http://www.kompas.com/kompas-cetak/0704/23/swara/3472439.htm

Senin, 23 April 2007

Perempuan Mencari Keadilan Hukum

Ninuk Mardiana Pambudy

Ada dua rancangan perundang-undangan menyangkut hukum yang dalam
rencana dibahas di DPR untuk menjadi undang-undang, yaitu Rancangan
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana dan Rancangan Undang-Undang
tentang Hukum Pidana.

Perempuan berkepentingan dengan dua rancangan undang-undang (RUU) itu
agar tidak terulang pengalaman selama ini, yaitu perempuan belum
mendapat perlindungan sesuai hak asasinya sebagai manusia dan warga
negara walaupun sudah seabad lebih sejak RA Kartini menggugat hal
keadilan bagi perempuan.

Pekan lalu, berlangsung dua diskusi di tempat terpisah di Jakarta,
membicarakan sensitivitas jender di dalam RUU Hukum Acara Pidana dan
RUU KUHP. Dalam workshop dengan para penegak hukum mengenai RUU HAP,
Komnas Anti-Kekerasan terhadap Perempuan mengundang narasumber Kepala
Unit Evaluasi dan Pengkajian Satgas Tindak Pidana Terorisme dan Lintas
Negara dan Pidana Umum Kejagung Eko Siwi Iriyani SH, Kepala Divisi
Pembinaan Hukum Mabes Polri Irjen Dr Teguh Sudarsono, dan Koordinator
Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan R Husna Mulya
SH.

Sementara dalam diskusi mengenai RUU KUHP, Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
APIK mengundang narasumber pengajar di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia Antonius Cahyadi, Sekretaris Ditjen Perundang-undangan
Depkumdang Komaruddin SH MH , dan dari LBH APIK Dewita Hayu Shinta.

Bukan minta dikasihani

Workshop RUU Hukum Acara Pidana diisi oleh pengalaman penegak hukum
dan pendamping korban dalam proses penyidikan hingga pengadilan.
Tujuannya mengusahakan agar ada sistem peradilan pidana terpadu agar
perempuan tidak perlu bolak-balik menyelesaikan perkara dan sistem
peradilan memerhatikan pengalaman perempuan.

Yuliani dari Kejaksaan, misalnya, mengusulkan agar persidangan kasus
kekerasan terhadap perempuan (KTP) dilakukan secara tertutup. Dalam
sebuah persidangan, Yuliani mengalami keadaan di mana istri, yang
menjadi korban kekerasan, tidak dapat berbicara sepatah kata pun di
ruang sidang, tetapi ketika di luar ruang sidang dia dapat berbicara
dengan lancar menuturkan kekerasan yang dia alami. "Saya lalu minta
sidang diadakan tertutup," kata Yuliani.

Yuliani juga menganjurkan polisi dimungkinkan bertindak proaktif dalam
menghadapi kekerasan dalam rumah tangga yang menurut undang-undang
merupakan delik pengaduan.

Resta dari LBH Jakarta meragukan tawaran yang diajukan Dr Teguh
Sudarsono mengenai melalui mekanisme dan proses alternative dispute
resolutions dapat memberi keadilan bagi korban. "Penyelesaian itu
dapat efektif bila para pihak posisinya sejajar, tetapi dalam
kekerasan terhadap perempuan posisi perempuan tidak sejajar dengan
laki-laki," kata Resta.

Eko Siwi Iriyani mengatakan, dalam penanganan perkara KTP diperlukan
aparat penegak hukum yang sensitif jender dan perlu persamaan persepsi
tentang standar dan kriteria penanganan penanganan KTP.

Masalahnya, seperti diungkap Husna, sikap penegak hukum tidak lepas
dari budaya. "Misalnya, undang-undang mengatakan penganiayaan terhadap
istri adalah pidana, tetapi penegak hukum menganjurkan perkara tidak
dilanjutkan karena ini masalah privat," kata Husna. Selain itu,
penegak hukum sering berpegang pada yuridis formal sehingga tidak
memungkinkan penafsiran.

Irjen Dr Teguh Sudarsono merespons berbagai masukan yang berdasar
pengalaman lapangan ini dengan mengatakan, mengapa perempuan
sepertinya minta dikasihani. Dia bahkan menantang agar Komnas
Perempuan mengusulkan ada peradilan khusus untuk perempuan.

Menanggapi hal itu Ketua Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan
Komnas Perempuan Deliana Sayuti Ismudjoko mengatakan, tujuan
mendiskusikan sistem peradilan pidana terpadu bukan agar perempuan
dikasihani. "Kenyataannya hal-hal yang dialami perempuan saat ini
sebetulnya seharusnya tidak diterima perempuan," kata Deliana.

Prasangka tubuh

Dalam pembahasan usulan terhadap RUU KUHP yang masih berada di
Depkumham, Antonius Cahyadi menyebut RUU tersebut menggunakan banyak
prasangka terhadap tubuh. "Ada wacana yang diangkat dan selalu dengan
prasangka terhadap tubuh perempuan," kata Cahyadi.

Padahal, ketika berbicara tentang tubuh perempuan, seharusnya
perempuan diajak berbicara mengenai pengalamannya.

Di dalam RUU KUHP yang mencapai 700-an pasal, hal yang menyangkut
tindak pidana kesusilaan menurut Komaruddin adalah Pasal 468-479
tentang pornografi dan pornoaksi, Pasal 487 tentang kumpul kebo, Pasal
490 tentang pemerkosaan, Pasal 489 tentang inses, dan Pasal 503
tentang kekerasan pada hewan dalam konteks seksual.

Komaruddin menyebut, meskipun rancangan tersebut dari pemerintah sudah
hampir final setelah dipresentasikan di rapat kabinet dan memasukkan
berbagai saran, pendapat masyarakat tetap menjadi masukan.

Cahyadi menyebutkan, definisi kesusilaan dalam RUU KUHP terlalu luas
dan menghakimi perempuan serta orang dengan seksual berbeda. "Definisi
harus jelas, tidak ekstensif yang mendominasi tafsir. Tafsir harus
berpihak juga pada minoritas dan memanusiakan kekuasaan," kata
Cahyadi.

Dewita Hayu Shinta memaparkan berbagai pengalaman perempuan yang
dirugikan oleh sistem hukum yang berlaku. Mengenai pelacuran,
misalnya, seharusnya yang dijadikan obyek hukum bukan perempuan sebab
dalam hal ini perempuan adalah korban perdagangan orang. Seharusnya
yang dihukum adalah orang- orang yang menjerumuskan perempuan ke dalam
pelacuran, termasuk yang mendapat keuntungan dari bisnis ini.

"RUU KUHP tidak berubah paradigmanya, yaitu tetap menempatkan
kejahatan seksual terhadap perempuan dalam Bab Kesusilaan. Perempuan
tidak dapat memberi penilaian akan kejahatan seksual terhadap dirinya,
tetapi penilaian itu ditentukan oleh nilai-nilai dalam masyarakat,"
kata Dewita.

Kirim email ke