http://www.sinarharapan.co.id/berita/0605/23/opi01.html



Kemacetan Transisi Demokrasi Kita
Oleh
Benny Susetyo



Tak terasa era reformasi ini telah berumur 8 tahun. Setiap bulan Mei, kita merefleksikannya sebagai momentum peralihan dari kekuasaan otoriter ke kekuasaan demokratis. Tapi hingga umur 8 tahun ini kita sadari transisi demokrasi di Indonesia mengalami kebuntuan, misalnya partisipasi politik masyarakat dalam rangka menentukan kebijakan pemerintahan sering tidak berjalan baik.

Dalam era transisi saat ini, telah lama terdengar aspirasi masyarakat bisa dengan mudah ditundukkan oleh kekuatan uang. Uang menjadi kekuatan baru dalam mekanisme demokrasi. Mungkin benar apa yang dikatakan Giddens bahwa demokrasi terjadi bila ada keseimbangan antara kekuatan pasar dan politik.

Di Indonesia kekuatan pasar begitu dominan memainkan peranannya dibandingkan dengan partisipasi politik publik. Akibatnya, pasar adalah penentu kebijakan politik. Dan pembuat kebijakan berada di bawah bayang-bayang pemilik modal, dan pasti mengalami ketergantungan pada mereka.
Di situ kita bisa melihat semuanya bisa dibeli. Siapa memiliki modal, dialah penentu kebijakan politik. Politik yang selama ini diwarnai politik aliran, sebetulnya hanya permukaan. Realitasnya, tidak ada politik aliran yang benar-benar memperjuangkan visi ideologinya. Yang berkuasa tetap si pemilik modal itu.


Komoditas Politik
Aliran dalam politik hanya sekadar komoditas politik, bukan untuk memperjuangkan nilai ideologi yang terkandung. Mereka tergantung pada pemilik modal. Ini yang menyebabkan ketidakmampuan pemerintah bertindak tegas terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Ini terjadi tidak hanya di pusat tapi juga dari kantor bupati sampai kantor kepala desa.
Ini bukan khayalan politik. Suka tidak suka kita terima ini sebagai realitas. Lihat saja apa yang sering disebut orang calo politik. Di balik percaloan itu ada kekuatan pemilik modal. Kepentingannya untuk melestarikan bisnisnya yang akan besar jika didukung kebijakan yang menguntungkan.
Ini persis dengan apa yang dikatakan Yosihara Kunio ketika mengindikasikan munculnya kapitalisme semu di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, adalah perkawinan antara kekuasaan politik dan ekonomi.

Rupanya praktik tersebut masih terjadi saat ini. Praktik tersebut bahkan dilakukan secara terang-terangan. Padahal, praktik ini membawa akibat mekanisme demokrasi tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Demokrasi lantas tidak lagi mengajarkan prinsip persamaan hak dan keadilan bagi setiap orang.

Prinsip demokrasi tidak berjalan selama 8 tahun terakhir ini karena partisipasi publik tidak dilibatkan. Publik hanya sekadar alat dari kepentingan penguasa untuk mencari suara. Ketika suara diperoleh, publik ditinggalkan.

Kesalahan kita dalam membangun transisi demokrasi tidak menyiapkan masyarakat yang rasional. Dalam realitasnya kita menciptakan masyarakat irasional, misalnya dengan terus-menerus membangun kultus individual pada pribadi-pribadi tertentu.


Proses Transisi
Realitas ini menggambarkan betapa mudahnya uang memanipulasi sebuah kebenaran. Di situlah kita melihat peranan para calo. Tidak hanya calo politik, melainkan juga calo media massa yang mampu menghipnotis publik seolah-olah mereka pantas menjadi pemimpin.
Gejala ini menggambarkan proses transisi demokrasi sebagaimana dikatakan Schmitter, terlalu banyak orang yang berkeinginan menjadi pencari keuntungan dari ketidakpastian era transisi. Mereka sekarang sangat banyak kita jumpai di publik dengan berbagai kedok, sok reformis, sok mengritik, dan provokasi. Di balik itu semua, ujung-ujungnya rakyat dijadikan objek pelengkap penderita dalam berbagai permainan politik.

Rakyat tetaplah rakyat yang tidak punya kedaulatannya, tetap termarjinalisasi dari akses-akses politik dan ekonomi. Itu semua terjadi sebab kultur politik kita masih kultur "centeng", sok priyayi meski "karbitan". Itulah yang menguasai sendi-sendi kehidupan politik kita. Disadari atau tidak, kita ini sebenarnya dikuasai para calo politik, bukan negarawan.

Kita perlu membangun budaya baru yang didasarkan kepada pertimbangan rasionalitas dalam pemilihan. Bukan lagi kepada mitos dan politik aliran, melainkan kepada pertimbangan integritas, kepribadian, serta moralitas calon. Elite politik kita terbukti lebih suka mengandalkan uang dan terbukti hanya sekadar mengeksploitasi emosi rakyat, serta tidak memiliki program yang jelas untuk membangun bangsa ke depan.
Dari situlah awal kemacetan transisi demokrasi ini terjadi. Telah 3 penguasa tumbang dalam selang waktu ini. Telah berbagai kebijakan ekonomi diluncurkan. Tapi benarkah 8 tahun reformasi itu telah membuahkan hasil berupa demokrasi?

Penulis adalah pendiri Setara Institute


[Non-text portions of this message have been removed]



Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment ....




SPONSORED LINKS
Women Different religions beliefs Islam
Muslimah Women in islam


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke