Pak HMNA, di terjemahan Al Quran dari Depag tidak tercantum bahwa hukuman dharaba itu hanya atas tindakan penyelewengan yang menjurus pada selingkuh, namun masih bisa diperbaiki. Dalam terjemahan tersebut tertulis
"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka ..." Sementara Nusyus sendiri dimaknai sebagai "meninggalkan kewajiban bersuami istri, Nusyus dari pihak istri, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya". Kalau menurut saya, meninggalkan rumah tanpa izin suami tidak selalu berarti penyelewengan yang menjurus selingkuh. Jadi pengertian Bapak tentang pembatasan dharaba hanya dilakukan pada tindakan penyelewengan yang menjurus selingkuh ini berdasar apa? Mohon penjelasannya. wassalam, -- wikan http://wikan.multiply.com On 4/5/07, H. M. Nur Abdurrahman <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Memang sengaja saya lebarkan pada masalah sanksi keras, sebab rupanya > dharaba, yang ditasrifkan (dikonyugasi) menjadi bentuk fi'il amar > (imperative) idhrib, diturnkan porsinya menjadi lunak, itu tidak membawa > efek bagi pendidikan masyarakat. Artinya melunakkan sanksi demi alergi > terhadap "keras", meringankan individu terpidana, tetapi tidak membawa efek > pada masyarakat. Sebaliknya dengan pemahaman tekstual yang dainggap "keras" > itu, memang memberatkan individu terpidana, tetapi membawa efek postif bagi > masyarakat, itulah esensinya rahmatan lil 'alamin. Sanksi dharaba atas > seorang isteri tidak sembarang dilakukan, hanya atas tindak penyelewangan > yang menjurus kepada selingkuh, namun masih bisa diserbaiki. Dengan > menurunkan porsi dharaba menjadi lunak "'leave her alone", itu tidak akan > memberikan efek apa-apa. Berikut saya kemukakan apa yang dirasakan oleh > grass-root dari desa Padang, desa percontohan Syari'ah di Kabupaten > Bulukumba, tentang sanksi keras dan memalukan bagi terpidana yang kena > sanksi dera karena masbuk: (boleh jadi kata dera ini diadopsi dari dharaba).