Secara literal UU itu masih ada karena waktu dibuat, mana ada orang muslim yg menjadi WN Inggris. Fenomena imigrasi muslim ke Eropa itu kan baru 20 tahunan terakhir. Dan sejak berdirinya kerajaan Inggris di th 1066 itu ya negeri Kristen.
Yang menjadi penyebab kejengkelan para imigran muslim sebenarnya bukan UU blasphemy karena jarang ditegakkan, karena saling menghujat diantara Kristen dan Yahudi sudah hampir tidak ada. Saya juga jarang mendengar orang Kristen dan Yahudi menghujat agama Islam. Nah banyak kasus yg terjadi malah hujatan dari muslim thd Kristen dan Yahudi. Terutama dari ulama radikal. Makanya pada mulai dipulangin. Saya tidak melihat apa persoalan dari Yg paling pelik ialah bahwa hujatan ini ada tertulis dalam Al-Qur'an. Ada gerakan di parlemen yg menginginkan agar kata2 hujatan thd Kristen dan Yahudi dalam Al-Qur'an itu dihapus atau diganti. Wah tentu aja pada ribut. Mana ada dalam Islam text Al-Qur'an dapat diubah. Ada juga sekolah milik kerajaan Saudi di Inggris yg ada text-book-nya mengandung kata2 'babi' bagi orang Nasrani dan 'monyet' bagi orang Yahudi. Pemerintah Inggris melalui Dep Pendidikan dg tegas meminta supaya buku itu diubah text-nya dg menghilangkan referensi spt itu. Tuduhan bahwa imigran muslim tidak menerima perlakuan non-diskriminatif boleh dikatakan pasti pendapat sepihak. Kalau memang masyarakat dan pemerintah Inggris begitu diskriminatif masa orang India, orang Polandia, orang Cina, orang Rusia pada sukses hidup dan berusaha di sini? Artinya ada suatu perkecualian dan barangkali spt yg saya sempat ungkapkan adanya resistansi dari imigran muslim utk beradapatasi. Contohnya makanan harus halal, pakaian harus tertutup, perempuan tidak gabung dg laki2, perempuan lebih rendah posisinya, dsb dsb. Dan ini semua bertentangan dg pola budaya mayoritas, pola berpikir sosial, sistem nilai, filosofi HAM dsb. Mengapa negara Inggris harus mengadopsi sistem syariat spt di Saudi Arabia? Tidak masuk akal kan? Kalau Inggris, Perancis, Jerman dsb harus menjadi negara syariat maka mereka tentu akan mundur kondisinya. Lha karena bukan syariat maka mereka maju dan dapat menampung mereka yg harus lari dari negara syariat demi ekonomi atau keselamatan nyawa mereka. Enggak ada tuh orang Inggris, Perancis dan Jerman dsb yg lari dari negara mereka karena dizalimi pemerintahannya. Saya kira upaya pemerintah Inggris utk merangkul imigran Islam sudah sangat banyak. Pernah Mendagrinya datang ke suatu daerah pemukiman imigran muslim, dia dihardik oleh salah satu hmmm, bersorban, berjanggut tidak berkumis, dsb .., "How dare you come to a muslim area!". Seluruh kontigen menteri bengong. Muslim area? Lho ini bukannya bagian dari Kerajaan Inggris dan saya kan mendagrinya. Jadi, siapa yg harus adaptasi? --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Wikan Danar Sunindyo" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > dari http://www.gatra.com/artikel.php?id=102619 > > Mau ngecek nih, Pak Dana ... > apakah benar undang2 blasphemy sudah tidak diberlakukan di Inggris? > kok di artikel ini terkesan masih diberlakukan buat agama Kristen dan > Yahudi, sehingga membuat iri kaum muslim di Inggris. > Lalu sorotan lagi, perkara British-born Muslim yang ditengarai Pak > Azyumardi sebagai kelompok yang paling rentan terhadap ekstrimisme dan > radikalisme. Jadi bukan migran asal Pakistan atau negara muslim > lainnya yang tidak tahu berterimakasih dan "ujug2" bikin bom > meledakkan Inggris. Silakan kalau ada yang mau diklarifikasi? > > wassalam, > == > wikan > http://wikan.multiply.com > > Muslim Inggris > > Jika Anda berkesempatan ke London dan juga kota-kota lain di Inggris > Raya, satu hal yang kelihatan sedikit mencolok adalah berlalu > lalangnya wanita-wanita muslim yang memakai hijab (jilbab). Anda bisa > temukan mereka di jalanan, di dalam underground, atau di tempat > perbelanjaan. Itulah fenomena yang disebut "Londonistan". Istilah ini > dengan sedikit bernada pejoratif mengingatkan orang kepada > negara-negara dengan akhir "istan", seperti Pakistan, Afghanistan, dan > Tajikistan, yang tentu saja merupakan kawasan kaum muslimin. > > Gejala seperti itu, pada satu segi, menunjukkan multikulturalisme yang > sering dibanggakan Inggris. Tetapi negara ini tetaplah negara Kristen > Anglikan. Dalam diskusi wakil-wakil Indonesia dalam United > Kingdom-Indonesia Islamic Advisory Group (UKI-IAG --badan bentukan > Pemerintah Indonesia dan Inggris yang diluncurkan di London pada 29-30 > Januari 2007) dengan pimpinan Gereja Anglikan di kompleks Archbishop > of Canterbury terungkap, Ratu Inggris adalah kepala negara dan > sekaligus "Supreme Governor" Gereja Anglikan. Menurut undang-undang, > doa secara Kristiani harus dilakukan setiap pagi di parlemen dan > sekolah-sekolah. Lagi pula, ketentuan undang-undang tentang penodaan > agama (blasphemy) hanya mencakup agama Kristen dan Yahudi; Islam tidak > termasuk di dalamnya. > > Inilah salah satu diskriminasi keagamaan yang banyak dikeluhkan kaum > muslimin Inggris. Belum lagi diskriminasi dalam kehidupan sosial, > budaya, ekonomi, dan politik. Dan perasaan terdiskriminasi itu menjadi > salah satu sebab kejengkelan sosial yang ketika berpadu dengan > faktor-faktor lain dapat mendorong kemunculan ekstremisme dan > radikalisme, khususnya di kalangan anak-anak muda muslim Inggris yang > terkontaminasi literalisme keagamaan yang disebarkan kalangan da'i, > khatib, dan imam garis keras yang dapat ditemukan di Inggris. > > Menurut sejarah, Islam sudah berlabuh di Inggris Raya sejak abad ke-9; > ini terbukti dengan temuan liontin bertuliskan "basmallah", juga > ditemukan pada abad ke-9 koin yang digunakan sejak abad ke-8 dengan > tulisan dua kalimah syahadat. Islam juga memiliki daya tarik bagi > kalangan kulit putih, yang kemudian memeluk Islam, antara lain Lord > Headley, baron kelima Headley yang juga seorang insinyur; William > Quilliam, penyair yang membangun masjid pertama di Inggris; dan > Marmaduke Pitchal, penerjemah Al-Quran ke dalam bahasa Inggris. > > Jelas, kebanyakan kaum muslimin Inggris merupakan keturunan para > imigran, terutama dari Anak Benua India. Gelombang migrasi kaum > muslimin ke Inggris terjadi setelah Perang Dunia II; dan sejak saat > itu, Islam menjadi agama yang tercepat pertumbuhannya, sehingga kini > menjadi agama terbesar kedua di Inggris Raya. Jumlah kaum muslimin, > menurut berbagai estimasi, adalah 1,8 sampai 3 juta jiwa, sekitar 2% > dari jumlah total penduduk Inggris. Menurut data, asal kaum muslimin > Inggris: 74% asal Anak Benua India, 11,6 % Kaukasian (kulit putih), > sekitar 7% kulit hitam, dan sisanya dari kalangan lainnya. > > Penting dicatat, menurut sensus penduduk 2001, sekitar 50% muslim > Inggris lahir di negara ini, menjadi British-born muslims yang > berbicara bahasa Inggris bukan dengan aksen India atau Pakistan, > melainkan Yorkshire atau London. Ternyata mereka inilah yang lebih > rentan terhadap pemahaman Islam secara literal, yang dapat berujung > ekstremisme dan radikalisme. Mereka dalam segi-segi tertentu dapat > juga disebut "born again Muslims", orang-orang muslim yang merasa > terlahir kembali sebagai muslim yang lebih taat dan lebih saleh, dan > siap dengan cara apa saja mengekspresikannya ke dalam lingkungan > masyarakat lebih luas. > > Kenapa demikian? British-born muslims secara sosiologis, kultural, > ekonomis, dan politis memang merupakan kelompok paling rentan. Sebagai > warga negara kelahiran Inggris, mereka wajar mengharap perlakuan yang > tidak diskriminatif dari pemerintah dan lingkungan masyarakat Inggris > lainnya. Tetapi realitas yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari > tidak sesuai dengan ekspektasi tadi, yang membawa mereka ke dalam > deprivasi sosial dan ekonomi. > > Pada tahap ini, mereka mencari pegangan dan ketenangan > batin-psikologis; dan ini dengan segera mereka temukan dalam Islam. > Kejengkelan dan kemarahan yang mereka pendam akhirnya berpadu dengan > literalisme keagamaan, yang menegasikan banyak orang, termasuk kaum > muslimin mainstream. Pada tangan mereka, Islam tidak hanya menjadi > sublimasi yang eskapistis dan eskatologis, sekaligus sebagai > justifikasi atas kemarahan mereka yang meluap-luap. > > Sebab itu, mengatasi gejala ekstremisme dan radikalisme di kalangan > young British-born muslims tidaklah mudah. Diseminasi pemahaman Islam > washatiyyah yang dominan di Indonesia kepada kalangan kaum muslimin > Inggris merupakan usaha amat baik. Namun, pada saat yang sama, > Pemerintah Inggris sepatutnya juga mengambil kebijakan-kebijakan > afirmatif untuk mengatasi berbagai masalah sosial, kultural, ekonomi, > dan politik yang menjadi sumber kemarahan anak-anak muda tersebut. > Wallahu a'lam bish-shawab. > > Azyumardi Azra > *Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan > anggota UK-Indonesia Islamic Advisory Group > [Kolom, Gatra edisi 15 Beredar Kamis, 22 Februari 2007] >