On Thu, 2007-01-18 at 08:14 +0000, Chae wrote:
> Maksudnya begini Mba, kadang yang di akui secara hukum negara dan
> hukum agama adalah para laki-laki atau suami sebagai satu-satunya
> pihak yang mewakili kepentingan keluarga.
> 
> Pada keberadaan perempuan dalam ranah publik pun jika dia berstatus
> istri tidak lepas dibawah otoritas para suami.
> 
wah ini bener-bener nggladrah,

wakil keluarga adalah lelaki, IMHO, hal ini tidak menjadi masalah. Di
Pekalongan dan sekitarnya apabila ada undangan slametan, maka yg
mewakili keluarga adalah Suami atau anak laki-laki. Nah untuk keluarga
yg berkepala keluarga perempuan (misalnya janda) maka "berkat"-nya akan
dikirim ke rumahnya, meski tidak hadir di acara slametan. Ini bukan bias
gender, kalo sang Ibu mau hadir ditengah para lelaki tentu saja boleh;
tapi ini tidak sesuai dengan norma kepantasan publik. Di lain sisi, bila
ada undangan kerja bakti atau ronda, maka keluarga janda ini TIDAK WAJIB
HADIR (tidak perlu capek2 ikut kerja) rumahnya akan dibersihkan juga.

Ini bentuk penghormatan pada perempuan.

Di tataran lebih tinggi, misal pemilihan ketua RT, perempuan boleh kok
mencalonkan diri, juga untuk RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur,
Presiden. Silahkan saja.

Jaman sekarang Nama Gadis sudah tidak hilang lagi, istri saya tidak
pernah dipanggil Bu Sabri :=)) baik Istri pertama maupun istri kedua.
Dua-duanya selalu memperkenalkan diri dengan nama mereka sendiri dan
masyarakat mengakuinya tuh.

salam
> 

Kirim email ke