Sorry forward lagi..

Quote:
"..
Lalu, seorang ibu yang menyeletuk, apakah ia sekeluarga mendapat Kartu
Kompensasi.
Bu Neni bukannya menjawab, malah bertanya, Kartu apa? Saya baru dengar.
Ibu itu lantas menjelaskan, kartu itu adalah Program Kompensasi Pengurangan
Subsidi BBM
yang diberikan kepada orang miskin dan diberikan dalam bentuk uang tunai
senilai Rp 100 ribu
per bulan.

Ibu Neni menggeleng. Bagaimana dapat? Waktu itu suami saya ditanya, gajinya
atau
uang pendapatannya berapa, ya dia jawab apa adanya, rata-rata Rp 250 ribu
sampai
300 ribu per bulan. Lalu, yang bertanya menjelaskan bahwa bantuan itu hanya
untuk
yang pendapatannya di bawah Rp 175 ribu per bulan. Artinya kami tidak berhak

mendapatkannya, ia bercerita.
.."

Kalau kondisi seperti ini yang menjadi mayoritas publik/rakyat kita, dan
cuma jargon
sabar dan maklum yang diutamakan lagi.. apa bedanya jaman sekarang dengan
sosialisasi butir"/norma" Pancasila yang berwujud penataran P4 tempo hari..
Semua serba muluk.. gak ada ruang bagi berpikir kritis.. apalagi ngomong
yang
negatif tentang pemerintah.. kudu sabar, manut dan cicing wae.. :-(

CMIIW..

Wassalam,

Irwan.K

Dari: *trúlÿsøúl <[EMAIL PROTECTED]>*
Tanggal: *Oct 10, 2005 5:45 PM*
Judul: *Maaf, Arisannya Nggak Pakai Camilan..*

 (panas mata membacanya, inilah potret Negaraku saat ini..)

Suara PembaruanMaaf, Arisannya Nggak Pakai Camilan...Tanggal Masuk: 10
October 2005 (12 menit yang lalu)
SORE itu, giliran Keluarga Mintaryo (47) mendapatkan giliran menjadi tempat
arisan rutin warga Kampung Prayan Sleman, Yogyakarta. Tepat pukul empat
sore, Selasa (4/10) itu, ibu-ibu mulai berdatangan. Biasanya sambil arisan,
ibu-ibu itu mengambil kesempatan untuk menjual barang dagangan. Ada yang
jual perlengkapan sekolah anak seperti baju- baju seragam, celana jin, atau
alat-alat rumah tangga, yang semuanya bisa dikredit.
Namun sore itu, tampaknya tak satu pun dari para ibu yang membawa bekal
dagangannya. Hari ini saya prei (libur, Red), bingung menentukan harga,
soalnya ambilnya saja sudah naik. Bagaimana menjualnya? ucap Isnah, yang
saban arisan kampung membawa hem, kaus, dan celana berbahan jin.
Begitu 20 ibu mulai berkumpul, kini giliran pemilik rumah yang berbicara
untuk menyambut tamu, seraya menunggu pembawa undian. Ny Mintaryo tampaknya
sedang memikirkan kata-kata yang bijak. Tiba-tiba ia menyatakan, Maaf,
bukannya saya pelit, tapi arisan saat ini tanpa camilan, saya hanya bisa
menyuguh teh, dan itu juga kurang manis, ucapnya terbata-bata.
Para ibu yang hadir juga sempat terdiam. Tetapi, tak lama kemudian, serentak
seperti dikomando, mereka menyahut, Tidak apa-apa, kami maklum. Kami juga
tidak ingin merepotkan, beberapa ibu berkata bersahut-sahutan.


Terkejut
Ny Mintaryo, yang biasa dipanggil Ibu Neni, karena anak pertamanya bernama
Neni itu, tampak merasa lega. Ia menceritakan, ketika akan berbelanja di
Pasar Demangan, ia terkejut bukan kepalang. Harga-harga membubung. Untuk
menggoreng satu sisir pisang, harganya minta ampun. Jadi, saya sekali lagi
minta maaf, ucapnya lagi.
Ibu empat anak itu lantas menceritakan, tepung terigu sekarang Rp 4.500 per
kilonya. Telur ayam Rp 9.000 per kilonya, minyak goreng curah kualitas
rendah sudah Rp 6.500. Selain itu, ia juga menyebutkan kalau harga beras
yang paling jelek sekalipun sudah naik menjadi Rp 4.000. Waduh, orang miskin
seperti saya, hampir nggak bisa bernapas, ujarnya.
Tak ada yang keberatan. Semua maklum. Mintaryo, suami Ibu Neni, membuka kios
berjualan bensin dan membuka usaha tambal ban.

Uangnya pas-pasan. Ini rumah peninggalan mertua, kami cuma numpang, ia
melanjutkan. Lalu, seorang ibu yang menyeletuk, apakah ia sekeluarga
mendapat Kartu Kompensasi. Bu Neni bukannya menjawab, malah bertanya, Kartu
apa? Saya baru dengar. Ibu itu lantas menjelaskan, kartu itu adalah Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM yang diberikan kepada orang miskin dan
diberikan dalam bentuk uang tunai senilai Rp 100 ribu per bulan.
Ibu Neni menggeleng. Bagaimana dapat? Waktu itu suami saya ditanya, gajinya
atau uang pendapatannya berapa, ya dia jawab apa adanya, rata-rata Rp 250
ribu sampai 300 ribu per bulan. Lalu, yang bertanya menjelaskan bahwa
bantuan itu hanya untuk yang pendapatannya di bawah
Rp 175 ribu per bulan. Artinya kami tidak berhak mendapatkannya, ia
bercerita.
Tetapi, seperti pengakuannya, dengan pendapatan sebesar itu pun, rasanya
tidak sebanding dengan seluruh pengeluaran yang harus ia keluarkan. Belum
untuk makan sehari-hari, untuk biaya anak sekolah, transpor kendaraan yang
juga naik menjadi Rp 1.500.
Ibu Neni lantas menggambarkan, sehari, tiga anaknya, masing-masing harus
membawa uang Rp 3.000. Kalau tiga anak, sudah Rp 9.000. Untuk satu bulan,
sudah Rp 234.000, hanya untuk biaya transpor. Jelas uang pendapatan suami
hanya bisa untuk bayar bus, ucapnya, sedih.
Sebelumnya, ia cuma membantu suami menjaga kios. Namun, sekarang tentu tidak
cukup. Ia harus mendapatkan penghasilan lebih. Ia mengatakan hendak membuka
usaha mencuci pakaian untuk anak-anak kos di sekitar tempat tinggalnya.
Si bungsu tahun depan harus masuk TK. Padahal uang masuk TK itu lebih mahal
daripada uang sekolah anak saya yang SMP. Ini bagaimana? katanya.
Semua ibu yang hadir pun terdiam, tanpa mampu menjawab pertanyaan itu. Nasib
mereka tak jauh berbeda. Kemudian salah satu ibu berbicara untuk memecah
keheningan. Yah, kayaknya kita tidak akan pernah makan daging. Lebaran nanti
saya tidak bisa masak rendang atau opor ayam. Bayangkan, sekarang daging
sapi sudah Rp 45.000 per kilo. Daging ayam potong Rp 12.000, ayam kampung Rp
20.000. Kacang tanah naik dari Rp 7.000 menjadi Rp 7.500. Lombok Rp
20.000per kilo, bawang merah Rp
10.000. Emping tadi saya lihat sudah Rp 20.000 per kilo. Nggak tahu nanti
Lebaran jadi berapa? ujar Sulastri (37).
Dua puluh ibu yang berkumpul itu langsung terdiam kembali. Seorang ibu
kemudian angkat bicara. Kok nasib wong cilik kayak kita ini tidak pernah
berubah. Katanya kompensasi itu bisa kita dapatkan, nyatanya, jangankan
jaminan kesehatan yang digembar-gemborkan, uang Rp 100 ribu itu kalau
dipikir-pikir juga tidak bisa menutup kenaikan harga seperti sekarang ini,
ucap ibu itu. Enak yang pegawai negeri ya? ujarnya lagi.
Tetapi pendapat itu langsung dibantah Wanti, yang kebetulan suaminya PNS
golongan III B. Gaji suami saya memang Rp 1,4 juta. Tapi potongannya Rp 200
ribu lebih. Setiap bulan saya hanya terima Rp 1 juta. Sisanya buat transpor
suami. Nah, segitu dibagi tiga anak. Ada yang kuliah, ada yang SMA, dan SMP.
Saya juga pusing. Mau bisnis, bisnis apa? ujarnya.
Setelah puasa bulan Ramadhan, kita tetap harus puasa. Jangan-jangan rakyat
banyak yang mati muda karena stressss, Wanti pun mendesis.

Pembarua/Fuska Sani Evani

--
Pada tanggal 10/10/05, Chae <[EMAIL PROTECTED]> menulis:
>
> Harga BBM memang harus naik, menyesuaikan dengan harga minyak
> dunia.Tapi yang sekarang terjadi bukan kenaikan harga BBM tapi
> pergantian harga BBM yang lama dengan yang baru;). Sebetulnya kenaikan
> itu harus di terima dengan legowo tapi besarnya kenaikan itu yang
> harus di kritisi/dicermati. Pertama sudah sejauh mana Pertamina
> membenahi diri dari faktor-faktor kebocoran, masa kebocoran ada range
> toleransinya. Ini kan sama saja mentolerir kejahatan/pencurian
> terhadap kekayaan rakyat. Kemudian secara alur pendanaan dan larinya
> keuntungan itu harus jelas,seperti sekarang walau harga minyak dunia
> meningkat tapi negara kita ini surplus dalam masalah Gas (elpiji) loh
> kok harga elpiji malah mau ikut tan naik ( baru gosip sih;) dll.
>
> Dulu kalau ada kenaikan harga minyak dunia kan di tutupi sama subsidi
> yang dimasukan dalam anggaran belanja negara, subsidi dari anggaran
> belanja negara itu ada juga yang berasal dari dana pinjaman luar
> negri. Sekarang waktu nya bayarin pinjeman dan agak susah buat minjem2
> lagi dimana pembayaran itu menjadi beban juga bagi anggaran negara.
>
> Kondisinya negara kita tercinta ini sedang tidak punya uang yang cukup
> untuk membiayai kehidupan rakyat nya secara sejahtera, so negara
> dengan amat sangat minta pengertian dan kesadaran yang ikhlas dari
> rakyat untuk bisa hidup secara mandiri tanpa subsidi...syukur-syukur
> rakyat bisa mensejahterakan dirinya sendiri.
>
> Cuman sayang, rakyat seluruhnya di minta untuk bisa ikhlas menerima
> beban yang diberikan rakyat sementara para abdi rakyat/pejabat negara
> menjadi beban negara. Miris enggak sih tiba-tiba para anggota DPR/DPRD
> dapet mobul dinas yang harganya 280jt di tenag kondisi rakyat yang
> sedang berjuang buat "mandiri"....ini salah satu contoh.
>
> Soal dana kompensasi 100 ribu/bulan memang bukan dana untuk mencukupi
> kebutuhan selama sebulan rakyat miskin. Hanya sebagai dana kompensasi
> menutupi kenaikan harga yang mungkin (setengah pasti) akibat dari
> kenaikan harga BBM. Jadi enggak usah heran kalau dana kompensasi yang
> jumlahnya cuman 100 rebu/bulan enggak akan cukup sebulan wing cuman
> nutupin kenaikan harga2 saja toh;)
>
> Chae
>
>
>
>
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, irwank <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> >
> > Quote:
> >
> > "..
> > Empati adalah kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain. Di
> dalamnya
> > tercakup kecerdasan emosional dan sosial. Nah, jika Anda berempati
> kepada
> > orang miskin, maka Anda akan memerankan diri sepenuh perasaan
> sebagai orang
> > miskin. Persoalannya, apa fantasme Anda tentang kemiskinan?
> > Penguasa kolonial mendefiniskan kemiskinan sebagai buah kemalasan. Saat
> > mendengar kata ''miskin'', mereka teringat pada kerbau yang hanya
> bergerak
> > kalau dipacu dan lebih suka berkubang di lumpur hitam.
> > .."
> >
> > Untuk rekan" di milis, mohon maaf (dan harap maklum) kalau saya baru
> mampu
> > memforward tulisan orang lain atau bahkan URL. Setidaknya dengan
> memforward
> > saya belajar menghargai jerih payah orang lain dengan tidak seolah-olah
> > mengakui
> > bahwa saya sudah mampu menuangkan ide sendiri tetapi tidak
> menyampaikan dari
> >
> > mana ide itu dibuat. :-)
> >
> > Ini satu cerita kecil seputar dampak kenaikan harga BBM 1 Oktober lalu.
> > Sabtu kemarin saya dan keluarga berkunjung ke Karawang Barat (kampung
> > kelahiran
> > istri saya). Tiba" datang seorang ibu (eceu) mendekati istri saya dan
> > berkata -
> > kalimatnya kira" begini:
> >
> > "Maaf neng.. Eceu minta duit atuh soalnya gak punya buat buka puasa..
> > Maaf atuh nya'.. Eceu bilang minta soalnya takut gak bisa ganti
> nantinya.."
> >
> > Alhamdulillah dengan sedikit uang yang kami berikan (cuma Rp
> 15.000), kami
> > lihat
> > ibu ini bergegas belanja ke warung dengan membawa botol 'Aqua' 1.5 L..
> > barangkali untuk membeli minyak tanah yang harganya mencapai Rp
> 3000an per
> > liter.
> > Dan sedikit sisa uangnya mungkin untuk membeli bahan makanan untuk
> > keluarganya
> > sekedar berbuka puasa hari itu..
> >
> > Tolong dipahami bahwa saya bercerita seperti ini Insya Allah bukan untuk
> > bermaksud
> > pamer. Tapi sekedar menyampaikan bahwa apa yang terjadi di publik jelas
> > lebih berat
> > dampaknya ketimbang bagi mereka yang berpenghasilan Rp 100.000 per
> hari..
> > atau bahkan US $ 100 perhari atau lebih, misalnya.
> >
> > Meskipun (Alhamdulillah) keluarga saya masih bisa bertahan dari dampak
> > kenaikan
> > harga BBM ini, Insya Allah tidaklah menyebabkan saya bersikap egois
> dengan
> > berprinsip,
> > ah yang penting saya masih punya rejeki.. masih bisa naik kendaraan
> pribadi
> > maupun
> > angkutan umum (bus, busway, kereta, etc).. peduli amat dengan yang
> lain..
> > (pokoknya) 'subsidi' harus dicabut, mulai hari ini juga.. dst..
> >
> > IMHO, masalah 'subsidi' ini mestinya juga dilihat dari kemampuan publik
> > menghadapi
> > dampaknya. Tetapi melihat fakta di lapangan (atau mungkin masih
> banyak fakta
> >
> > yang belum tertangkap), menunjukkan tidak banyak yang bisa diterima
> publik
> > dengan kenaikan harga BBM. Uang Rp 15.000 sangat mungkin habis dalam
> sehari.
> > Itu artinya uang Rp 100.000 (bagi yang menerima - kita belum bicara
> > 'nyasar'-nya
> > kartu dsb) hanya bisa bertahan 7-10 hari saja. Selebihnya?
> >
> > Wallahu a'lam.. CMIIW..
> >
> > Wassalam,
> >
> > Irwan.K
> >
> > ---------- Forwarded message ----------
> > From: @ndri nugroho <[EMAIL PROTECTED]>
> > Date: Oct 10, 2005 9:44 AM
> > Subject: [ppiindia] Kegagalan (belajar) berempati
> > To: ppiindia@yahoogroups.com
> >
> > Dari milis tetangga, 'lumayan' buat dibaca dan belajar berempati
> >
> >
> >
> > [EMAIL PROTECTED]
> >
> >
> >
> >
> >
> > Miskin
> >
> >
> >
> >
> > Alkisah di sebuah sekolah dasar, tercatatlah seorang siswa kelas
> satu. Sebut
> > namanya Bakar. Ia anak konglomerat ternama.
> >
> > Bukan cuma bapaknya yang pedagang besar. Kakek moyangnya pun demikian.
> > Mereka adalah rezim saudagar terkenal sejak era abad pertengahan. Ketika
> > Pires berkata, ''Tuhan menciptakan Timor untuk pala, Banda untuk
> lada, dan
> > Maluku untuk cengkih,'' di sanalah kakek moyang Bakar berperan.
> >
> > Bakar masih menikmati warisan kebesaran itu. Ia bersekolah di SD
> unggulan
> > berstandar internasional dan bilingual, sekitar 2 kilometer dari rumah
> > (mobil senilai Rp 1 miliar yang ia pakai hanya mencatatkan perjalanan 4
> > kilometer setiap hari). Seorang sopir dan ''baby sitter'' mengantar dan
> > menungguinya setiap hari saat ia belajar.
> >
> > Laiknya sekolah mahal dan unggulan lainnya, mengarang adalah
> pelajaran yang
> > diposisikan amat penting di SD tersebut. Anak-anak didik, sejak
> kelas satu,
> > sudah dilatih untuk mengekspresikan isi kepala mereka dengan
> kata-kata yang
> > tertata baik, namun dengan isi yang mencerminkan kebebasan pikiran.
> >
> > Sampailah, suatu ketika, sang guru meminta siswa kelas I membuat
> karangan
> > tentang kehidupan keluarga yang sangat miskin di seberang benteng
> sekolah.
> > Sang guru, yang berasal dari keluarga menengah, berharap dapat
> menumbuhkan
> > empati anak-anak didiknya yang serba berada terhadap nasib kelompok lain
> > yang tak berpunya. Bakar masih kelas satu SD. Tapi, ia penulis yang
> andal.
> > Ia sefasih bapaknya saat harus melontarkan kata-kata. Ia pun
> secerdas ibunya
> > saat harus membuat hitung-hitungan dan perbandingan.
> >
> > Ia menulis, seperti saran gurunya, dengan penuh perasaan. ''Menulislah
> > dengan hati,'' begitu kata-kata sang guru yang selalu ia ingat.
> Lalu, dengan
> > sesekali menerawang dan membayangkan kehidupan keluarga miskin, Bakar
> > menggoreskan pinsilnya dengan huruf-huruf yang belum sempurna benar. Ia
> > menamai tokoh dalam karangannya sebagai Pak Abu.
> >
> > ''Pak Abu,'' tulisnya, ''adalah orang yang sangat miskin. Benar-benar
> > miskin, sampi-sampai pembantunya juga miskin, sopirnya miskin, dan
> tukang
> > kebunnya pun miskin.''''Karena sering tak punya uang, Pak Abu jarang
> > membersihkan kolam renang di rumahnya. Ia juga hanya bisa memelihara
> > ikan-ikan kecil di akuarium seperti lou han yang makannya sedikit, tidak
> > seperti arwana dan koi di rumahku. Kucing siam punya Pak Abu juga kurus,
> > soalnya kurang makan. Ayam yang ia pelihara juga yang kecil-kecil, jenis
> > kate.''
> >
> > Bakar yang berpikir bebas menulis karangannya itu dengan penuh haru. Ia
> > sesekali mengernyitkan dahi. Ia berpikir dirinya tak mungkin bisa
> > menanggungkan kemiskinan seperti yang terjadi pada keluarga Pak Abu.
> > Alangkah malangnya keluarga Pak Abu, pikirnya. Jangan-jangan
> anak-anaknya
> > harus berebut saat bermain PS2, karena alat permainan itu hanya ada
> satu di
> > ruang keluarga. Lain dengan di rumahnya, setiap kamar ada. Di kamar
> Bakar,
> > di kamar kakak-kakaknya, bahkan di kamar ibu-bapaknya .
> >
> > Sopir dan pembantu Pak Abu pun, pikirnya, pasti sedih karena tidak
> seperti
> > pembantu dan sopir dirinya. Bakar membandingkan handphone yang dipegang
> > sopir dan pembantu Pak Abu mungkin jenis monophonic yang ketinggalan
> zaman,
> > lain dengan handphone pembantu dan sopirnya yang polyphonic dan bisa
> kirim
> > MMS.
> >
> > Ia membayangkan kepala urusan dapur di rumah Pak Abu mungkin hanya bisa
> > belanja di pasar yang becek atau supermarket kecil di perempatan jalan.
> > Padahal, pembantu di rumahnya sangat biasa berbelanja ke hypermarket
> Prancis
> > dan mal-mal. ''Anak-anak Pak Abu,'' tulisnya dengan empati penuh,
> ''kalau
> > liburan tidak bisa ke Eropa atau Amerika seperti aku. Mereka hanya bisa
> > berlibur ke Bali. Itu pun pakai pesawat yang murah, low cost carrier.''
> >
> > Terserahlah, Pembaca, Anda mau bekomentar apa tentang cerita itu.
> Saya hanya
> > mau menyampaikan sebuah kegagalan empati. Bukan karena orangnya
> tidak tulus,
> > tapi ia memang tidak memiliki pengalaman yang memadai tentang dunia
> di luar
> > dirinya. Bakar adalah wakil dari kegagalan itu. Saya kembalikan
> kepada Anda
> > kisah-kisah di luar. Saat seorang menteri berkata, ''Kalau tidak mampu
> > membeli elpiji, ya jangan gunakan elpiji,'' apa komentar Anda?
> >
> > Bagi saya, itu adalah kegagalan empati. Mungkin karena sekadar kurangnya
> > wawasan dia tentang penderitaan, mungkin juga karena kemalasan
> melihat dunia
> > luar. Bayangkan setelah si menteri berkata seperti itu, harga minyak
> tanah
> > melambung tiga kali lipat. Kita tentu tak berharap pejabat itu akan
> berkata,
> > ''Kalau tidak mampu beli minyak tanah, jangan gunakan minyak
> tanah.'' Lalu,
> > ketika harga beras melonjak sekian kali lipat, ia pun berpidato lagi,
> > ''Kalau tidak mampu beli beras, jangan makan nasi.''
> >
> > Empati adalah kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain. Di
> dalamnya
> > tercakup kecerdasan emosional dan sosial. Nah, jika Anda berempati
> kepada
> > orang miskin, maka Anda akan memerankan diri sepenuh perasaan
> sebagai orang
> > miskin. Persoalannya, apa fantasme Anda tentang kemiskinan?
> > Penguasa kolonial mendefiniskan kemiskinan sebagai buah kemalasan. Saat
> > mendengar kata ''miskin'', mereka teringat pada kerbau yang hanya
> bergerak
> > kalau dipacu dan lebih suka berkubang di lumpur hitam.
> >
> > Pemerintah kita mendefinisikan kemiskinan sebagai hasil perhitungan dari
> > sebuah nilai subsidi. Maka, ditemukanlah angka penghasilan Rp 175 ribu
> > sebagai batas kemiskinan. Kurang dari angka itu berarti miskin dan
> berhak
> > mendapat santunan Rp 100 ribu.Persoalannya, orang yang berpenghasilan di
> > antara Rp 175 ribu dan Rp 275 ribu masuk kategori apa? Tidak jelas,
> kecuali
> > satu hal: Mereka kini menjadi penduduk termiskin di negeri ini. n
> > [EMAIL PROTECTED]
> >
> > (Arys Hilman )
> >
> > (Republika Online)


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Click here to rescue a little child from a life of poverty.
http://us.click.yahoo.com/rAWabB/gYnLAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Kirim email ke