Terima kasih atas tanggapan bu Aishayasmina, Kurang lebihnya tanggapan/opini aishayasmina tidak beda dengan apa yang disampaikan bu Chairunisa, jadi bisa saya anggap tanggapan saya atas bu Aishayasmina terwakili oleh tanggapan saya atas bu Chairunisa ... more or less.
Silakan juga lihat thread baru di bu Flora. salam, satriyo NB: btw, sudah pernah baca buku bang imad tentang tauhid yg populer di kalangan aktifis islam kampus di th 80an? --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Aisha" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Menarik obrolan mba Chae dengan pak Satriyo dan teman-teman lainnya tentang Allah dan Tuhan ini. Subjectnya saya ganti supaya lebih fokus. > > Ada pembahasan menarik dari Pak Imaduddin bahwa arti dari tuhan itu adalah yang mendominasi kehidupan manusia, jadi jika seorang laki- laki memperkosa seorang wanita maka saat itu yang mendominasi kehidupannya adalah nafsu seksnya, bisa dikatakan bahwa tuhannya itu nafsu seksnya. Jika seseorang melakukan korupsi supaya hartanya banyak dan dia bisa menikah lagi, punya simpanan, punya tabungan banyak, punya mobil mewah, punya rumah mewah, dll - maka tuhannya dia adalah nafsu untuk memiliki harta. Jika seseorang karena marahnya ke orang lain sampai membunuh orang, maka tuhan orang itu adalah nafsu amarahnya. Lalu kata pak Imad itu, muslim seharusnya berikrar "tiada tuhan selain Allah" syahadat itu. Artinya kita jangan bertuhan kepada sesuatu yang bisa mencelakakan diri kita dan diri orang lain atau lingkungan kita, terutama banyak nafsu dalam diri kita. Tuhan kita adalah Allah yang maha segalanya dan nama-nama lainnya di asma ul husna. > > Betul seperti yang diceritakan mba Chae, umumnya orang sunda generasi nenek saya biasa mengatakan Allah itu dengan Gusti, lalu ada tambahan seperti nu maha agung, nu maha suci, nu maha adil, dll. Tapi saya perhatikan generasi orang tua saya biasa memakai panggilan Allah. Apakah mereka ini - generasi nenek saya tidak yakin kepada Islam atau buruk agamanya karena tidak menyebut Allah? Saya memperhatikan beliau-beliau ini misalnya salah seorang kakek saya dari Jawa tapi di daerah sunda, beliau menyebut Allah dengan Gusti itu wajahnya putih jernih dan membuat orang yang memandangnya merasa sejuk, wajah yang selalu bersih karena beliau menjaga wudunya, sholatnya selalu di mesjid, puasanya tidak sekedar puasa wajib, kurbannya selalu banyak, kegiatan sosialnya banyak seperti membuat panti asuhan, peduli terhadap orang jompo, anak asuhnya banyak, banyak sedekahnya, dan kebaikan lain-lainnya selain tutur katanya yang halus menyejukkan, selalu tersenyum lembut dan begitu halus ke cucu-cucunya. Dan segudang kebaikan lainnya yang bagi saya sangat islami karena beliau mencontohkan kejujuran, keadilan, kelembutan, kasih sayang, etos kerja, dll. > > Jadi bagi saya sih orang mau menyebut tuhan, menyebut gusti, apapun bukan merupakan masalah besar, sepanjang dia sadar bahwa tuhan itu sesuatu yang mendominasi hidup kita, tuhan atau Allah atau Gusti dan entah sebutan lainnya itu memberi larangan dan mengharuskan ini itu kan untuk kebaikan manusia, maka kewajiban kita untuk menjauhi laranganNya dan melaksanakan kewajiban-kewajiban sesuai tuntunanNya. Dan kembali lagi ke masalah aksesoris fisik, jika kita mencap orang lain yang tidak memakai kata Allah dengan orang yang tidak yakin dalam Islam, apakah ini sama dengan orang mencap wanita yang tidak berjilbab itu orang yang tidak yakin dalam Islam? apakah ini sama dengan mencap orang yang tidak bergamis putih dan memakai tutup kepala seperti aa Gym itu orang yang tidak yakin dengan Islam? Jadi apakah kita mencap orang lain itu berdasarkan sesuatu yang fisik atau yang terlihat dan terdengar saja? > > salam > Aisha > ------- > From : Chae > Saya tidak tahu Pak Satriyo, karena yang mengetahui hal ini hanya diri anda sendiri..artinya setiap individu seharusnya mengkoreksi dan mengevaluasi dirinya sendiri..ini yang kita lakukan setiap sholat kan Pak??, dan kewajiban saya tentunya harus berhusnudzon terhadap diri anda;)...Insya Allah.. > > Saya kasih contoh mengapa masih ada keraguan dari saya atau teman2 dimilis WM terhadap sikap konsisten anda tentang "memutlakan pendapat sebagai kebenaran". > > Pak Satriyo menulis "bukan Tuhan, bu, kec Ibu juga tidak yakin dalam Islam, Allah itu nama Tuhan kita)" > > Pak Satriyo, apa benar menurut anda jika saya menyepa Sang Pencipta diri saya dan alam semesta ini tidak dengan sebutan Allah, maka saya termasuk orang yang tidak yakin dalam Islam?? > > Bukankah Allah, adalah nama panggilan pada sang Pencipta dalam bahasa arab?? apakah saya tidak boleh memanggilnya dalam bahasa yang lain?? misalnya saya hendak memanggil-Nya lebih mesra dalam bahasa > sunda..misalnya dengan panggilan "Gusti nu Maha Agung" > > Kalau dulu Musa memanggilnya dengan sebutan "Aku" pada sang Pencipta, kemudian Yesus memanggilnya lebih mesra dengan sebutan Ayah...apakah itu sebuah kesalahan??? > > Pak Satriyo, kalau pendapat saya...Sang Pencipta tidak pernah bisa terangkum atau terwakili atau terdeskripsikan dalam ciptaan manusia semisal bahasa/nama/panggilan. Sang Pecipta alam Semesta tiada sesuatu pun yang dapat menyamai-Nya dan tidak satupun yang dapat menggapai dan menggenggam-Nya. Jadi semua nilai yang ada tidak di ukur dari diri-Nya kepada kita tapi dari diri kita kepada-Nya sehingga sifatnya selalu "tidak mutlak atau ketidak niscayaan" apa yaaa bahasanya....;)). > > Jadi pak Satriyo, bagi saya bukan masalah nama apa yang akan engkau gunakan untuk memanggil-Nya, sepanjang ketika kau sebut nama-Nya maka tidak satupun kejahatan/keburukan yang kamu lakukan. Misalnya saja ada orang yang mengucap takbir dengan lantang tapi kemudian tanganya telah membuat air mata kesedihan, kakinya telah membuat kezaliman, prilakunya menyengsarakan dan berbuat ketidak adilan. Justru yang demikian ketika dia bertakbir bukan Sang Pencipta yang dia panggil tetapi nafsu angkara dan nafsu egonya yang di sebut-sebut... > > [Non-text portions of this message have been removed] >