Mba Lina,

Jika bentuk hukum tidak sesuai dengan kondisi masyarakat yang berbeda
dgn masyarakat arab mengapa hal ini di konotasikan sebagai bentuk
bahwa Allah tidak Maha Tahu?? mengapa hal ini bisa muncul dalam
pemikiran anda....bisa di share;)

Kalau pendapat saya, ketika bentuk hukum di turunkan maka bentuk hukum
itu harus di sesuaikan dengan kondisi dan keadaan masyarakat arab jika
tidak mana mungkin bisa dijalankan?? logikanya kan demikian bukan
berpikir bahwa Allah tidak Maha Mengetahui:)) tapi ini pendapat saya
saja loh!!!! Misalnya saja begini...turun ayat tentang bagaimana
memperlakukan istri dan kemudian muncul kiasan nya berupa lautan
...misalnya.." istri2 mu seperti lautan, maka datangilah dari pantai
manapun....misalnya ... tentu saja memberikan kiasan dgn hal lautan
tidak akan bisa dipahami dan dijalankan bagi masyrakat arab yang
sebagian besar tidak mengetahui masalah lautan, beda dgn kiasan ladang
pesan yang diterima jelas mereka pahami bahwa istri2 itu seperti
ladang mempunyai nilai investasi yang besar maka dari itu harus
diperlakukan dengan sangat baik. Sama halnya dengan persaksian
perempuan harus 2 orang, ini juga dikarenakan kondisi dan keadaan pada
waktu itu.

Kembali ke masalah bentuk hukum waris. Ok itu contoh ideal dari
masyarakat yang kurang lebih sama dengan kondisi dan masyarakat arab
pada waktu itu.

Tapi bagaimana jika...

Mba Lina:Ada contoh yang mudah dicerna untuk dapat mengerti keadilan
makro.> Seorang anak laki2 mendapat bagian waris sebesar Rp.
100.000,-, dan anak perempuan mendapat Rp. 50.000,-. Setelah dewasa
anak lk2 tsb menikah dan harus memberi  mahar serta menafkahkan dengan
perkiraan habislah uangnya  terpakai Rp. 25.000,-. Maka uangnya
bersisa Rp. 75.000. Begitu juga dengan anak pere, menikah dan
mendapatkan mahar dan dapat nafkah sebesar Rp. 25.000,-, maka uangnya
pun menjadi Rp. 75.000,-. Akhirnya, sama saja toh ujung2nya 1:1.

Bagaimana jika si anak laki-laki itu mendapatkan istri yang mandiri
dan secara finansial lebih mampu daripada dirinya sehingga pada
kenyataanya dia tidak perlu memberikan mahar dan nafkah sebedar
Rp.25,000 bahkan mahar yang diberikanya tidak lebih sekedar
seperangkat alat sholat saja??? lalu bagaimana jika yang anak pere
menjadi pencari nafkah, ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
keluarganya semisal Rp.25,000, sedangkan mahar yang didapat hanya 
seperangkat alat sholat saja. Jadi pada akhirnya si anak laki-laki
tetap dgn Rp.100,000 dan anak pere dgn sisa Rp.25,000 nya saja???:)

Mba Lina,jika kondisi dan keadaan sama dgn masyarakat arab pada waktu
itu saya juga setuju dgn tetap mempertahankan bentuk hukum waris 2:1
tapi pada kenyataanya sekarang ini posisi perempuan dan laki-laki
sudah setara; artinya peluang untuk tampil secara maksimal dalam
fungsi sosial adalah sama. Sehingga kewajiban untuk mencari nafkah
tidak hanya dimiliki laki-laki tapi juga perempuan. kalau perempuan
nya "cuek" dan tidak mau mengoptimalkan kemampuannya dalam kondis dan
keadaan sekarang, apakah kesejahteraan keluarga akan terpenuhi??
mampukah laki-laki seorang diri menjadi pihak yang bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan keluarga??
 
Memperbaiki sistem??? apa yang salah dgn sistem ketika perempuan ikut
andil dalam masalah kesejahteraan keluarga?? mengapa perempuan ahrus
berada dalam posisi parasit dan benalu dari suaminya??

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Lina Dahlan" <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:

> Lina:
> Oleh karena budaya arab seperti itu, kemudian Allah SWT menetapkan 
> bentuk hukum 2:1? Seolah-olah Allah tidak tahu bahwa dibelahan dunia 
> lainnya ada budaya lain dan ada yang bernasib lain?
> 
> Ada contoh yang mudah dicerna untuk dapat mengerti keadilan makro.
> Seorang anak laki2 mendapat bagian waris sebesar Rp. 100.000,-, dan 
> anak perempuan mendapat Rp. 50.000,-. Setelah dewasa anak lk2 tsb 
> menikah dan harus memberi  mahar serta menafkahkan dengan perkiraan 
> habislah uangnya  terpakai Rp. 25.000,-. Maka uangnya bersisa Rp. 
> 75.000. Begitu juga dengan anak pere, menikah dan mendapatkan mahar 
> dan dapat nafkah sebesar Rp. 25.000,-, maka uangnya pun menjadi Rp. 
> 75.000,-. Akhirnya, sama saja toh ujung2nya 1:1.
> 
> Kalau yang menjadi alasan `tidak adanya system yang mengatur', ya 
> dibuatlah systemnya, bukan menggantikan ayat AlQur'annya. Berati  
> ada yang tidak beres dengan budaya spt itu dan harus dibuat beres.
> 
> Betul ada wanita menjadi tulang punggung. Tapi kan wanita itu 
> seharusnya mendapat bagian dari suaminya. Kalau dia tak dapat dari 
> suaminya, berarti system tsb tidak berjalan dengan baik dan harus 
> diperbaiki. Bukan ayatnya yang diutak-atik-atuk.
> 
> Wassalam,
>


Kirim email ke