Pak Sumar yang baik, Terimakasih atas kiriman postingnya, subject: Agama, Negara dan Perempuan. Penting untuk dibaca dan disimak isinya...
Salam, MiRa --- In [EMAIL PROTECTED], Sumar Sastrowardoyo <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Surya Online - Harian Pagi Surya Selasa, 20 Februari 2007 01:51 wib Opini: Agama, Negara, dan Perempuan Monday, 19 February 2007 Perkembangan wacana keperempuanan di wilayah agama dan negara, sejak reformasi sampai awal 2007, bisa dikatakan tidak menunjukkan gerakan yang progresif. Negara tetap kukuh sebagai institusi yang merefleksikan watak maskulinitas dan menguatkan relasi patriarki. Kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan domestik (domestic violence) tetap terjadi, bahkan intensitasnya cenderung meningkat, walaupun negara telah membuat aturan perlindungan dari kekerasan seperti UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), namun karena kurangnya sosialisasi dan penegakan konstitusionalnya sangat lemah, maka kebijakan tersebut tidak berfungsi efesien dan efektif. Yang lebih tragis, kekerasan saat ini bukan hanya terjadi secara fisik, namun secara pelan dan pasti, kekerasan berubah menjadi kekerasan wacana, struktural, sekaligus kultural. Fakta ini bisa diamati pada dorongan yang terus-menerus terhadap eksistensi dan citra perempuan agar berkualitas instan; di satu sisi tubuh perempuan dijadikan objek eksploitasi bagi kepentingan kapitalisme dan modal, dan pada sisi yang lain pola pikir (mindset) perempuan diobjektifikasi dengan narasi-narasi kemajuan dan pembelaan yang palsu, seperti hedonisme dan konsumerisme. Perempuan hari ini menjadi banal, tidak berindentitas kukuh, dan berkepribadian ganda. Mereka dinobatkan sebagai pemenang di sektor yang tidak jauh-jauh dari pusar, dada, dan paha. Sedangkan di wilayah yang bercorak intelektual dan perjuangan yang visioner, pemain dan pemenangnya masih dipenuhi oleh laki-laki. Transformasi gender menjadi gamang, isu-isu yang diperjuangkan menjadi tidak progressif, diam di tempat bahkan terjebak dalam sirkulerisme wacana. Organ-organ gerakan dan lembaga-lembaga pendamping menjadi lemah secara dramatis. Namun anehnya, kondisi ini tidak direspons secara cepat oleh negara, contohnya dengan merumuskan kebijakan yang tidak partikular dan memberikan proteksi yang mendorong perempuan untuk terus menerus menemukan identitas yang sejati, sehingga bisa berpartisipasi dalam semua lini kehidupan. Agama juga seirama dengan negara, para elite yang memegang otoritas keagamaan tidak berhasil menciptakan formulasi pemikiran yang revolutif, progresif, dan mengandung muatan pembelaan terhadap perempuan, yang secara cepat bisa dinjeksikan pada struktur kebudayaan yang dijalin dalam relasi doktrin maskulin, kebudayaan feodal, dan patriarkal. Doktrin agama tidak pernah direformasi secara sungguh-sungguh, sehingga strukturnya memberikan peluang pada perempuan untuk diterima sebagai makhluk yang setara dengan laki-laki, dan mempunyai kemampuan yang sama dalam menyumbangkan pemikiran dan aktivitas yang bisa memajukan masyarakat. Para pemuka agama masih menikmati berkah kebudayaan yang hegemonik dan dominatif, terutama untuk melanggengkan kepentingan-kepentingan pragmatisnya, serta dengan cermat terus memainkan isu-isu temporer yang terkesan memihak rakyat banyak, atau terus membicarakan isu-isu elitis yang sama sekali tidak berkorelasi dengan semangat pemberdayaan perempuan. Sesekali memang tampak para elite agama mencoba melakukan pembelaan dan mengusung tema-tema yang seakan-akan membela perempuan, namun itu bersifat sementara, bukan pilihan yang serius dan strategis. Ini dibuktikan dengan gagalnya gerakan pemberdayaan perempuan menjadi isu bersama, sekaligus gagal mengalami masifikasi di tingkatan publik. Padahal dalam konteks masyarakat Indonesia, wilayah agama adalah sektor kunci yang apabila dimodifikasi dengan tepat akan bisa memangkas relasi gender yang timpang dan bisa menghilangkan struktur yang tidak memberikan kemungkinan bagi perempuan untuk beraktualisasi. Dan membiarkan wilayah ini dipenuhi oleh timbunan pemahamaan keagamaan yang misoginis, berarti sama saja dengan mengabadikan ketertindasan terhadap perempuan. Jalan Tengah Negara dan Agama Dalam konteks pemberdayaan terhadap perempuan, pada tingkatan suprastruktur, minimal ada empat masalah yang selama ini tidak diselesaikan dengan baik. Pertama, ketertindasan perempuan tidak terjadi alamiah dan bukan kodrat, tetapi karena tidak adanya kesadaran dalam diri perempuan bahwa ia harus menjadi subjek bagi kepentingan dirinya sendiri. Ia harus aktif membela hak-hak individualnya dan pada saat yang sama berpartisipasi dalam kemajuan dan peradaban. Kedua, ketidaksadaran perempuan bahwa dia ada dalam jalinan kebudayaan yang tidak adil. Bangunan relasi sosial-kemasyarakatan yang ia temui telah begitu rupa membatasi kebebasan ekspresionalnya. Ketiga, produksi kebudayaan bersekutu dengan struktur nalar keagamaan yang bias gender. Cara baca masyarakat terhadap doktrin agama yang antiperempuan menjadikan perlakuan yang diskriminatif dan mendapatkan legitimasi legal agama. Keempat, relasi negara dan agama, dalam watak pragmatisnya, juga mengeleminasi kemungkinan aktualisasi diri perempuan. Dua entitas -negara dan agama- menjalin suatu nalar otoriter yang menyungkup perempuan sebagai objek eksploitatif bukan patner partisipatif. Akibatnya perempuan merasa sudah kodrat dan takdir apabila dirinya menjadi warga masyarakat kelas dua, menjalankan kewajiban domestik, dan melakukan pekerjaan yang tidak berkaitan sama sekali dengan kebutuhan dan kepentingan dirinya. Negara harus menciptakan aturan formal yang bisa melindungi perempuan dari kekerasan baik fisikal, psikis, struktural, maupun kekerasan kultural. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi sementara sebelum mega proyek yang lebih besar dilakukan. Dan disinilah UU KDRT menemukan signifikansinya sebagai langkah awal yang baik dalam menciptakan perlindungan terhadap perempuan, yang idealnya kemudian ditindaklanjuti dengan produk hukum dan undang- undang perlindungan yang lebih komperhensif. Di saat yang sama negara harus memperluas kebijakan-kebijakan serupa yang berorientasi jangka panjang dan merupakan kerja kebudayaan, dengan harapan struktur-struktur yang dominatif secara bertahap mencair dan menjadi pro-perempuan, sehingga perempuan bukan hanya menjadi objek pasif yang terus-menerus diproteksi karena kelemahannya, namun perempuan menjadi aktif untuk mengadvokasi diri sendiri, karena menyadari akan hak-hak serta tanggung jawab yang harus dilakukan. Langkah di wilayah ini bisa dimulai dengan penguatan institusi pendidikan, menekan biaya sekolah, menyiapkan mata pelajaran yang mengikis watak misoginisme, mempersiapkan lembaga-lembaga keterampilan, memperkuat lembaga pendamping terhadap perempuan, dan menyediakan akses terbuka sepenuhnya bagi pengembangan potensi perempuan, termasuk lapangan pekerjaan, politik, dan sebagainya. Dan dalam pelaksanaan peraturan tersebut, negara bisa menggandeng institusi agama dan elitenya sebagai perpanjangan tangan ke masyarakat, mengingat mereka menguasai jaringan yang menyentuh langsung arus bawah. Dan tentunya diiringi dengan memperkuat aparat penegak peraturan dan kebijakan yang telah dirumuskan, mengingat banyaknya kegagalan penegakan hukum dan kebijakan disebabkan oleh lemah dan tidak konsistennya aparat. Sedangkan para elite agama, yang umumnya berada di pesantren dan menguasai lembaga-lembaga pendidikan, memiliki organ-organ majlis taklim dan lembaga-lembaga binaan otonom, akan sangat banyak membantu tugas negara, jika sejak dini menyadari bahwa wacana keagamaan harus memberi ruang gerak pada perempuan. Sudah saatnya masyarakat tidak hanya diajari pemahaman keagamaan melalui kitab-kitab klasik, yang kebanyakan mengalami distorsi dan merupakan tempat bersarangnya cara pandang yang diskriminatif, tetapi langsung diajak mempelajari pendapat Alquran terhadap perempuan, sekaligus bagaimana Nabi Muhammad SAW dan sahabat memperlakukan perempuan. Ini karena pada tingkatan doktrin primer, -Alquran dan Hadist- ternyata perempuan menempati posisi terhormat, dan secara pasti disediakan ruang-ruang terbuka bagi aktualisasi diri dan partisipasi yang tidak terbatas. Di zaman Nabi Muhammad SAW, perempuan juga menjadi pasukan tempur, meriwayatkan hadist, menghadiri majlis ilmu pengetahuan, melakukan misi perdagangan dan duta kenegaraan, serta mengerjakan tugas-tugas kemasyarakatan lainnya, yang semuanya itu menjadikan peranan perempuan dalam sejarah penyebaran dan penguatan Islam awal dicatat dengan tinta emas. Komentar (0) >> Tulis komentar Nama Email Website Judul Komentar Tambah Komentar Silahkan nyalakan javascript untuk menulis komentar