http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=290200&kat_id=105&kat_id1=147

Jumat, 20 April 2007

Kafa'ah

Kafa'ah adalah kesetaraan. Para ulama dan cendekiawan menekankan
perlunya kesataraan dalam membina rumah tangga. Hanya saja, mereka
berbeda pendapat tentang aspek-aspek kesetaraan itu. Dulu banyak ulama
menekankan perlunya kesetaraan dalam garis keturunan, di samping dalam
tingkat sosial, ekonomi, akhlak dan tentu saja dalam agama. Perempuan
bangsawan misalnya, hanya boleh dikawini oleh lelaki bangsawan pula.

Penetapan ini lahir pada masa hak-hak asasi manusia belum lantang
dikumandangkan. Ketika itu, masyarakat masih memandang adanya pengaruh
yang cukup berarti dalam keharmonisan rumah tangga, jika kesetaraan
dalam bidang status sosial (keturunan) tidak terpenuhi. Perempuan
bangsawan boleh jadi enggan patuh kepada suami yang status sosialnya
lebih rendah darinya.

Kita tidak dapat menyangkal terdapat pengaruh yang cukup besar dari
garis keturunan seseorang kepada anak cucunya, karena gent keturunan
yakni dapat diwariskan, sedang tentu saja setiap orang mendambakan
anak cucunya lahir dari hasil perpaduan antar suami istri yang
memiliki garis keturunan baik-baik agar anak-anak mereka menjadi
baik-baik, cerdas dan tampan pula.

Namun perlu dicatat, orang tua yang baik-baik tidak otomatis
menjadikan anaknya baik-baik pula. Nabi Nuh as melahirkan anak yang
dinilai oleh Alquran sebagai anak durhaka, sehingga walaupun ia
merupakan anak kandung salah seorang nabi utama (Ulil Azmi min
ar-Rusul), namun Allah tidak menilainya sebagai anggota keluarga Nabi
Nuh as. (Alquran Surat Hud (11) ayat 45).

Lantas, bagaimana pendapat para imam mazhab terhadap keseteraan itu?
Perkawinan antara seorang perempuan bangsawan atau memiliki garis
keturunan yang diakui berbobot dengan lelaki yang tidak setara
dengannya dalam hal tersebut, tidaklah dapat dinilai tidak sah. Begitu
pendapat keempat ulama mazhab Sunni; Maliki, Syafi'i, Hanbali dan
Hanafi, karena mereka hanya berpendapat kafa'ah merupakan syarat
kelaziman.

Nabi Muhammad SAW jauh sebelum masa kita menjelaskan faktor-faktor
yang menjadi pertimbangan dalam memilih pasangan. Sabda beliau:
''Perempuan (biasanya) dinikahi karena empat faktor, karena hartanya,
karen keturunannya (kebangsawanannya), karena kecantikannya dan karena
keberagamaannya. Maka, raihlah yang memiliki agama, (kalau tidak)
engkau akan merugi. (HR Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah).

Kalau dulu banyak yang menekankan faktor kesetaraan dalam hal
keturunan atau kebangsawanan, maka kini yang lebih dituntut adalah
dalam hal pandangan hidup, agama, budaya, pendidikan dan usia.
Perkawinan yang semata-mata didasari karena cinta, hanya akan
menyenangkan beberapa waktu, karena seringkali apa yang dinamakan
cinta bukan cinta sejati, melainkan nafsu terselubung yang segera
memudar.

Perkawinan yang didasari semata-mata karena harta, akan menyengsarakan
pada sebagian besar masa, karena tidak ada yang dapat menjamin
kesinambungan harta, sedang perkawinan yang berdasar kesamaan agama
dan pandangan hidup, akan membahagiakan sepanjang masa, karena
tuntunan agama langgeng melampaui batas usia manusia dan pandangan
hidup akan menyertai manusia sepanjang hidupnya. dam/dikutip dari buku
Perempuan karya M Quraish Shihab Terbitan Lentera Hati Jakarta
( )

Kirim email ke