”Gebrakan Universitas Islam Sultan Agung”
12 Mar 2007 - 4:25 pm
 
Oleh: Adian Husaini 
 
 
Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang melakukan gebrakan
penting dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia. Sejak beberapa tahun
terakhir ini, Unissula gencar mengkaji dan mengaplikasikan budaya akademik
Islami. Berbagai seminar, kajian, dan pelatihan dilakukan. Tidak hanya itu.
Unissula juga mencoba mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari
di kampus. Shalat jamaah diwajibkan untuk dosen dan mahasiswa. Merokok di
kampus dilarang. 
 
 
Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Apalagi untuk kalangan dosen. Memaksa
semua dosen untuk melakukan shalat jamaah saat berada di kampus juga bukan
hal yang ringan. Unissula juga harus rela kehilangan dana-dana sponsor
ratusan juta rupiah yang berasal dari pabrik-pabrik rokok. Belum lagi
tindakan protes dari mahasiswa yang merasa dirugikan dengan peraturan itu. 
 
 
Mulai Maret 2007 hingga beberapa bulan ke depan, bekerja sama dengan
Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS),
Unissula juga menggelar serangkaian acara Studi Pengembangan Peradaban Islam
 Acara ini dimaksudkan untuk menggali lebih dalam seputar masalah keilmuan
Islam yang bisa diaplikasikan di perguruan tinggi Islam. 
 
 
Pada acara pembukaan, Rektor Unissula Dr. dr. Moh. Rofiq memaparkan visi dan
misi kampus Unissula. Universitas Islam ini didirikan pada tanggal 20 Mei
1962 M (16 Dzulhijah 1369 H) oleh Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung. Jadi,
termasuk kampus yang cukup tua di Indonesia. Rektor pertamanya adalah Mr.
Bustanul Arifin (Prof. DR. H Bustanul Arifin, SH), seorang pakar dan pejuang
syariah Islam terkenal di Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Muda
Mahkamah Agung bidang Peradilan Agama. 
 
 
Visi Unissula, sebagaimana disebutkan dalam website-nya, www.unissula.ac.id,
sangat jelas, yaitu membangun generasi khaira ummah (ummat terbaik), melalui
upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi atas dasar nilai-nilai
Islam dan membangun peradaban Islam menuju masyarakat sejahtera yang
dirahmati Allah SWT dalam kerangka rahmatan lil a’lamin. Sedangkan misi
Unissula adalah menyelenggarakan pendidikan tinggi Islam dalam rangka dakwah
Islamiyah yang berorientasi pada kualitas dan kesetaraan universal. 
 
 
Geliat kampus Unissula Semarang dalam upaya membangun peradaban Islam ini
perlu menjadi renungan kita semua. Sebab, bukan rahasia lagi, bahwa saat ini
begitu banyak kampus yang membawa label Islam yang terkadang justru tidak
mengembangkan tradisi keilmuan Islam. Di kampus-kampus ini, ilmu-ilmu Barat
dikaji dengan serius; fakultas-fakultas umum berkembang dan dijejali
mahasiswa; tetapi sebaliknya, fakultas agama Islam justru sepi peminat.
Bahkan, ada yang sudah gulung tikar. Lebih menyedihkan lagi, begitu banyak
kampus Islam yang dosen dan mahasiswanya justru aktif mengembangkan
pemikiran yang merusak Islam. Namanyakampus Islam, tetapi isinya bukan Islam
lagi. 
 
 
Untuk mempertahankan eksistensi Fakultas Agama Islam, Unissula bahkan rela
mengucurkan beasiswa bagi sejumlah mahasiswanya. Para mahasiswa dipilih dari
kalangan santri yang berkualitas, terutama yang hafidz Al-Quran. Bukan
rahasia lagi, Fakultas Agama Islam sepi peminat, karena dipandang tidak
menjanjikan hari depan, atau susah cari kerja yang layak. Para mahasiswa
rela bayar ratusan juta rupiah untuk memasuki Fakultas Kedokteran, tetapi
enggan memasuki bidang studi Islam, meskipun gratis kuliahnya. 
 
 
Di sinilah para dosen agama saat ini ditantang untuk mengubah citra Fakultas
Agama Islam agar tidak kalah dengan Fakultas Umum. Dosen-dosen agama
haruslah orang yang cerdas, sangat mencintai ilmu, memiliki semangat dakwah
dan akhlak yang tinggi, sehingga mereka bisa menjadi teladan bagi
dosen-dosen bidang studi lain. Studi Islam di satu kampus Islam haruslah
menjadi induk dari bidang studi yang lain. Sebenarnya sangat aneh, jika satu
kampus membawa label Islam, tetapi justru studi Islamnya tidak dikembangkan.
Padahal, kaum Yahudi dan Kristen saat ini sangat getol mengambangkan studi
Islam. 
 
 
Salah satu ciri tradisi keilmuan Islam adalah menyatukan antara ilmu dan
amal, antara ilmu dan akhlak. Maka di dalam Islam, jika ada ilmuwan/ulama
yang fasik atau rusak amalnya, dia tidak diterima sebagai bagian dari ulama
Islam. Para imam mazhab adalah orang-orang yang berilmu dan berakhlak tinggi
 Seorang yang berilmu Islam wajib mengamalkan ilmunya.
 
 
Dalam salah satu syair populer di kalangan santri yang tercantum dalam Kitab
Zubad ialah: ”Wa ’aalimun bi ’ilmihi lam ya’malan, mu’adzdzabun min qabli
’ubbadil watsan.” (Dan orang yang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya,
maka dia akan diazab oleh Allah sebelum penyembah berhala). 
 
 
Sudahkah kampus-kampus Islam mendidik mahasiswanya agar menjadi orang yang
berilmu tinggi dan beramal shalih? Jika belum, maka cita-cita Unissula perlu
diperhatikan. Kampus-kampus Islam didirikan oleh para pendirinya dengan niat
yang mulia, untuk mencetak ilmuwan atau ulama Islam yang baik; bukan untuk
melahirkan ilmuwan jahat; bukan ulama as-su’ (ulama jahat). Sebab, lahirnya
ulama jahat merupakan pertanda kerusakan besar di dalam Islam. Abu Darda’,
seorang sahabat Nabi Muhammad saw, menyatakan, bahwa yang paling beliau
takutkan adalah jika nanti di Hari Akhirat, Allah memanggilnya dan
menanyakan: ”Apa yang telah kamu lakukan dengan apa yang telah kamu
ketahui?” (HR Baihaqi). 
 
 
Rasulullah saw juga bersabda: ”Hendaklah kalian saling menasehati dalam hal
ilmu. Sesungguhnya pengkhianatan seseorang terhadap ilmunya lebih berbahaya
daripada pengkhianatannya terhadap hartanya. Dan sesungguhnya Allah akan
menanyai kalian semua pada hari kiamat nanti.” (HR ath-Thabrani). 
 
 
Kecenderungan memisahkan ilmu dari amal dalam studi Islam model orientalis
sangat perlu menjadi perhatian kaum Muslim dewasa ini. Dari hari ke hari di
kampus-kampus Islam semakin berjubel alumni studi Islam di Barat yang
terkadang membawa tradisi pemisahan ilmu dan amal. Banyak guru dari para
dosen itu adalah para orientalis yang pandai tentang ilmu-ilmu keislaman
tetapi tetap tidak beriman kepada Islam. Mereka pandai tentang Al-Quran
tetapi tetap tidak mengimani Al-Quran sebagai wahyu Allah. Mereka pandai
tentang sejarah Nabi Muhammad saw, tetapi tetap tidak mengimani kenabian
Muhammad saw. Karena itu, para orientalis juga mendidik para sarjana Muslim
agar menjadi pengamat agama yang baik, tanpa harus menjadi orang yang
beragama yang sungguh-sungguh. 
 
 
Karena mengikuti ’framework’ orientalis itu, tidak heran, jika banyak alumni
studi Islam di Barat yang begitu rajin mengkritik para ulama Islam, dengan
bungkus ”studi kritis”. Mereka rajin mengkritik Al-Quran, hadits, Imam
Syafii, dan sebagainya, tetapi sangat hormat dan sama sekali tidak kritis
pada para pemikir Barat. Banyak juga yang melakukan spionase intelektual
dengan membongkar-bongkar kondisi umat dan lembaga-lembaga Islam, atas nama
penelitian ilmiah.
 
 
Dan itu sangat wajar, karena beasiswa yang diberikan bukannya gratis begitu
saja. Ada misi yang dititipkan, meskipun tidak mesti dipatuhi oleh tiap
mahasiswa. Maka, bagi mahasiswa yang merasa berhutang budi atau melihat
Barat sebagai kiblat hidup dan pemikirannya, sudah barang tentu akan
mengabdikan hidup dan pemikirannya kepada tuannya. 
 
 
Tentu saja itu bukan salah negara-negara dan lembaga-lembaga Barat semata.
Sangat bisa dipahami jika mereka ingin menghegemoni pemikiran umat Islam
dengan cara menyiapkan pusat-pusat studi Islam yang canggih sekaligus
beasiswa bagi para mahasiswa dari negara-negara Muslim. Wajar, kalau pemberi
beasiswa mengharapkan imbalan. Para kader didikan mereka akan menjadi corong
efektif untuk melestarikan hegemoni mereka dalam berbagai bidang. Tidak
perlu mereka yang turun sendiri mengajarkan liberalisme kepada umat Islam.
Akan jauh lebih efektif jika yang mengajarkan liberalisme adalah hasil
didikan mereka. Apalagi, segala sesuatunya sudah disiapkan - uang, kedudukan
 fasilitas, kehormatan – baik ketika belajar maupun setelah tamat belajar. 
 
 
Karena itu sudah saatnya kita peduli dan mengoreksi sikap kurang peduli umat
Islam pada umumnya terhadap sektor studi Islam itu sendiri. Saat ini, Barat
sedang gencar-gencarnya melatih para sarjana dari kalangan Muslim untuk
dididik dalam studi Islam, untuk nantinya diterjunkan ke tengah-tengah umat
Islam. Adalah aneh bin ajaib jika umat Islam masih terus bersikap tidak
peduli dan membiarkan mengalirnya ribuan sarjana Muslim untuk belajar Islam
kepada kaum Yahudi dan Kristen. Jika ini tidak dibenahi, maka akan terjadi
kehancuran pemikiran dan peradaban Islam yang sangat besar. Fitnah besar
akan muncul dan mustahil peradaban Islam akan bisa dibangun. 
 
 
Dalam pidato pembukaannya saat acara Studi Pengembangan Peradaban Islam di
Unissula tersebut, Direktur INSISTS, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, menguraikan
karakter dan sejarah pertumbuhan peradaban Islam, proses bangun-jatuhnya,
serta bagaimana strategi untuk membangunnya kembali dalam situasi saat ini.
Upaya membangun peradaban Islam mesti dimulai dari membangun ilmu
pengetahuan Islam ; dan kampus Islam adalah lembaga yang strategis untuk
membangun peradaban Islam. 
 
 
Dijelaskan oleh Dr. Hamid Zarkasyi, peradaban Islam dalam sejarahnya tumbuh
dan berkembang berlandaskan ilmu pengetahuan. Maka membangun kembali
peradaban Islam yang sudah nyaris roboh adalah dengan menegakkan kembali
bangunan ilmu pengetahuan yang menjadi pondasi peradaban Islam tersebut.
Menegakkan bangunan ilmu pengetahuan maksudnya tidak lain adalah dengan
membangun kembali pola pikir manusia sejalan dengan prinsip-prinsip ilmu
pengetahuan dalam Islam.
 
 
Jadi membangun peradaban Islam pada dasarnya bukan membangun sarana dan
prasarana fisik yang diberi label Islam, akan tetapi dengan mereorientasikan
kerangka kerja (framework) pemikiran umat Islam. 
 
 
Karena posisi pemikiran dan peradaban Islam saat ini sedang terhegemoni oleh
peradaban Barat, maka dalam rangka merumuskan ilmu pengetahuan Islam, para
ilmuwan Muslim perlu memahami apa sebenarnya peradaban Barat. Karena itulah,
dalam studi pengembangan peradaban Islam di Unissula kali ini, dibahas
beberapa tema tentang peradaban Barat, seperti sejarah peradaban Barat,
ekonomi Barat, sumber dan metode keilmuan Barat, serta karakter sains Barat.
Materi-materi itu akan dibawakan oleh sejumlah pakar dari Indonesia dan
Malaysia. 
 
 
Di hadapan sekitar 200 pimpinan kampus dan dosen-dosen Unissula, Hamid
Zarkasyi, yang juga wakil Rektor III Institut Studi Islam Darussalam (ISID)
Gontor ini juga meyakinkan, bahwa Islam adalah satu peradaban yang khas yang
memiliki pandangan hidup (worldview) yang berbeda dengan peradaban mana pun.
Tetapi, Islam tidak pernah apriori untuk menolak unsur-unsur dari peradaban
asing yang tidak merusak pandangan hidup Islam. 
 
 
Karena itulah, Hamid mengajak segenap akademisi Muslim untuk tidak silau dan 
anti-pati terhadap Barat. “Banyak yang dapat kita ambil dari peradaban Barat. 
Tetapi bukan pandangan hidupnya,” ujarnya. Usai ceramah umum oleh Direktur 
INSISTS tersebut, acara dilanjutkan dengan studi intensif yang diikuti sekitar 
75 orang pimpinan Unissula. Tampak hadir dalam acara ini Rektor Unissula dan 
para wakil rektor, para dekan, pembantu dekan I, dan dosen-dosen agama 
Unissula. Ini menunjukkan, bahwa pimpinan Unissula sangat serius untuk 
melakukan pengembangan peradaban Islam. Sehingga para pimpinan kampus itu 
sendiri terjun langsung dan memberi contoh. [Depok, 8 Maret 2007/hidayatullah]

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke