi geografis dan topografi, serta transportasi yang bebas hambatan membuat masyarakat berpikir dua kali jika ingin belanja di Indonesia. Bukan itu saja, latar belakang historis, kultural, dan emosional juga menjadi faktor tersendiri bagi masyarakat perbatasan untuk melakukan perdagangan lintas batas dengan penduduk Serawak Malaysia. "Bagaimana pun, mereka tetap harus meneruskan hidup. Dan, inilah langkah terbaik untuk memenuhi kebutuhan mereka," kata bupati pertama Kabupaten Malinau yang memiliki 4 orang putra dari pasangan Ny Yuari Litun ini. Marthin mencatat, untuk menuju Malaysia, penduduk perbatasan hanya menempuh jarak sekitar 85 km. Jarak itu, dilalui lewat jalan darat, bahkan dengan jalan kaki. Untuk mengangkut dagangan ke Serawak, penduduk sama sekali tidak mengeluarkan biaya angkut barang, karena umumnya dibawa sendiri. Sedang, biaya angkut barang dari Malaysia ke perbatasan hanya Rp800/kg, Rp1000/liter, dan Rp70.000/sak dengan kapasitas angkut 200 kg/ hari, 100 liter/hari, dan 5 sak/hari dan bisa dilakukan setiap saat. Sementara, untuk menuju pusat kota kabupaten, penduduk perbatasan harus menempuh jarak sekitar 330 km yang hanya bisa dilalui jalur udara dengan biaya Rp200 ribu PP per orang. Bukan itu saja, untuk mengangkut hasil belanja, mereka harus merogoh kocek sekitar Rp8.000/kg/liter. Perjalanan itu pun, hanya bisa dilakukan dalam waktu 1-2 minggu dengan kapasitas angkut barang 25 kg barang/minggu. "Kenyataan yang benar-benar menyedihkan. Tapi, apa boleh buat. Itulah kenyataan yang harus dihadapi penduduk perbatasan," tandas Marthin Billa yang juga dihadiri sejumlah pejabat Pemkab Malinau, sejumlah anggota DPRD Kabupaten Malinau dan para pengusaha ini. Meski selama ini tidak ada persoalan yang menghambat hubungan penduduk dua negara tersebut, namun secara tidak langsung, lanjut Mathin, telah terjadi sebuah hubungan yang tidak mempunyai landasan. Sebab,dalam prakteknya, perdagangan lintas batas dilakukan secara informal. Baik penduduk perbatasan maupun Serawak bebas keluar masuk. Menurut Marthin, inilah yang harus dipikirkan pemerintah. Ia pun menganggap mendesak dirumuskannya payung kebijakan di tingkat nasional yang memungkinkan hubungan perdagangan lintas batas kedua negera ini (Indonesia dengan Malaysia) secara formal. "Selama ini perdagangan lintas batas yang dilakukan oleh masyarakat perbatasan Kabupaten Malinau dengan Malaysia dilakukan informal," terang bupati yang memimpin wilayah hasil pemekaran dan berusia sekitar 6 tahun dengan luas sekitar 46 ribu lebih itu. Bahkan jika perlu, lanjutnya, pemerintah harus membentuk lembaga khusus yang merencanakan, mengkoordinasikan, dan mengendalikan pelaksanaan perdagangan lintas batas tersebut. Sebab, dari waktu ke waktu, intensitas aktivitas perdagangan ini semakin meningkat. Satu lagi, pemerintah harus segera membangun sarana infra struktur, khususnya transportasi darat dan komunikasi yang menghubungkan perbatasan dengan desa-desa di pedalaman Kabupaten Malinau. Sehingga, dalam jangka panjang dapat menunjang pengembangan potensi ekonomi rakyat yang selama ini masih tertinggal. "Tapi, jika hanya dibebankan kepada daerah saja, hal itu jelas tidak mampu," terangnya.(nen/ida/jpnn) Salam hangat --- Institut Dayakologi <[EMAIL PROTECTED]> wrote: halo semua, diskusinya makin menarik =)...aku ikut nyambung ya... Adat juga merupakan entitas yang melingkupi falsafah/nilai-nilai/aturan-aturan/kepercayaan hidup masyarakat yang bersangkutan (selain ekspresi material). menjadi persoalan kemudian dimana, adat/tata aturan kehidupan masyarakat tertentu kemudian direduksi/dipandang sebelah mata maknanya oleh pihak diluar masyarakat tersebut. Itu yang selama dan sampai saat ini terjadi, contoh sederhana adalah label 'suku terasing'(yang terbukti masih menjadi paradigma penulis artikel) yang notabene berarti 'terbelakang', 'pemuja berhala', dll deh. Nah, sedihnya, dan pada kenyataannya, saat masih belum tampak peluang untuk dijadikan komoditi, adat tersebut dihojat-hojat dan diputuskan (oleh yang merasa budaya-nya lebih beradab/civilized) bahwa cara hidup masyarakat 'terasing' itu tidak pantas untuk hidup dan berada di muka bumi ini, untuk itulah kemudian, rumah panjang dihancurkan...nama diubah, dsb..kita tahu sendiri deh ceritanya. Dan saat turisme menunjukkan TREND ke arah hal-hal 'tradisional' (karena pasar turis menganggap itu eksotis), baru mulailah ide-ide untuk menghadirkan unsur-unsur material dari adat (karena memang itu yang bernilai komersil) utk diperdagangkan,mis. rumah panjang kembali dicetuskan pendiriannya, dll. Singkatnya, disatu sisi, masyarakat tersebut dicerabut dari akar budaya/cara hidupnya,di satu sisi yang lain, ketika permintaan pasar meningkat,masyarakat tersebut kemudian dipakaikan kembali segala atribut perlengkapan budayanya utk dipertontonkan dan menarik uang. Bacaannya sederhana aja: baik dulu dan sekarang adat budaya/tata cara kehidupan masyarakat adat memang belum mendapatkan tempat yang menjadi haknya. ttg perempuan Dayak yang mempraktekkan mode-kecantikan lawas-eksentrik beranting besar hingga berbalung telinga panjang itu, meminjam kata-kata Pak Ben, aku ingat cerita Nek Kutipung di Kal-Bar, yang merupakan salah seorang perempuan Dayak yang mempraktekkan itu dengan tatonya juga. Saat trend 'tradisional' merebak, Nenek ini dibawa-bawa sampai ke Jakarta, saat ada pameran atau show-show, ya...seperti yang terlintas dalam pikiran kita semua, beliau merupakan salah satu yang dipamerkan. Setelah acara selesai, nenek dipulangkan ke kampungnya dan diberi uang ala kadarnya (seharusnya memang ada mènèjer atau advokat ya Pak Ben? ide Bapak bisa menjadi masukan =) ), dan sampai akhir hayatnya, nenek itu tetap hidup dalam kondisi yang menurut standar pembangunan adalah 'dibawah garis kemiskinan'. Posisi tawar masyarakat memang perlu ditingkatkan. dengan cara mencerdaskan/mengkritiskan cara berpikir seperti yang disebutkan rekan Andy, agar tidak lagi menjadi objek, tapi menjadi subjek utama. Organisasi masyarakat juga bisa memperkuat posisi tawar masyarakat tersebut. Salam dari Pontianak, Kal-Bar. jul > Ben Abel wrote: Menanggapi perihal turisme versus [ketahanan] masyarakat-adat, sejauh perberita yg mengalir di milis ini. Aku sempat terpikir, memangnya persoalan tradisi versus modernitas [baca: serangan masyarakat luar yg serba komersil industrious dsb dsb] cuma melulu sah-sah saja, alias baik buruk, hitam putih gitu-gitu aja? Rasanya menjadi terlalu menyempitkan hakekat dari kehidupan [kita manusia sebagai masyarakat dunia] ini sendiri. Dari kisah nenek tua yg kebetulan terlanjur memraktekkan mode-kecantikan lawas-eksentrik beranting besar hingga berbalung telinga panjang itu. Dimana ybs menjadi objek perhatian turis2 untuk menjadi objek photography, bahkan mungkin setelahnya akan dikomersilkan menjadi postcard, poster, dan lain2 hiasan laris. Lalu dikisahkan beliau mengambil bayaran dengan meminta uang super-sedikit. YA SUPER SEDIKIT.Mengapa super sedikit? Bayangkan saja jika nenek tsb mempunyai manejer dan lawyer (advokad) sebagaimana para photo model profesional laiknya di kota2 setter kapstok model pakaian dunia. Satu seksion penjempretan itu bisa sampai jutaan dollar AS. Bukankah model seperti si nenek tsb adalah sudah langka, dan sudah pasti bisa laku. Apakah sikap dan laku mengomersilkan ujud (tampang) begitu dalam adat merupakan kejahatan, atau kesalahan? Ya, adat siapa dulu? Bukankah adat maksudnya guna memacu derap hidup menjadi lebih menderajadkan harkat dan kelanjutan hidup yg lebih mapan. Tidak mungkin adat malah menjadi perangkap atau penjara kemajuan kreatifitas anggota2 masyarakatnya. Jika ada adat yg begitu, mungkin itulah adat yg ketinggalan jaman. Dengan adat yg mengacu dalam hidupnya kehidupan, justru memberi berbagai kesempatan kreatif, dlm mengatasi maupun mengantisifasi berbagai perobahan maupun pergeseran nilai2 poleksosbud. Ia hanya menjadi ada, dan hidup oleh tangkaran pengejewantahan harkat kebersamaan. Kebersamaan tidak bisa eksis selama tidak ada organisasi yg menjadi kerangka gerak sekaligus moderator perkembangannya. Sebagai kisahan nenek vs turisme diatas tadi. Jika kita telah punya organisasi, maka akan bisa tarik pajak dari perusahaan2 angkutan, turis2 guide, dan memberi aturan adat, bahwa orang2 yg akan memasukan tempat2 suci mesti memakai selendang atau kain warna khusus yg kita jual di gerbang, dan kamera boleh dibawa masuk dg catatan mesti membayar pajak. Dari pajak2 ini para model/pekerja kesenibudayaan musim itu mendapat upah. ..... ah ya, mungkin ini keterlaluan, juga mungkin teramat susah dikembangkan. Secara konsep gampang dibayangkan, tapi pelaksanaan di lapangan memerlukan seorang wiraswasta handal. Sekarang nilai kulturalnya apa? Oke, kita maunya cupid, berfikir lokal dan setempatan terus, atau berfikir menjagad dengan aksi2 lokal. Ada yg namanya globalisasi, ya pasar bebas itulah; Dg cara cerita dan promosi berita dibawah, ini memang jadi menjual orang dong. Karena sama sekali tidak melibatkan orang2 yg hendak dijadikan objek keturisisasian tsb. Lain hal jika keturisan ini maksudnya menikmati keindahan alam ketimbang kekayaan (eksotisme) kesenibudayaan lokal, atau seperti di Bali, keindahan alamnya dulu, lalu sambil lalu menikmati juga kesenibudayaan orang Bali. Jadi selama orang lokal bisa ikut terlibat, atau malah menginisiatifi, ini pertanda perobahan datang bukan dari serangan luar, tetapi merupakan pengaruh dari observasi pada keadaan diluarnya.*** Paris, Oktober 2005. -------------------- JJ.KUSNI Catatan: *].Ala ice, ala due,adalah ungkapan-ungkapan mengawali upacara menabur beras untuk berhubungan dengan dunia lain dan para leluhur di kalangan orang Dayak Katingan, Kalimantan Tengah. Sedangkan meraup muka dengan air sungai begitu memasuki sungai tersebut adalah suatu kebiasaan Dayak Katingan yang antara lain mengandung makna minta izin dan janji pasti kembali. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/