Yth. Mba' Mia, Mba' Ning dan teman-teman lainnya,

Soal bunyi Qanun tentang Jilbab di Aceh tidak ada perse kalimat 
tentang jilbab, kerudung, atau lainnya, tetapi hanya tertulis setiap 
muslim wajib menggunakan pakaian/busana muslim.

Soal hukuman, seperti yang sudah beberapa kali saya sampaikan, kalau 
pertamakali ditangkap bagi yang tidak mengenakan jilbab akan di 
catat IDnya, diperingatkan, diceramahi, lalu kalau kedua kali 
ditangkap akan di"investigasi", lalu ketangkap ketika kali ya akan 
di hukum cambuk. Hukum Cambuk tehadap pelangaran qanun dilakukan 
dengan suatu alat yang dibuat dai rotan yang berdiameter 0.75 sampai 
dengan 1 centimeter dan panjangnya satu meter dan tidak mempunyai 
ujung ganda. 

Seingat saya, dulu juga saya sudah pernah mempertanyakan, kalau dulu 
Nabi saja tidak pernah menghukum perempuan tidak berjilbab, lho kok 
sekarang malah ada "tuhan-tuhan" baru yang mengatasnamakan Islam 
dengan mencambuk perempuan tidak berjilbab??

Kalau pelaksanaan ajaran Islam (dalam perda-perdanya)tidak bersifat 
mengayomi muslimah yang tidak berjilbab maupun membatasi kesempatan 
perempuan yang mandiri untuk mencari rizki halal (seperti kasus 
perda di Padang dan Tangerang yang membatasi jam malam perempuan), 
bisa-bisa kemunduran akan dialami banyak kaum muslimah. 

Terus terang saya melihat perda yang membatasi jam malam itu 
merugikan pekerja perempuan yang harus bekerja di malam hari, baik 
itu buruh, pekerja di pasar, dan juga yang melakukan pekerjaan 
dibidang kreatif lainnya seperti di bidang media, broadcasting, dll.
Tapi jangan lalu dibalik dengan kata-kata: "Itulah makanya Islam 
melindungi perempuan supaya tidak bekerja 
malam...bla..bla..bla...." --> kalimat seperti ini tidak menjawab 
kondisi riil yang ada, karena dalam kenyataannya bagaimana jutaan 
buruh perempuan bisa meningkatkan taraf hidupnya kalau jama malam 
dibatasi?? Lalu kalau dikembalikan lagi dengan jawaban: "Untuk itu 
persoalan perempuan yang harus memikirkan ya saudara laki-lakinya, 
bapaknya, ataupun suaminya" --> nah ini makin tidak realistis lagi, 
makin tidak memberikan jawaban nyata, malah seperti bermain kata-
kata. Apalagi kalau jawabannya seperti jawaban penjual obat 
jamu: "Semua persoalan perempuan, negara yang harus bertanggung 
jawab atau mengurus" :(( --> ini kan makin jawaban tidak empati 
dengan kenyataan yang ada! Seperti hidup di awang-awang, tidak 
membumi, tidak riil.

Wassalam

Lestari



--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Mia" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Kalo gitu bisa tanya mba Lestarin, qanun atau Perda dibeberapa 
> daerah bunyinya apa, jilbab, kerudung, atau khimar?  Sanksinya 
dari 
> ditegur sampai hukum cambuk..(jangan2 di Aceh malah blum ada 
> qanunnya ni....kok gw pernah denger rumor kayak gini). Faktanya 
mba 
> Ning, pake kerudung bisa jadi alasan diciduk dan dinasehatin juga 
di 
> Aceh, habis nggak sesuai syariat, wong jilbab funky aja dah diusir 
> dari mesjid atawa ditegur WH.
> 
> Nggak lah mba Ning, sebutan kita untuk jilbab adalah untuk ini, 
dan 
> kerudung adalah yang ini.  Tapi katakanlah kerudung itu 'jilbab', 
> lalu apa reaksi kita pada sanksi kerudung (jilbab) ini?
> 
> salam
> Mia
> 
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Tri Budi Lestyaningsih 
> \(Ning\)" <ninghdw@> wrote:
> >
> > 
> > DI perda jilbab itu, apa sangsinya kalau tidak berjilbab ? 
Anyway,
> > maksudnya bukan berjilbab 'kali ya.. Tapi berkerudung. Orang 
> Indonesia
> > soalnya menyebut jilbab itu sebenarnya khimar (kerudung). Betul 
> gak ? 


Kirim email ke