Ini salah satu contoh dimana ketika merujuk kepada Qur'an dengan surat
dan ayat yang sama tapi menghasilkan multi tafsir yang berbeda-beda
bahkan ebrtolak belakang.

Dan Abah adalah orang yang berpendapat bahwa kepemimpinan perempuan
diwilayah publik adalah haram dengan mengangkat kasus gagalnya
kepemimpin siti Aisyah ra terhadap pasukanya dalam penyerangan
terhadap pihak Ali ra.

Hanya saja apakah benar bahwa kepemimpinan Siti Aisyah di anggap gagal
hanya karena sebuah kekalahan dimedan tempur??? adakah kita bisa
mengetakan bahwa Napoleon Bonaparte adalah pemimpin yang gagal hanya
karena kekalahanya dalam sebuah peperangan?? Apakah Jend. Sudirman
adalah panglima dengan kepemimpinan yang gagal karena tidak bisa
memenangkan pertempuran melawan belanda??

Kalau pendapat saya Abah, inilah yang dipertanyakan Pak Ary...mengapa
semua hanya dilihat dari sudut pandang laki-laki saja??;)

Dari sudut pandang saya sebagai seorang perempuan, justru melihat
bagaimana suksesnya seorang Siti Aisyah ketika dizamanya perempuan
masih berada dibawah nilai laki-laki mampu menghimpun kekuatan sebuah
pasukan yang besar.

Siti Aisyah mampu menunjukan sifat kepemimpinan yang besar terbukti
begitu banyak gabungan tentara yang ikut dalam pasukanya, Siti Aisyah
pun mampu membuktikan bahwa perempuan bisa memiliki kesetaraan dan
kemampuan yang sama dengan laki-laki di wilayah publik.

Dan argumentasi Abah ini bisa dengan mudah di patahkan dengan data2
dan fakta sejarah bagaimana ratu Seba mampu mensejahterakan rakyatnya,
begitu juga ratu Tribuana Tungga Dewi, Ratu Campa, Kepemimpinan Ratu
Elizabeth I, II. Kepemimpinan Ratu Bethrik, Kepemimpinan Margareth
Teacher etc.

--- In [EMAIL PROTECTED], "H. M. Nur Abdurrahman"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Dari file lama.
> Wassalam,
> HMNA
> *************************************************************
> 
> BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
> 
> WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
> [Kolom Tetap Harian Fajar]
> 640 Perang Unta dan Kepemimpinan Perempuan
> 
> Saat Nabi Muhammad SAW mendengar kabar suksesi kekaisaran Persia kepada
> putri Kaisar, beliau bersabda:
> -- Lan Yufliha Qawmun Wallaw Amrahumu Mraatan [H.R. Bukhariy], artinya:
> Sekali-kali tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan
mereka kepada
> perempuan. Hadits ini, seperti dinyatakan oleh Imam Ibn Hajar,
diungkapkan
> berkaitan dengan hadits-hadits lain tentang kisah
kesewenang-wenangan Kaisar
> Persia. Ia kemudian di kudeta dan dibunuh, dan kemudian terjadi
pelimpahan
> kekuasaan ketangan puteri Kaisar. Dalam pandangan Muhammad al-Syawaribi,
> hadits tersebut tidak bisa dijadikan rujukan untuk hal yang ilzamiyah
> (normatif), karena diriwayatkan secara ahad (individual). Hadits
ahad hanya
> bersifat ikhbariyah (informatif), sehingga tidak memiliki
konsekwensi hukum
> apapun. Dalam kaidah Ushul Fiqh untuk hal-hal yang sangat prinsip yaitu
> ilzamiyah, haruslah berlandaskan kepada teks yang diriwayatkan secara
> mutawatir (kolektif).
> 
> Dalam penelusuran DR. Wahbah al-Zuhaili, tak ditemukan satupun ulama
> terdahulu yang membenarkan kepemimpinan perempuan dalam konteks di
bidang
> politik. Dikatakan bahwa ulama Islam telah konsensus (ijma') dengan
> pernyataan bahwa kelelakian merupakan salah satu syarat utama bagi
> kepemimpinan tertinggi dalam lapangan politik (alFiqh alIslami, VII:
6179).
> Sementara pemikir Islam kontemporer juga tidak sedikit yang
menyuarakan hal
> yang sama. Sebutlah misalnya Syah Waliyullah alDahlawi, alMawdudi
dan yang
> lain. Dengan demikian, berarti bahwa perempuan dalam pandangan Syari'ah
> tidak dibenarkan untuk menduduki kepemimpinan politik tertinggi.
Jamaluddin
> Al Afghani dalam bukunya yang berjudul 'Aisyah wa alSiyasah, menulis
secara
> lengkap tentang biografi St Aisyah dan mencoba memberikan nasehat bagi
> generasi mendatang tentang keberadaan perempuan dalam politik praktis.
> 
> Itu dalam wacana. Bagaimana di lapangan?
> 1. Kenyataan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak menyerahkan kepemimpinan
beliau
> kepada puteri beliau, Siti Fathimah, ataupun kepada Ummu lMu'minin St
> 'Aisyah yang keduanya-duanya adalah cerdas dan bijak. Keduanya
memang cerdas
> dan bijak dalam konteks ukuran keseharian, namun bukan dalam konteks
bidang
> siyasah (politik).
> 2. Siti 'Aisyah, walaupun sukses dapat memimpin puluhan ribu pasukan
perang
> di bawah kendali perintahnya, tetapi ujung-ujungnya beliau kalah, karena
> tidak matang menterjemahkan situasi politik sebagai dasar untuk
bertindak.
> St 'Aisyah menunjukkan terpuruknya peran perempuan di wilayah
politik, yaitu
> menarik sekelompok orang untuk membangkang dan terjun ke dalam perang
> memimpin sebuah pasukan yang menentang keabsahan khalifah keempat,
'Ali bin
> Abu Thalib. Peperangan ini terjadi di Basrah pada hari Ahad 12
Jumadil Akhir
> 36 H / 4 Desember 656 M. menentang khalifah 'Ali bin Abi Thalib.
> 
> Ketika Khalifah 'Utsman bin Affan wafat, warga Madinah dan tiga
pasukan dari
> Mesir, Basrah dan Kufah bersepakat memilih 'Ali bin Abu Thalib sebagai
> khalifah baru. Sebermula beliau menolak penunjukan itu. Namun semua
mendesak
> untuk memimpin ummat. Pembaiatan beliaupun berlangsung di Masjid Nabawi.
> Sebagai Khalifah beliau mewarisi pemerintahan yang sangat kacau. Juga
> ketegangan politik akibat pembunuhan Khalifah ketiga, 'Utsman bin Affan.
> Keluarga Umayyah menguasai hampir semua kursi pemerintahan. Dari 20
gubernur
> yang ada, hanya Gubernur Iraq yaitu Abu Musa Al Asyari yang bukan
keluarga
> Umayyah. Mereka menuntut Khalifah 'Ali bin Abu Thalib untuk mengadili
> pembunuh Khalifah 'Utsman. Tuntutan demikian juga diajukan St
'Aisyah. Namun
> Khalifah berpandangan bahwa pengadilan sulit dilaksanakan sebelum
situasi
> politik reda. Khalifah bermaksud menyatukan negara lebih dahulu.
Untuk itu,
> beliau mendesak Muawiyah bin Abu Sofyan, Gubernur Syam, yang juga
pimpinan
> keluarga Umayyah untuk segera berbaiat kepadanya.
> 
> Muawiyyah menolak berbaiat sebelum pembunuh Khalifah 'Ustman
dihukum. Bahkan
> Muawwiyah menyiapkan pasukan dalam jumlah besar untuk menentang
Khalifah.
> Maka Khalifah segera menyusun pasukan. Khalifah berangkat ke Kufah,
wilayah
> yang masyarakatnya mendukung Khalifah. Beliau tinggalkan ibu kota
Madinah
> sepenuhnya. Sementara itu St 'Aisyah, telah bergerak memimpin 30 ribu
> pasukan dari Makkah. Pasukan Khalifah yang semula diarahkan ke Syam
terpaksa
> dibelokkan untuk menghadapi pasukan St 'Aisyah, yang memimpin pasukannya
> dalam tandu tertutup di atas unta. Banyak pasukan juga mengendarai unta,
> sehingga pasukan itu dari pihak St 'Aisyah disebut Ashhab alJamal
(Pasukan
> Unta). Maka perang itu disebut Perang Unta. St 'Aisyah tertawan setelah
> tandunya penuh dengan anak panah. Adapun dari pihak Khalifah 'Ali
pasukan
> 'Aisyah disebutnya An Nakits (N-K-TS), yang diambil dari Firman Allah:
> -- FMN NKTS FANMA YNKTS 'ALY NFSH (S. ALFTh, 48:10), dibaca:
> -- faman nakatsa fainnama- yankutsu 'ala- nafsihi-, artinya
> -- barangsiapa yang menebas (bai'ah), maka (bahaya) penebasannya atas
> dirinya sendiri.
> 
> Kerugian peperangan itu sangat besar.
> -- Pertama, kerugian jiwa, yaitu dari pihak St 'Aisyah sejumlah
16,796 orang
> terbunuh, dan dari pihak Khalifah 1,070 orang.
> -- Kedua, perpecahan mazdhab, mereka para penyokong St 'Aisyah dan
Muawiyah
> disebut Ahlussunnah, dan para penyokong Khalifah disebut Syi'ah (partai)
> 'Ali, dan yang menyedihkan ialah yang pada mulanya hanya berupa mdzhab
> politik, namun ujung-ujungnya menjadi madzhab theologi, yaitu Madzhab
> Ahlussunnah dan Madzhab Syi'ah (tanpa menyebutkan 'Ali lagi).
> 
> ***
> 
> Ala kulli hal, dalam Hadits yang telah dikutip di atas, ungkapan "urusan
> mereka" (Amruhum), adalah urusan dalam konteks kancah politik. Alhasil,
> tidak akan beruntung kaum yang mendiami sebuah negeri, tidak terkecuali
> Indonesia ini, jika dipimpin oleh perempuan dalam urusan politik.
Sedangkan
> St 'Aisyah yang begitu cerdas dan bijak dalam kehidupan keseharian, akan
> tetapi gagal dalam kepemimpinan politik, maka betapa pula oleh perempuan
> yang biasa-biasa saja. WaLlahu a'lamu bisshwab.
> 
> *** Makassar, 29 Agusutus 2004
>        [H.Muh. Nur Abdurrahman]
> 
> #######################################################
> 
> 
> 
> ----- Original Message ----- 
> From: "Chae" <[EMAIL PROTECTED]>
> To: <[EMAIL PROTECTED]>
> Sent: Thursday, April 12, 2007 18:32
> Subject: [wanita-muslimah] Re: Versi Baru Terjemahan "wadhribuu hunna"
> (An-Nisa 34) => sanksi keras membawa
> 
> 
> > Pak Satriyo,
> >
> > Ada satu statemen dari anda yang saya pikir mengandung satu ketidak
> > jelasan bahkan cenderung membingungkan seperti slogan tentang kembali
> > kepada Qur'an dan hadis. Dan kalau kita tanya lebih lanjut maka Qur'an
> > yang mana yang dijadikan rujukan??? dan hadis yang mana yang dijadikan
> > rujukan??
> >
> > Saya mencoba memberikan satu contoh agar lebih menjelaskan apa yang
> > saya maksudkan, contohnya begini dalam teks Surat An Nisa' ayat 34: Ar
> > Rijaalu Qawwaamuuna 'alaa An Nisaa' yang diartikan secara zakelijk
> > "laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan". Selain itu juga ada
> > hadits Nabi saw : Lan yufliha qaumun wallau amrahum imra'atan (Tidak
> > akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan).
> >
> > Dalam kajian khasanah Islam dalam pendapat Ulama mujtahid empat mazhab
> > (Syafi'i, Hambali, Hanafi dan Malik) bahwa haram hukumnya seorang
> > perempuan menjadi pemimpin berdasarkan ayat Qs.4:34.
> >
> > Di dalam kitab Minhaj al-Thalibin, misalnya, salah satu rujukan utama
> > tradisi pesantren yang ditulis oleh Imam al-Nawawi al-Dimasyqi (676
> > H), disebutkan bahwa syarat-syarat pemimpin tertinggi (imamat al-uzma)
> > adalah muslim, bukan budak, dari suku Quraisy, orang dewasa, berjenis
> > kelamin laki-laki dan cerdas. Ketika mengomentari pernyataan ini
> > Khathib al-Syarbini menegaskan bahwa kelelakian adalah merupakan
> > syarat mutlak untuk kepemimpinan tertinggi. Alasannya, hanya laki-laki
> > yang bisa bergumul dengan politik yang nota bene dianggap sebagai
> > dunia laki-laki. Alasan lain adalah teks hadis yang melarang
> > kepemimpinan perempuan (Mughni al-Muhtaj, IV:129).
> >
> > Tetapi disisi lain banyak dari tokokh ulama mujtahid yang menyatakan
> > bolehnya atau halalnya seorang perempuan menjadi pemimpin berdasarkan
> > Qs.4:34 seperti misalnya:
> >
> > Ibn Khaldun, penulis kitab al-Muqaddimah kepemimpinan perempuan, yang
> > saat ini telah menjadi suatu keniscayaan, bahkan kemaslahatan
> > masyarakat banyak. Banyak perempuan yang nyata-nyata memiliki
> > kelayakan untuk mengelola pekerjaan-pekerjaan politik, sama seperti
> > laki-laki.
> >
> > Pendekatan literal dengan melakukan penggalian makna kembali terhadap
> > literasi teks ayat 34, dari sura al-Nisa. Ia mencoba menelusuri dan
> > mengurai akar-akar kata yang digunakan dalam ayat tersebut, untuk
> > kemudian menawarkan pemaknaan baru yang berbeda dengan pemaknaan yang
> > telah berkembang sebelumnya. Misalnya, qawwam tidak berarti pemimpin,
> > tetapi pengayom atau pengelola, seperti yang ditawarkan oleh Muhammad
> > Abduh dan Abdullah Yusuf Ali. Menurut mereka ayat tersebut sama sekali
> > tidak bisa dijadikan rujukan untuk keharusan kepemimpinan laki-laki
> > terhadap perempuan.
> >
> > Dalam beberapa literatur fiqh disebutkan bahwa Imam Ibn Jarir
> > al-Thabari memilih pandangan yang membenarkan kepemimpinan perempuan.
> >
> > Dan anda sendiri mungkin tahu banyak bagaimana konflik terjadi ketika
> > pertama kali megawati mencalonkan diri menjadi presiden, dan seperti
> > NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi islam terbesar di Indonesia
> > memberikan dukunganya kepada Megawati pada waktu itu.
> >
> > Sekarang anda bisa melihat apa yang saya maksudkan Pak Satriyo bahwa
> > ada grey area ketika slogan untuk kembali kepada Al-Qur'an dan hadis
> > di canangkan...karena kembali memuat pertanyaan lama...Qur'an yang
> > mana dan hadis yang mana?? apakah benar2 bisa melihat Qur'an dan hadis
> > lepas dari emosi dan kepentingan si penafsir??;))
> >
> >
> > --- In [EMAIL PROTECTED], "satriyo" <efikoe@> wrote:
> > >
> > > Bu Chair,
> > >
> > > Soal liberalisme, apakah sejauh ini bu Chair memang tahu persis apa
> > > itu? Saya tidak akan berusaha membela diri, tapi dari sejumlah
kajian
> > > dan diskusi juga bahan referensi baik di internet maupun media
cetak,
> > > liberalisme Islam adalah benda yang masih fuzzy, karena yang pertama
> > > menggulirkannya adalah Charles Kurzman dan dia tidak secara jelas
> > > memberikan definisi islam liberal itu apa tapi hanya memberikan
> > > daftar siapa saja yang menurut dia bisa digolongkan ke terminologi
> > > ini.
> > >
> > > lalu dalam perjalannya, itstilah itu lalu diadop oleh mereka yang
> > > merasa bahwa islam itu butuh didekonstruksi, harus ada
> > > reinterpretation atas apa yang selama ini dianggap baku. nah, yang
> > > jadi masalah adalah sikap mereka ini kemudian dianggap keterlaluan
> > > dan keblinger karena sampai pada taraf menggugat otoritas Hadis dan
> > > Quran. Tidak jarang mereka mempermainkan makna yang dimaksud oleh
> > > sebuah hadis atau ayat quran sehingga sesuai dengan keinginan
mereka.
> > > lihat postingan saya terakhir tentang 'ayat pluralisme'.
> > >
> > > jadi apa yang saya sampaikan baik eksplisit dan implisit itu bukan
> > > tanpa dasar dan bukan pula semata emosi buta. tidak sama sekali.
mari
> > > kalo berkenan Bu Chair hadir tiap hari Sabtu, pukul 10.00 hingga
> > > selesai, partisipasi dalam diskusi seputar masalah ini, sekulerisme,
> > > pluralisme dan liberalisme (sepilis). apa yang tengah terjadi ini
> > > bukan sesuatu yang patut dianggap remeh karena berbagai lembaga
> > > islam, spt Muhammadiyah, NU, MUI dll jelas sudah sepakat bahaya ide
> > > dan pemikiran yang diusung dan diasong oleh mereka yang masuk
> > > golongan yang menganut paham sepilis ini.
> > >
> > > nah kalo Bu Chair memang mengaku lieur soal salah benar, ya
> > > kembalikan saja ke Quran dan Hadis, kan jelas di sana yang benar
(al-
> > > haq) dan yang salah (al-bathil) dan itu tanpa camput tangan dan
> > > intervensi emosi karena itu dari Allah dan Rasulnya.
> > >
> > > jadi bukan pendapat asli saya lho soal bahaya -- bukan hanya
negatif -
> > > - dari liberalisme dkk ini.
> > >
> > > soal Rasul, yang saya ingin sampaikan dengan kisah Wahsyi adalah
> > > bahwa Rasul memang jelas memaafkan dan mengampuni mereka yang dulu
> > > memusuhi beliau, tapi itu tidak ada hubungannya dengan apa yang
> > > beliau rasakan. dan bukankah ini manusiawi? kita mungkin akan
> > > terpaksa (karena sulit serta merta memaafkan, spontan dan instingtif
> > > at first strike, kec setelah diendapkan) memaafkan orang yang telah
> > > berbuat salah atau menyinggung kita, tapi apakah kita melupakannya?
> > > saya kira semua kita juga tidak mudah melupakan kesalahan orang
meski
> > > sudah kita maafkan. jadi itu yang saya maksud bu Chair.
> > >
> > > salam,
> > > satriyo
> > >
> > > --- In [EMAIL PROTECTED], "Chae"
> > > <chairunisa_mahadewi@> wrote:
> > > >
> > > > he..he..he.. ma'af ya Pak kalau terasanya demikian tapi sebenarnya
> > > > tidak seperti itu...saya hanya senang saja kalau diskusi nyambung
> > > > (bermanfaat) untuk diteruskan tapi kalau sudah tidak nyambung (
> > > tidak
> > > > bermanfaat) yaa ditinggalkan karena mungkin saya yang belum bisa
> > > > mengimbangi atau sebaliknya sehingga berbeda arah..dan kacau;))
> > > >
> > > > Memang benar Pak, apa yang tidak benar ya tetap tidak benar walau
> > > pada
> > > > dasarnya semua itu kembali kepada pembenaran artinya
tergantung pada
> > > > situasi dan kondisi. Tapi masalahnya apa yang kita anggap tidak
> > > benar
> > > > apakah benar-benar tidak benar atau justru kebenaran kita lah yang
> > > > benar-benar tidak benar...he..he..he..lieur euyyy ....:))
> > > >
> > > > Sederhananya begini Pak Satriyo...dalam diri Pak Satriyo sudah
> > > > tertanam satu keyakinan bahwa yang namanya liberalisme dalam hal
> > > > beragama itu pasti negatif dan orang-orang didalamnya dicap juga
> > > > negatif....betul demikian??? bukankah sikap yang demikian adalah
> > > > sebuah sikap yang berlebih-lebihan Pak??
> > > >
> > > > Saya hanya sebatas saling tukar informasi saja, kembali kepada Pak
> > > > Satriyo apakah yang demikian itu salah atau tidak??? dan informasi
> > > > yang saya berikan jika memang seperti bersebrangan dengan Pak
> > > Satriyo
> > > > jangan di artikan bahwa saya ada di pihak lain, saya sendiri tidak
> > > > begitu nyaman di sebut A.B.C.D.E...saya hanya orang yang
senang saja
> > > > berbagi pendapat..itu saja:))
> > > >
> > > > o'iya masalah wahsyi, memang sangat manusia kalau Rasul itu
memiliki
> > > > rasa sedih, gembira, marah, kesal, bete dll. Bahkan saya pribadi
> > > makin
> > > > mencintai Rasul begitu tahu betapa manusiawinya Beliau dan justru
> > > itu
> > > > yang membuat Beliau menjadi manusia super yang bukan superman.
> > > >
> > > > Tapi saya juga memang Rasul tidak boleh secara picik, artinya
apakah
> > > > boleh saya memandang Rasul sebagai sosok yang pendendam??, sosok
> > > yang
> > > > egois??? sosok yang tidak bisa mengendalikan emosinya??
> > > >
> > > > Saya percaya bahwa sosok Nabi yang begitu mudah mema'afkan
musuh2nya
> > > > dan melindungi mush2nya, memberikan pedang pada orang yang telah
> > > > menempelkanya dileher Beliau, menjenguk orang yang meludahinya,
> > > > menyuapi orang yang mengutuknya,mendoakan kaum yang melempari
> > > dirinya
> > > > dengan batu sampai berdarah-darah..sanggup bersikap egois demi
> > > > kepentingan dirinya pribadi???
> > > >
> > > > Jika pengusiran wahsyi berkaitan dengan rasa dendam Rasul atas
> > > > kematian Hamzah paman Beliau tentunya Hindun adalah tokoh pertama
> > > yang
> > > > seharusnya terusir karena perbuatannya yang memakan jantung sang
> > > Paman
> > > > lebih merupakan kepada penghinaan. Sedangkan perbuatan wahsyih
> > > adalah
> > > > sesuatu yang memang sesuai dengan aturan yang berlaku dalam sebuah
> > > > peperangan...membunuh atau dibunuh...
> > > >
> > > > Pengusiran terhadap wahsyi lebih kepada memberikan
perlindungan atau
> > > > keselamatan terhadap diri wahsyi, jangan salah yang dia bunuh itu
> > > > seorang panglima perang...punya banyak anak buah...tapi ini
pendapat
> > > > saya bahwa seorang loyalitas anak buah pada atasanya sangat
> > > > besar...bisa jadi keselamatan wahsyi jadi teracam jika dia tidak
> > > pergi
> > > > dari mekah.
>


Kirim email ke