Turki, Jilbab, dan Politik Kamis, 07 Juni 2007 http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=295702&kat_id=19
Apa yang sesungguhnya terjadi dalam demo dan kontra demo yang marak pada Mei lalu di Turki? Yakni, demo besar-besaran kaum hard-die sekularis menentang kemungkinan pencalonan PM Turki, Teyyep Recep Erdogan, yang kemudian menarik diri. Pencalonan Menlu Turki, Abdullah Gul, sebagai kandidat Presiden Turki juga ditentang golongan sekuler. Kaum sekularis Turki yang didukung militer itu, khawatir kedua tokoh yang mereka anggap sebagai Islamis itu, jika terpilih sebagai presiden akan segera mengubah Turki menjadi negara Islam. Partai Pembangunan dan Keadilan (AK) yang berkuasa sekarang di bawah kepemimpinan Erdogan, mereka pandang memiliki agenda tersembunyi; yakni, mengubah Turki dari sekuler Kemalis menjadi negara Islam. Meski kedua pejabat dan tokoh Turki itu membantah tuduhan kaum sekularis, namun pihak terakhir ini punya 'bukti' bahwa mereka mempunyai agenda untuk menjadikan Turki sebagai negara Islam. Pertama, dua putri Erdogan yang diterima di salah satu universitas Turki menolak mencopot jilbab, sebagai syarat untuk bisa diterima di universitas Turki tersebut, karena jilbab tidak boleh dikenakan di lembaga-lembaga pendidikan dan di institusi resmi lainnya. Sebaliknya, kedua putri Erdogan tersebut masuk ke Universitas Indiana, Amerika Serikat, yang mengizinkan dan tidak mempersoalkan apakah mahasiswinya mau memakai atau tidak memakai jilbab. Bukti kedua masih soal jilbab. Istri Menlu Abdullah Gul, Hayrunnisa Gul, juga mengenakan jilbab. Hairunnisa menolak anggapan pemakaian jilbab sebagai tanda ingin mendirikan negara Islam; bagi dia, mengenakan jilbab lebih nyaman daripada tidak memakainya. Sang suami, Menlu Abdullah Gul sepakat. Kepada Fareed Zakaria (Newsweek, 21 Mei, 2007), Abdullah Gul menyatakan, Saya tidak berniat mengajak, apalagi memaksa perempuan memakai jilbab. Itu adalah masalah pilihan pribadi. Bahkan, tidak seluruh perempuan dalam keluarga saya mengenakan jilbab. Jika saya tidak meminta seluruh anggota perempuan dalam keluarga saya memakai jilbab, kenapa saya harus mengajak perempuan-perempuan lain." Kaum sekularis, bahkan mempersoalkan juga seorang kepala sekolah yang mengizinkan muridnya membaca Alquran dengan nada lagu yang indah. Dan juga ketika sebagian masyarakat Turki merayakan maulid Nabi Muhammad. Melihat kasus Turki dengan jilbab yang menghebohkan itu, tidak bisa lain, kaum sekularis terhinggapi paranoia anti-Islam dengan segala simbolismenya. Bagi kolumnis Fareed Zakaria, sikap kaum sekularis itu sangat berlebihan, dan bahkan dapat mengancam demokrasi di Turki; yakni jika militer turun tangan melakukan kudeta yang telah lima kali dalam lima dasawarsa menjatuhkan pemerintahan yang dipilih melalui sistem demokrasi. Bagi Partai AK sendiri, Islam kompatibel dengan demokrasi; dan sepanjang pemerintahan PM Teyyep Recep Erdogan lima tahun terakhir, menurut Zakaria, telah terjadi quiet revolution, revolusi damai Turki menuju demokrasi yang genuine. Kenapa golongan sekularis begitu alergi terhadap jilbab dan simbol-simbol keislaman lainnya? Kenyataan ini berkaitan banyak dengan watak sekularisme Turki yang sejak masa Turki Muda dan Kemal Ataturk hampir sepenuhnya berdasarkan model sekularisme Prancis, laicite, yang tidak bersahabat dengan agama, jika tidak antiagama. Bagi saya, sekularisme Turki sepanjang sejarahnya adalah perwujudan sempurna daripada apa yang saya sebut tidak hanya sebagai 'sekularisme yang tidak bersahabat dengan agama' (anti-religion fundamentalism), tapi bahkan fundamentalisme sekular (secular fundamentalism), yang dengan cara apa pun berusaha menghalangi ekspresi agama. Hasilnya, sejak masa awal Republik Turki, di bawah pemerintahan Presiden Kemal Ataturk, sekularisme Turki menerapkan kebijakan yang tidak bersahabat dengan agama. Rezim-rezim sekuler tidak hanya melarang pemakaian jilbab dan pakaian Muslim lainnya, tapi juga penggunaan gelar-gelar keagamaan seperti haji, khoja, mullah, effendi, dan seterusnya. Mereka yang melanggar ketentuan ini memperoleh sanksi hukum, termasuk hukuman penjara. Lebih daripada itu, berbeda dengan fundamentalisme yang tidak bermusuhan agama, seperti sekularisme AS, sekularisme Turki bahkan mencampuri urusan dasar agama. Contoh terjelas dalam hal ini adalah pemaksaan penggantian bahasa azan dari bahasa Arab ke bahasa Turki. Meski kebijakan ini tidak bertahan lama karena oposisi sangat hebat dari kaum Muslimin, rezim-rezim sekuler Turki tetap berusaha memasuki ranah teologis dan normatif agama. Sekularisme ala Turki bukanlah sebuah contoh yang baik dari ideologi politik dan negara. Sekularisme seperti ini dan ideologi-ideologi antiagama lainnya yang mewujud menjadi fundamentalisme (sekuler), bukan hanya dapat mengancam demokrasi; bahkan lebih jauh lagi bertentangan dalam kecenderungan alamiah manusia yang memerlukan agama dengan segala simbolismenya. (Azyumardi Azra ) [Non-text portions of this message have been removed]