--- In [EMAIL PROTECTED], Qosim Nursheha Dzulhadi 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:

  Keputusan MUI yang menyebut Al-Qiyadah Al-Islamiyah sebagai 
kelompok sesat justu disesatkan kaum liberal. Jadi, siapa yang sesat? 


    oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi

Isu aliran-aliran sesat yang ada di Indonesia sepertinya belum 
berakhir. Isu ini semakin "memanas" setelah MUI mengeluarkan fatwa 
sesat atas aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang "diasuh" oleh Ahmed 
Moshaddeq. Bukan hanya itu, MUI pun mengeluarkan 10 kriteria aliran 
sesat. Dimana setiap aliran yang terkena salah satu poin (kriteria) 
tersebut, secara otomatis dinyatakan "sesat".

Namun, seperti biasa, yang paling sewot adalah para aktivis liberal. 
Adalah Guntur Romli, seorang aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) 
yang mencoba untuk `mementahkan' keputusan dan fatwa MUI tersebut. 
Lewat tulisannya di Jawa Pos dia menyatakan bahwa fatwa sesat yang 
dikeluarkan MUI adalah "sesat". Dengan bahasa lain, MUI, yang nota 
bone kumpulan ulama itulah yang justru "sesat".

Dalam tulisannya itu, Guntur menuduh bahwa MUI hanya 
melakukan "penyesatan" dan "pengkafiran", bukan melakukan bimbingan. 
Artinya, Guntur menolak fatwa MUI dan mendukung aliran sesat yang 
muncul dan berkembang di Indonesia. Saya `hampir' menyimpulkan bahwa 
setiap orang yang mendukung aliran sesat juga "sesat". Penolakan 
Guntur berdasarkan argumentasi yang terkesan dibuat-buat. 

Guntur menulis:
  "Kriteria penyesatan versi mereka harus ditolak karena bertentangan 
dengan prinsip-prinsip akidah dan etika dakwah Islam. Dalam akidah 
Islam, hak pengimanan dan penyesatan hanya milik Allah. Ketika wahyu 
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad terhenti dengan 
meninggalnya Nabi, semua orang atau kelompok memiliki derajat yang 
sama, yaitu berusaha memahami wahyu tersebut."

Ini adalah argumentasi yang sangat rancu. Justru yang dilakukan oleh 
aliran sesat itu malah melanggar konsep Al-Qur'an dan Sunnah. Allah 
sudah menjelaskan di dalam Al-Qur'an bahwa Nabi Muhammad adalah 
penutup seluruh nabi (khatam al-nabiyyin) (Qs. Al-Ahzab [33]: 40). 
Aliran mana pun yang mengaku memiliki "nabi baru" atau "nabi yang 
lain" selain Nabi Muhammad SAW maka alirannya sesat, tidak benar. 
Saudara Guntur mungkin lupa bahwa dia juga pernah bersyahadat 
bahwa, "Tidak ada Tuhan selain Allah. Dan Muhammad itu adalah utusan 
Allah". Apakah kesaksian ini akan dilanggar gara-gara 
membela "kebebasan berpikir" yang "kebablasan"? Atau, jangan-jangan 
dia belum pernah mengucapkannya? Wallahu'alam

Dalam sahih al-Bukhari-Muslim diceritakan bagaimana malaikat Jibril 
mengajarkan rukun iman kepada Nabi SAW di depan para sahabatnya. 
Malaikat Jibril juga mengajarkan rukun Islam kepada kita. Islam itu 
pondasinya ada lima: [1] Syahadat; [2] Shalat; [3] Puasa; [4] Zakat; 
dan [5] Haji. Jika ada aliran yang menyatakan bahwa shalat, puasa, 
zakat, dan haji tidak wajib, maka aliran ini "sesat". Juga, jika 
aliran yang memiliki syahadat yang menyimpang berarti sudah keluar 
dari koridor Islam. Yang membela aliran ini, justru dia yang layak 
dicap sesat. Yang menarik, di saat si pelaku menyatakan diri sudah 
bertobat, justru yang rebut para pembela. Bukankah dia lebih sesat 
dari yang dibelanya itu?!

Guntur juga menulis:
  "Derajat mereka hanya sampai pada pencarian kriteria "benar dan 
salah" dalam menentukan ajaran agama, tidak sampai pada derajat 
mengetahui "iman dan kafir". Wilayah "benar dan salah" adalah lahan 
manusia yang menjadi bidang garapan "ijtihad", yakni usaha manusiawi 
yang sungguh-sungguh untuk memahami. Dalam hal itu pun, hakikat 
kebenarannya masih sampai pada tahap "kebenaran manusiawi". 
Bukan "kebenaran ilahi"."

    Kalangan liberal sering kali menggunakan bahasa-bahasa dan 
istilah berbelit-belit. Jika sepintas, kelihatannya indah dan masuk 
dalam akal. Padahal dalah masalah aqidah, sudah jelas dan tidak 
berbelit-belit. Hukum benar dan salah itu jelas. Haq dan batil juga 
jelas. Halal dan haram juga jelas. 

Mungkin Guntur sangat `geram' kepada pendapat dan fatwa MUI. Sehingga 
dia menulis dengan "membabi-buta". 

Ia menyarankan agar MUI hanya boleh menyelidiki apakah aliran-aliran 
sesat itu "benar atau salah". MUI tidak boleh menyatakan "iman dan 
kafir". Lalu apa gunanya Allah menjelaskan sifat-sifat orang munafik, 
orang-orang kafir dan orang-orang beriman jika tidak untuk 
diketahui?  

Kaum liberal  selalu menonjolkan karakteristik mereka bahwa segala 
sesuatu itu masih "nisbi" (relatif), karena itu, hal-hal yang sudah 
jelaspun, dianggap boleh "diijtihadi" lagi. Dengan kata lain, firman 
Allah pun, masih belum dianggap final.

Pewaris Nabi

Dalam Islam, kedudukan ulama sangat dijunjung tinggi dan dihargai. 
Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan pernah mengatakan, wajib hukumnya 
memuliakan ulama Muslimin karena mereka adalah pewaris para nabi. 
Makan, kata beliau, barangsaiapa yang meremehkannya,  mereka termasuk 
meremehkan kedudukan dan warisan yang mereka ambil dari Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam serta meremehkan ilmu yang mereka 
bawa.  (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 140).

Dalam Al-Quran surat al-Fathir:32, Allah berfirman, "Kemudian kitab 
itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-
hamba kami." (Fathir: 32)

Siapa yang "yang terpilih" itu?, Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, 
mereka adalah para ulama. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah 
memperkuat dengan mengatakan, "Ayat ini sebagai syahid (penguat) 
terhadap hadits yang berbunyi Al-'Ulama waratsatil anbiya' (ulama 
adalah pewaris para nabi)." (Fathul Bari, 1/83)

Kalangan liberal dan orang-orang seperti Guntur,  selalu ingin 
berusaha menghilangkan otoritas keilmuan para ulama. Karena semuanya, 
menurut mereka, nisbi. Tidak ada yang valid dan final. Kebenaran pun 
kebenaran nisbi menurut mereka sendiri.

Kalau pendapat para ulama itu semuanya kita masukkan 
dalam `keranjang' sampah. Dan semua orang harus mengikuti pendapat 
aktivis liberal yang cenderung menisbikan sesuatu alias  alias 
relatif, lalu pendapat yang mana yang harus diikuti?.

Sampai detik ini kita tidak pernah membaca bahwa mereka berijtihad 
bahwa akan ada nabi baru selain Nabi Muhammad SAW. Mereka malah 
berijma` bahwa orang yang mengaku "nabi" adalah kafir, keluar dari 
Islam. Nabi-nabi palsu sejak zaman Nabi SAW pun diperangi. Musailamah 
al-Kadzdzab adalah bukti konkret dalam kasus ini. Itu di jaman Nabi. 
Anehnya, Guntur mengakui dalam tulisannya: Syariat hanya bisa 
menghukumi hal-hal yang tampak, di sinilah sabda Nabi menemukan 
konteknya: nahnu nahkumu bi al-dlawahir wallahu yatawalla al-sara'ir –
"kita (manusia) hanya bisa menghukumi yang lahiriah dan hanya Allah 
yang bisa menguasai yang batiniah."

    Benar sekali! MUI pun hanya mengkhumui yang zahir, bukan yang 
batin. Karena secara lahir aliran sesat itu sesat, maka dia 
disesatkan. Kenapa mesti diributkan?. Penulis pun boleh menghukumi 
saudara Guntur ini. Karena Anda membela aliran sesat –secara zahir—
maka Anda juga sesat–secara zahir. Masalah batin, kita serahkan 
kepada Allah. 

Tapi ingat, bahwa 10 kriteria sesat yang dikeluarkan MUI tidak 
bertentangan dengan rukun Islam. Jadi tidak ada alasan bahwa kriteria 
itu akan menutup "pintu dialog" versi Guntur. Abu Bakar pun tidak mau 
berdialog dengan Umar ibn al-Khatthab ketika banyak orang munafik 
yang menolak mengeluarkan zakat. Mereka malah diperangi.
Salah Faham

Ada kesalah-fahaman yang cukup berbahaya dari gaya berpikir orang 
seperti Guntur dan kaum liberal lainnya. Dalam tulisannya dia 
menyatakan: "Namun, dasar tersebut tidak menjadi pijakan kriteria 
sesat itu.
Dalam poin kesepuluh kritertia MUI tertulis, bagi mereka, kriteria 
kelompok sesat adalah "mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar'i 
seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya" . 
Hakikat poin itu masih membuka kesempatan boleh "mengafirkan sesasama 
Muslim dengan dalil syar'i". Padahal, yang seharusnya ditradisikan 
adalah larangan mengafirkan sesama Muslim meskipun bersenjata dalil 
syar'i karena selama ini tidak ada pengafiran tanpa digunakannya 
dalil syar'i. Misalnya, Khawarij yang mengafirkan Imam Ali Ra. Mereka 
mengunakan dalil-dalil syar'i, mengutip ayat-ayat Al-Quran dan Hadis."

    Di sini, kelihatannya Guntur kurang paham, jangankan soal mengaku 
Nabi, orang yang pergi ke dukun saja Nabi sudah mengkafirkan 
pelakunya. Man ata kahinan, wa shaddaqahi bima yaqul, faqad kafara 
bima unzila `ala Muhammad (Siapa yang mendatangi seorang dukun dan 
membenarkan apa yang dikatakannya, dia telah kafir kepada apa yang 
diturunkan kepada Muhammad) [HR. Muslim]. 
Dalam riwayat lain disebutkan `arrafan' (mendatangi orang pintar). 
Konon lagi yang mengaku sebagai "nabi". Ini logika apa?! Khawarij 
memang mengkafirkan Imam Ali lewat dalil-dalil syar`i. Tetapi dalil-
dalil itu dipahami secara terbalik, diplintir sedemikian rupa agar 
sesuai dengan hawa nafsunya. Oleh karena itu, Imam Ali 
menyatakan, "Kalimatul haqqi yuradu biha batil" (Kata yang benar, 
tetapi maksudnya busuk (batil)). Ini sama dengan Mirza Ghulam Ahmad, 
pencentus Ahmadiyah. Dia juga menggunakan dalil syari`i ketika 
mengaku sebagai "nabi". 
Firman Allah dalam surah al-Shaff (Qs. 61: 6) diklaim 
mendukung `kenabiannya'. Kata "Ahmad" dalam surah itu ditafsirkan 
sebagai "Ahmad" dirinya.

    Padahal itu adalah nubuwat dari nabi `Isa as., yang meramalkan 
kehadiran Nabi Muhammad SAW. Tentu saja maksud Mirza sangat baik, 
tapi tetap batil. Tidak dapat dibenarkan.
Penulis kira, mendukung sebuah pemikiran dan aliran pun kadang harus 
cerdas. Jika tidak, kita malah terjebak dalam ambiguitas pemikiran. 
Bukan hanya itu, kita juga justru akan terjebak dalam pengkafiran 
pihak lain. Wallahu a`lamu bi al-shawab. []

   Penulis adalah Alumnus Universitas Al-Azhar. Sekarang menjadi staf 
pengajar di Pon. Pes. Ar-Raudhatul-Hasanah, Medan-Sumatera Utara. 
Penulis juga peminat studi Al-Qur'an, Hadits dan Kristologi. 
[www.hidayatullah.com]  
  

       
---------------------------------
Get easy, one-click access to your favorites.  Make Yahoo! your 
homepage.

[Non-text portions of this message have been removed]

--- End forwarded message ---


Kirim email ke