TPA Adalah Hak Perempuan http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=296932&kat_id=3
Agar wanita bisa berkarier tanpa menelantarkan anak. Itulah salah satu alasan Dharma Wanita mendorong berdirinya TPA-TPA. Apalagi alasan lain Dharma Wanita mendukung TPA? Berikut petikan wawancara Republika dengan Ketua Umum Dharma Wanita Persatuan Pusat, Nila F Moeloek: Demi karier, sebagian perempuan menitipkan anak-anaknya di tempat penitipan anak (TPA). Komentar Anda? Di Indonesia, 50 persen penduduknya adalah perempuan, dan sudah banyak yang mendapat pendidikan sehingga peluang untuk meniti karier terbuka. Kita bisa lihat dari data pegawai perempuan dan karyawati, jumlahnya banyak sekali. Kalau ke bank, yang langsung kita hadapi umumnya perempuan. Di pasar, pedagang dan penjual sayur juga banyak perempuan. Sudah kenyataan perempuan banyak yang bekerja. Perempuan bekerja umumnya untuk menopang penambahan income. Untuk keluarga pemula, biasanya laki-laki mengharapkan juga istrinya menjadi penopang keluarga, apalagi bila istrinya sudah berpendidikan. Hanya, kalau suami-istri bekerja, kan tidak mungkin suami dan istri gantian menjaga anaknya. Karena itu TPA sangat diperlukan. Apakah wanita tidak egois dengan menitipkan anaknya demi karier? Oh nggak. Wanita yang memutuskan berkarier, semua uangnya biasanya akan dia berikan untuk anak dan keluarganya. Kalau laki-laki menerima uang, tiga perempat dikasih keluarga, seperempat ditaruh di bawah kaos kakinya, ha-ha-ha. Tapi, kalau perempuan merasa suaminya sudah bisa mencukupi, walaupun dia sekolah tinggi, dia akan tinggalkan kariernya, kembali ke keluarga. Itulah yang banyak terjadi di Amerika tiga-empat tahun ini: Ibu-ibu kembali ke keluarga, karena takut anak-anaknya jadi korban narkoba. Bagaimana perkembangan TPA di Indonesia saat ini? Tidak seperti di zaman Pak Harto dulu, ada instruksi, sehingga departemen bisa membiayai. Sekarang, TPA Dharma Wanita agak berantakan sedikit, tapi beberapa masih bagus. Misalnya TPA di Bulog, Departemen Sosial, dan di sejumlah provinsi. Perlukah TPA-TPA didirikan di setiap instansi pemerintah maupun swasta? Perlu. Keberadaan TPA itu adalah haknya perempuan, dan termasuk bagian kesejahteraan. Kalau kesejahteraan diperhatikan, dia akan bekerja tenang, produktivitasnya akan lebih bagus. Jadi saya usulkan kepada pemerintah dan top manajemen untuk memenuhi pendirian TPA. Karena kalau seorang wanita bekerja sementara otaknya memikirkan anak di rumah, bagaimana? Pengadaan TPA nggak perlu Dana besar. Ruangan sudah ada, tinggal tambah subsidi sedikit untuk gaji pengasuh/pendidik. Untuk kesehatan, biasanya instansi punya poliklinik yang bisa dikerjasamakan. Apakah persoalan budaya tidak menjadi hambatan keberadaan TPA di Indonesia? Menurut saya kita harus berubah. Budaya bisa berubah. Budaya itukan suatu perilaku kelompok yang bergantung bagaimana pendidikan dia, religiusitas dia ekonomi dia. Mana yang lebih baik, anak dititipkan kepada nenek, pembantu, baby sitter, anggota keluarga yang lain, atau TPA? TPA. Karena di TPA ada pendidikan dan disiplin. Waktunya tidur, tidur. Waktunya makan, makan. Orang Indonesia harus diajar begitu. Kalau sama nenek mah kacau. Seharusnya waktunya tidur, cucunya malah dibawa-bawa. Lagipula, nenek-nekek sekarang juga tidak lagi pasif nungguin rumah. Sebagian mungkin masih seperti itu, tapi sebagian sudah berubah. Nenek-nenek sekarang banyak yang tetap aktif, wara-wiri. Dia juga kan mesti hidup. Mungkin dia masih jualan, menjahit. Jadi, kalau dititipi cucu, itu bisa menjadi beban buat dia Kalau dititip ke tantenya, memangnya tantenya nggak punya kerjaan? Kalau dititipkan ke baby sitter, dia kan dibayar, tanggung jawabnya kurang. Di Filipina, ada baby sitter yang tidak sabar, anaknya dikasi obat tidur. Kalau nangis dicubitin. Di TPA, pengasuhnya kan bisa juga berlaku seperti itu... Tapi kalau di TPA, suster yang lain ada, bisa saling lihat, dan ada pimpinannya. Jadi, TPA benar-benar bisa menjadi rumah kedua bagi anak? Bisa. Anda bisa bayangkan kalau anak di rumah tanpa teman. Mari kita lihat orang kaya, yang rumahnya dipagar tinggi-tinggi. Kalau ada anaknya yang berusia 2-3 tahun, bermain dengan siapa dia? Tetangganya orang asing, yang masing-masing sendiri (individualis). Akhirnya anak itu tidak berkembang sosialnya. Kalau dititipkan di TPA, dia bisa melihat teman-temannya, berinteraksi, itu penting. Anak-anak yang tidak dikurung lebih sukses hidupnya, sebab dia tidak kaku. Sukses bukan hanya otaknya, tapi juga punya emosi sosial, empati. Menurut Anda, apa saja syarat pendirian sebuah TPA yang ideal? Asal standar minimalnya dipenuhi, TPA berlokasi di garasi pun tidak masalah. Yang penting punya tempat bermain, lantainya bersih, udaranya tidak sumpek, ada permainan edukatif yang tidak membahayakan, ada air untuk cuci tangan, ada tempat menghangatkan air dan makanan, ada tempat tidur, ada yang mengasuh, dan ada yang menjaga kesehatannya. Bagi yang mampu, tentu TPA-nya boleh lebih bagus. Mau makannya dikasi keju setiap hari, tergantung bayarnya Tapi, seperti TPA di Pasar Induk Kramat Jati, yang hanya bayar Rp 1.000 per hari per anak, tentu dengan segala kesederhanannya. TPA itu bukan hanya untuk kelas atas lho. Kelas bawah juga butuh. Ibu-ibu penjual sayur di Kramat Jati, misalnya, datang ke pasar bersama anaknya jam dua pagi. Mereka bisa menitipkan anaknya di TPA dan saat selesai kerja sekitar jam satu siang, mereka bisa mengambil anaknya kembali. Saya bangga sekali bila ibu-ibu mencari uang tapi dia tidak menelantarkan anaknya.run TPA Generasi Baru http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=296934&kat_id=3 Saat ini, cukup banyak tempat penitipan anak (TPA) yang berdiri. Sebagian masih punya hubungan genealogis dari segi konsep dengan TPA yang didorong pembentukannya oleh Dharma Wanita sejak dua dekade lalu. Sebagian lagi seolah hadir dengan konsep baru. Bahkan, sebagian agak keberatan menggunakan sebutan TPA. Mereka lebih enjoy dengan sebutan daycare. Nama-nama yang disandangnya pun berbau kebarat-baratan. TPA-TPA generasi baru tersebut misalnya High Reach Learning Reach Institution di Jakarta Pusat, Daycare Program Mom&Me di Yogyakarta, dan Smart Steps di Bandung. Tak seperti TPA-TPA lama yang masih kental dengan nuansa sosial, TPA-TPA baru tersebut hadir dengan manajemen layaknya perusahaan dan berorientasi bisnis. High Reach, misalnya, selain menyediakan fasilitas dan 'kurikulum' parenting juga beriklan dengan menyatakan makanan yang mereka sediakan direkomendasikan ahli gizi terkenal, Tuti Soenardi. TPA ini juga berencana memasang CCTV dan koneksi Internet yang memungkinkan ibu yang bekerja menonton 'siaran langsung' anaknya dari kantor. Tapi Direktur High Reach, dr RA Lukiarti Rukmini MPH, membantah TPA-nya hanya dikhususkan untuk kalangan high class. Dengan biaya full day sebesar Rp 1,2 juta hingga Rp 2 juta per bulan, dia mengatakan biayanya masih terjangkau. ''Bahkan pernah ada ibu yang menitipkan anaknya di sini masih naik bus kota dan kereta,'' katanya. Mom&Me yang didirikan oleh Yayasan Permata Bunda, juga terkesan dibuat serius. Tempatnya bersih dan nyaman, berpendingin ruangan, dilengkapi audio-visual, serta layanan antar-jemput. Program-programnya juga disesuaikan dengan konsep baru. Biayanya Rp 500 ribu per bulan untuk full day sudah termasuk snack, makan, dan jus. TPA-TPA generasi baru tersebut, juga hadir dengan konsep plus. Dwifungsi, bahkan trifungsi. Antara lain dengan mulai memikirkan untuk memadukan TPA dengan playgroup dan TK. Dengan konsep itu, anak bersekolah mengikuti jam sekolah di TPA itu. Usai jam sekolah, anak kembali menjalani hidup sebagai anak asuhan TPA. Tapi TPA-TPA baru bukan hanya akan didirikan oleh pihak swasta. Sekretaris Jenderal Dharma Wanita Persatuan Pusat, Lies Luluk Sumiarso, yang pernah menjadi pengasuh daycare di Philadelphia, AS, pada 1986-1990 -saat mengikuti suaminya mengambil S3 di Pensylvania University-- juga berencana membuat TPA plus playgroup dan TK. Lokasi TPA plus itu di Ciputat, menyatu dengan Sanggar Puspobudoyo. ' Mudah-mudahan pertengahan 2008 sudah berdiri,'' katanya. Anak-anak yang dititipkan, kata Lies, tak hanya akan mendapatkan program-program lain yang jamak di TPA atau daycare, tapi juga akan diperkenalkan dengan kebudayaan Indonesia secara intensif. Lies mengatakan usia 0-6 tahun itu adalah golden period, usia emas. ''Otaknya seperti chip yang terbuka. Harus kita isi. Pendidikan yang kita berikan pada usia emas itulah yang membentuk sifat dan karakter seseorang,'' kata Lies. Kata dia,banyak ibu yang memilih mengasuh sendiri anaknya karena tak ingin kehilangan golden period itu. Kie/uki/nri/run [Non-text portions of this message have been removed]