http://www.indomedia.com/poskup/2006/12/13/edisi13/opini.htm
Martabat perempuan dan kodrat penciptaan (Kritik atas kekerasan terhadap perempuan) Oleh Paulus Senoda Hadjon dan Emiliana Martuti Lawalu * SEJAK permulaan, manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan disebut sebagai Adam (tanah) dan Hawa untuk menjelaskan kodrat manusiawinya yang rapuh, yang tidak bisa sendiri, harus senantiasa disempurnakan baik oleh rahmat Tuhan maupun oleh yang lain. Keduanya diciptakan secitra dengan Allah, diberkati dan diberi kuasa untuk 'menaklukkan' dunia (Kejadian 1:28). Penaklukan dunia dimengerti sebagai upaya memelihara, menata dan mengolah dunia seturut kehendak Pencipta. Penaklukkan sama sekali tidak berarti pendominasian seseorang (the I) terhadap yang lain sebab segenap makhluk berada dalam harmoni ciptaan yang saling menyempurnakan. Laki-laki dan perempuan ada dan berada di tengah dunia untuk maksud ini. Keberadaan mereka membuat dunia yang semula anonim menjadi terang, dimengerti dan diidentifikasi. Adanya mereka adalah ada untuk memberi makna kepada dunia. Dasein Heidegger yakni berada di tengah dunia, mencoba menjelaskan makna yang diberikan manusia terhadap dunia setelah momen keterlemparannya. Menurutnya, dunia hanya dapat dimengerti dan dimaknai oleh manusia. Ia berada tepat di tengah-tengah bukan untuk mendominasi ataupun mengembalikan segala sesuatu kepada dirinya (totum) tetapi untuk memahami apa yang mesti dilakukan terhadap yang lain di sekitarnya. Di sini, eksistensi manusia menuntut sebuah tanggung jawab besar terhadap alam dan sesamanya. Ia menanggung sebuah jawaban pasti terhadap yang lain di hadapannya. Laki-laki dipanggil untuk menjaga, melindungi dan akhirnya bersatu dengan perempuan partner hidupnya. Perempuan dipanggil untuk hidup berdampingan secara damai dengan laki-laki tanpa ada 'penaklukan' yang sesungguhnya, sebab rusuk itu telah menyetarakan keduanya. Panggilan mereka adalah panggilan untuk memelihara harmoni universum yang sejak permulaan penciptaan telah ditata sedemikian menakjubkan oleh Allah. Laki-laki dan perempuan dengan demikian berada dalam kesetaraan martabat yang tidak bisa dianulir oleh apa dan siapapun. Kesetaraan martabat mereka didasari oleh kodrat penciptaan: bahwa Allah menjadikan keduanya secitra denganNya (Kej. 1:26), dan dari rusuk laki-laki dibangunNyalah seorang perempuan (Kej 1: 22). Kesetaraan ini pada hemat kami, sama sekali tidak menyangkal perbedaan kodrati yang ada pada keduanya. Perbedaan kodrati laki-laki dan perempuan terlahir darialam mereka yang berbeda. Perempuan memiliki kemungkinan alamiah untuk menjadi ibu/melahirkan, sementara laki-laki memiliki kesanggupan untuk bekerja fisis secara lebih berat. Namun perbedaan yang ada sebagai penentuan alam harus dipakai untuk saling melengkapi dan bukan untuk saling menindas. Refleksi atas perbedaan yang ada, membawa kita kepada kesadaran baru bahwa setiap pribadi khas dalam dirinya dan memiliki perannya sendiri dalam mengembangkan dunia. Dunia justru semakin menarik untuk dilakoni ketika disadari betapa pentingnya kekhasan/perbedaan yang ada pada setiap pribadi. Mereka dapat saling menjaga dan menyempurnakan. Mereka dapat saling memberi dan menerima. Mereka juga dapat saling mengakui kelebihan dan kelemahan masing-masing. Tidak ada yang menjadi tuan atau budak atas yang lain. Dalam terang ini, Matthew Henry pernah berkata: "Hawa bukan diambil dari kaki Adam untuk menjadi budak belianya. Bukan pula dari kepalanya untuk menjadi tuannya, melainkan dari sisinya untuk menjadi temannya, di bawah lengannya supaya terlindung dan dekat jantungnya untuk dikasihi". Henry sebenarnya menegaskan posisi perempuan di tengah dunia. Secara kodrati, laki-laki dan perempuan diciptakan sederajat. Perempuan dibentuk dari rusuk lelaki, yang diambil dari sisinya, bukan kepala atau kaki. Perempuan diciptakan justru sebagai partner kaum lelaki dan bukan hamba atau tuannya. Tak ada klaim yang dapat membantah kebenaran ini. Penyangkalan terhadap keberadaan dan martabat perempuan merupakan penyangkalan terhadap kodrat penciptaan Realitas keluhuran martabat perempuan zaman ini hampir bertolak belakang dengan kodrat penciptaan. Pelbagai kekerasan yang menimpa kaum perempuan: diskriminasi, subordinasi dan eksploitasi terhadapnya, telah menempatkan perempuan pada tingkatan yang tidak diperhitungkan. Ia dibuat hingga kehilangan kelasnya. Kehilangan keharusannya untuk berada, bertumbuh dan berkembang. Kehilangan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri di tengah dunia. Subordinasi yang umumnya dibangun oleh sistem patriarki entah dalam budaya atau adat tertentu, entah secara pribadi ataupun kelompok, entah disadari atau tidak, menempatkan perempuan pada posisi underdog. Keberadaannya lebih dilihat sebagai tambahan untuk melengkapi satu bagian yang kurang pada diri lelaki. Olehnya, perempuan sering dipandang tidak penting. Banyak alasan yang mencoba mendepak perempuan ke pinggir dunia kehidupannya sendiri: perempuan adalah makhluk yang lemah, yang tak dapat berbuat lebih. Perempuan lebih menekankan perasaan dan insting ketimbang rasionalitas. Perempuan sumber dosa dan bencana, olehnya sejarah firdaus berbalik menjadi sejarah penderitaan demi penderitaan. Kita menjadi tidak beda dengan manusia-manusia masa lalu yang mengunci pintu bagi pengakuan keluhuran martabat perempuan. Orang-orang Yahudi pada abad sebelum masehi melihat perempuan sebagai sumber dosa. Ia tidak memiliki nilai sama sekali. Ia hanya memiliki harga jual,karena ia diperhitungkan sebagai barang atau harta milik suami. Demikian pun pemikir-pemikir besar seperti Plato, Aristoteles dan Tertulianus. Mereka secara ekstrem menilai adanya perempuan sebagai makhluk yang tak berguna. Plato misalnya, menegaskan bahwa nasib malang yang menimpa kaum lelaki hanya bila ia direinkarnasi sebagai wanita. Atau Aristoteles, menganggap perempuan sebagai jenis pria yang tidak lengkap. Tertulianus dengan latar budaya dan filsafat, kemudian melengkapi pandangan ekstrem ini dengan menulis: "kau (perempuan) adalah pintu masuk iblis. Kau perusak meterai pohon yang terlarang. Kau pelanggar pertama hukum Ilahi .." Di sini, martabat kaum perempuan sungguh-sungguh dipertanyakan ketika berhadapan dengan dominasi kaum lelaki. Martabat mereka adalah ketiadaan martabat. Tidak ada nilai luhur yang ditemukan dalam diri perempuan: dia adalah pria yang tidak lengkap dan pintu masuk iblis. Dia adalah sumber bencana dan pelanggar hukum Ilahi. Plato, Aristoteles dan Tertulianus telah mencoreng citra perempuan dengan gagasannya yang aprioristis. Mereka membingkai wajah sayu perempuan dengan pemikiran-pemikiran yang solipsistis: yang ada, yang bernilai dan yang bermartabat hanyalah aku/lelaki. Totalitas gagasan mereka boleh dikatakan mewakili pandangan dunia zaman itu. Namun bagaimanapun, itu adalah gagasan yang dibuat manusia. Tuhan tidak pernah menghendaki adanya pertentangan yang sedemikian tajam. Kesadaran yang Ia tumbuhkan dalam diri manusia adalah kesadaran untuk memahami kodrat penciptaan. Menyadari kodrat penciptaan berarti menyadari kesetaraan, keterkaitan dan keterarahan segenap komponen tercipta. Kodrat penciptaan membentuk sebuah harmoni universum yang tak dapat dikhianati: manusia sejak permulaan diciptakan secitra dengan Allah; perempuan diciptakan dari rusuk seorang lelaki; dan adanya mereka adalah untuk 'memaknai' dunia. Dengan berkaca pada realitas keterpurukan kaum perempuan oleh karena kekerasan dan subordinasi yang dibuat, dapat kita katakan bahwa pandangan ekstrem di atas masih juga mempengaruhi orang-orang zaman ini. Kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan terhadap kaum perempuan, pemerkosaan, pembunuhan, pelacuran, perdagangan perempuan yang marak belakangan ini, membenarkan kalau kita pun berpihak kepada pandangan-pandangan ekstrem itu. Tak heran bila kemudian muncul gerakan feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender. Terlepas dari visi dan misinya, gerakan ini berupaya menempatkan kembali eksistensi perempuan pada sisi lelaki. Mereka memperjuangkan pengakuan kembali martabat perempuan sebagai partner yang penting dan yang menyempurnakan. Perjuangan mereka di sini adalah perjuangan untuk kembali ke kodrat penciptaan, kembali kepada pengakuan bahwa sejak permulaan manusia diciptakan sederajat. Ia memiliki martabatnya. Martabat perempuan ada secara luhur dalam dirinya dan tidak bisa dimanipulasi oleh siapapun dan pandangan apa pun. Martabat itu asli, luhur dan agung. Ia tidak ditentukan oleh rasionalitas yang lain di luar dirinya. Dengan demikian, perjuangan kepada pengakuan keluhuran martabat perempuan merupakan sebuah perjuangan penegakan hak asasi manusia. Karena hak itu bersifat mendasar, maka pelanggaran/pelecehan terhadapnya perlu ditindak secara hukum. Laki-laki atau lebih tepatnya sistem patriarki sering dituding sebagai biang pelbagai praktek subordinasi dan kekerasan terhadap perempuan. Mereka dituding sebagai subyek yang harus bertanggung jawab atas semua yang menimpa kaum perempuan. Tudingan ini tidak salah karena banyak praktek pelecehan martabat perempuan dipentaskan oleh lelaki. Cuma perlu dipertanyakan, apakah perempuan sendiri telah menghargai kodrat dan martabatnya sebagai seorang perempuan? Pada kenyataan, perjuangan pencapaian keluhuran martabat perempuan sering berbenturan dengan sikap/tata cara, perkataan, tindakan dan profesi perempuan sendiri. Cara berpakaian yang melanggar kesusilaan, pelacuran, gerakan-gerakan erotis dan streaptise, pergaulan bebas, semuanya merendahkan dan menodai citra dirinya. Kontroversi Inul Daratista dapat diangkat sebagai contoh. Oleh sementara orang, penampilan (busana dan koreo) Inul - penyayi dangdut yang dikenal dengan goyang ngebor - dinilai melanggar kesusilaan. Tata ketimuran sama sekali bertolak belakang dengan penampilan seronok semisal itu. Inul dinilai tidak sopan dalam berpakaian. Aksi panggungnya diklaim sebagai pembangkit birahi. Ia lebih menonjolkan keindahan dan kelenturan tubuh daripada unsur substansial yang dibutuhkan seorang penyayi. Meski penilaian ini terkesan subyektif (setiap orang boleh memberikan penilaiannya secara berbeda), namun ada nilai positif yang dipetik. Pertama, masih ada orang yang tampil sebagai pengontrol kehidupan moral etis bersama. Kedua, masih ada orang yang merasa terganggu dengan penampilan seronok seperti itu. Ketiga, masih ada orang yang berusaha menjaga citra budaya ketimuran. Keempat, masih ada orang yang memikirkan keluhuran martabat perempuan. Kelima, martabat perempuan dipandang luhur dan agung karena itu tampil seronok semisal Inul sebenarnya merusak citra diri perempuan sendiri. Dan memang penampilan Inul yang demikian, secara moral etis merusak keluhuran martabat perempuan Indonesia seluruhnya. Martabat seorang perempuan adalah kriteria tertinggi yang menentukan eksistensi seorang perempuan. Martabat dengan demikian harus diperjuangkan, dijaga dan dipertahankan. Keluhuran dan keagungan martabat perempuan menjadi kebenaran yang menentukan kesetaraannya dengan lelaki. Kebenaran ini hanya bisa diperjuangkan oleh perempuan sendiri: menjaga diri, tahu apa yang harus dibuat, menghargai kodratnya sebagai seorang perempuan, memperjuangkan citranya yang terpuruk oleh zaman dan belajar lebih banyak guna membekal diri, mencegah pelbagai kemungkinan subordinasi dan kekerasan terhadapnya. Seorang perempuan yang bermartabat adalah dia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, keadaban dan nilai-nilai kodrati seorang perempuan. Seorang perempuan yang bermartabat adalah dia yang tidak dengan tergesa melemparkan kesalahan kepada pihak lain. Meski dalam kenyataan sistem patriarki adalah biang yang menghancurkan eksistensi perempuan, namun seorang perempuan bermartabat adalah dia yang mampu mencerna kenyataan yang terjadi, memberi ruang bagi refleksi atasnya dan mengambil sikap yang tepat: apa yang harus dibuat. Siapa yang benar dan siapa yang salah hanyalah upaya melihat kebenaran dari keterpurukan yang telah terjadi. Ia memberi sumbangsih berupa hukuman kepada yang salah dari pelbagai data yang dikumpulkan tetapi tidak menjamin berakhirnya persoalan. Yang terutama di sini adalah: apa yang harus dibuat agar perempuan sungguh-sungguh terbebas dari kondisi yang membelenggunya. Masa depan adalah sebuah rentang waktu yang belum terjamah. Karena itu memikirkan apa yang harus dibuat adalah antisipasi dini mencegah kemungkinan terulangnya pelbagai kondisi subordinatif. Belajar dari sejarah, kaum perempuan harus lebih berani menjaga martabat diri dan kaumnya. Nilai diri dan keberadaan masing-masing lebih ditentukan oleh diri pribadi, baru kemudian orang lain. Orang lain justru akan segan berhadapan dengan perempuan bermartabat. Meski pada kenyataan perempuan kurang dihargai keberadaannya, dan atau ia sendiri tidak menghargai dirinya sendiri, namun sesuatu yang pantas dibanggakan adalah bahwa telah ada cahaya-cahaya kecil yang mulai bersinar dari wajah perempuan-perempuan zaman ini. Mereka telah mengangkat kepala, menatap masa depan untuk bangkit dari keterpurukannya. Mereka berupaya sedapat mungkin meyakinkan manusia akan makna keberadaan mereka di tengah dunia. Akan nilai luhur dalam dirinya yakni martabat yang dimiliki sesuai kodrat penciptaan. Suatu ajakan bagi manusia untuk bangkit telah diserukan: mari nobatkan keluhuran budi, marilah kita bersikap seperti kanak-kanak, marilah kita bersikap jujur, mari kita banggakan kebajikan, dan di atas segala-galanya janganlah kita tanggalkan kemanusiaan kita. Dengan keluhuran budi, kejujuran, kebajikan dan humanisme, kita diajak untuk memandang secara baru dimensi kehidupan perempuan. Perempuan adalah bulan yang memberi terang di kala kegelapan. Dia adalah rahim yang menjadikan sesuatu indah. Dia adalah ibu yang menjamin eksistensi dunia. Perempuan adalah mahkota terindah dalam sejarah peradaban manusia. Karena itu, menyangkal eksistensi perempuan sama saja dengan menyangkal kodrat penciptaan. Bagaimanapun, adanya perempuan adalah ada yang memampukan kaum lelaki mengendus sejarah peradaban, terlempar ke tengah dunia untuk memberi makna terhadap segala sesuatu. Perempuan menjadi sisi termanis dari kehidupan kaum lelaki, karena rusuk itu telah mempertemukan keduanya.** * Kedua penulis, staf Unwira-Kupang [Non-text portions of this message have been removed]