http://www.indomedia.com/poskup/2008/01/03/edisi03/opini.htm


Tahun 2008: Kembali ke martabat manusia

(Refleksi di awal tahun)

Oleh: Salvano Jaman



Lahir di Manggarai 8 April 1986. Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere-Flores, 
tinggal di Wisma St.Gabriel.

KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendedikasikan tahun 2008 
sebagai tahun untuk korban pelanggaran HAM. Dalam mewujudkan hal ini, Komnas 
HAM akan melakukan kampanye penegakan HAM secara sistematis yang bergerak dalam 
dua arah berikut. Pertama, berusaha memasukkan wacana HAM dalam setiap 
kebijakan pemerintah yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Kedua, menumbuhkan 
kesadaran bahwa melanggar HAM sama dengan melanggar konstitusi atau hukum 
negara (bdk. Kompas, 5 Desember 2007, hal. 5). Di awal tahun 2008 ini, saya 
mengajak kita untuk bersama-sama merefleksikan apa yang telah dicetuskan Komnas 
HAM tersebut karena sesungguhnya rencana Komnas HAM merupakan sebuah agenda 
politik yang sangat mendasar dan mendesak. Mendasar karena ia berkaitan dengan 
masalah kemanusiaan atau martabat manusia, dan mendesak karena ia berkaitan 
dengan upaya pelurusan kiprah dan kinerja politik yang selama ini berada di 
luar jalur etika politik yang benar.

Tentang dua jalan yang diambil Komnas HAM di atas, ada beberapa catatan yang 
perlu diperhatikan. Jalan pertama, memasukkan wacana HAM dalam setiap kebijakan 
(politik) pemerintah yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Hemat saya, upaya 
ini sebenarnya bersentuhan langsung dengan esensi politik itu sendiri. Politik 
berkaitan erat dengan HAM atau martabat manusia. Bagaimana menjelaskan 
pernyataan ini? Politik secara sederhana diartikan sebagai sebuah upaya 
penentuan kebijakan publik untuk mencapai kesejahteraan bersama (bonum 
commune). Namun, apa kriteria sebuah kesejahteraan bersama? Hal ini perlu 
dijelaskan karena kesejahteraan bersama seringkali dipertentangkan dengan 
kesejahteraan pribadi (bonum individuale). Namun, pertentangan ini tidak 
menjadi alasan untuk tidak mengaitkan kesejahteraan bersama dengan 
kesejahteraan pribadi karena yang bersama (umum) merupakan gabungan dari yang 
individu. Yang umum merupakan apa yang dimiliki secara bersama oleh setiap 
individu. Yang umum berarti yang mengikat semua individu secara bersama-sama. 
Yang umum tidak pernah terlepas dari yang individu.

Hal yang paling umum atau yang dimiliki secara individual adalah hak-hak asasi 
yang melekat erat dari martabat manusia. Hak-hak asasi merupakan hak-hak yang 
dimiliki oleh setiap orang dalam satu satuan sosial tertentu. Jika demikian, 
politik pertama-tama berarti sebuah upaya menentukan kebijakan publik untuk 
memenuhi tuntutan perwujudan HAM. Kriteria utama kesejahteraan umum adalah 
penghormatan terhadap HAM.. Konsekuensinya, memasukkan wacana HAM dalam setiap 
kebijakan publik merupakan sebuah keharusan ontologis. Artinya HAM dan 
pemenuhan HAM setiap warga masyarakat mesti menjadi dasar setiap kebijakan 
publik yang diambil. Kebijakan publik sebagai bagian integral dari politik 
tidak bisa tidak memasukkan unsur HAM di dalamnya. Konsekuensi lainnya adalah, 
kita tidak bisa mengorbankan HAM warga masyarakat demi kesejahteraan umum. 
Dengan kata lain, argumen kesejahteraan umum tidak bisa digunakan untuk 
memberlakukan kebijakan yang nyata-nyata melanggar HAM. HAM adalah kriteria 
tertinggi pemberlakuan sebuah kebijakan politik. Upaya mencapai kesejahteraan 
umum dengan mengorbankan HAM warga masyarakat merupakan sebuah upaya 
kontradiksi. Jika sebuah kebijakan publik ternyata mengandung di dalamnya 
kemungkinan melanggar HAM, maka kebijakan itu semestinya tidak boleh 
diberlakukan.

Namun, politik sebagai pengaturan kebijakan untuk mencapai kesejahteraan 
bersama tidak berhenti pada upaya pemenuhan HAM setiap warga. Politik juga 
mestinya menjadi sarana untuk membangun rasa solidaritas antarwarga masyarakat. 
Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa setiap individu itu sama-sama 
merupakan bagian dari satuan sosial tertentu yang memiliki perjalanan sejarah 
yang sama dan tinggal pada satu wilayah yang sama. Politik selalu berkaitan 
dengan kebersamaan karena politik mengurus kesejahteraan bersama. Sebagai 
urusan bersama, politik tidak hanya menjadi urusan para politisi. Setiap warga 
masyarakat juga mesti dilibatkan dan melibatkan diri dalam pencapaian 
kesejahteraan bersama. Keterlibatan masyarakat merupakan bagian integral dari 
upaya pemenuhan HAM, karena melaluinya setiap individu dipandang sebagai 
individu yang penting dan oleh karenanya ia merasa dihargai dan diberdayakan. 
Penghargaan dan pemberdayaan setiap individu yang menyata dalam bentuk 
keterlibatannya merupakan sebuah bentuk penghormatan terhadap martabat manusia. 
Selain itu, solidaritas warga juga dibutuhkan dalam pelaksanaan perangkat 
perundang-undangan dalam sebuah masyarakat politik. Dalam hal ini, solidaritas 
dibutuhkan agar setiap warga tetap menjaga keseimbangan antara tuntutan 
pelaksanaan hak dan pelaksanaan kewajibannya. Keseimbangan itu hanya akan 
tercapai jika masyarakat memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Semakin tinggi 
solidaritas, semakin tinggi pula kesadaran akan keseimbangan pelaksanaan dan 
kewajiban, dan semakin tinggi kemungkinan pencapaian kesejahteraan bersama.

Kembali ke Komnas HAM. Sampai di sini, dapat dikatakan bahwa upaya komnas HAM 
untuk selalu memasukkan wacana HAM dalam setiap kebijakan politik sebenarnya 
mempertegas kembali esensi dan arti politik itu sendiri. Namun, hemat saya, 
upaya ke arah tersebut hanya akan efektif jika dipenuhi syarat-syarat berikut. 
Syarat pertama, konsistensi perjuangan. Upaya memasukkan wacana HAM dalam 
setiap kebijakan mestinya dilakukan secara konsisten. Sejauh politik menjadi 
bagian dari hidup manusia, maka sejauh itu pula wacana HAM tidak pernah 
didiamkan. Politik dan HAM adalah dua hal dalam satu-kesatuan. Syarat kedua 
adalah membangun jejaring untuk menggalang solidaritas dan kekuatan. Perjuangan 
akan semakin efektif apabila semakin banyak orang atau kelompok yang terlibat 
dalamnya. Dengan membangun jejaring, kita sebenarnya meningkatkan rasa 
solidaritas antar warga masyarakat. Semakin banyak orang atau jaringan yang 
terbentuk semakin tinggi pula tingkat solidaritas antarwarga dan semakin besar 
pula kemungkinan keberhasilan dari upaya tersebut.

Syarat ketiga, keberanian untuk mengusut pelbagai praktik pelanggaran HAM pada 
masa lalu. Mendedikasikan tahun 2008 sebagai tahun para korban pelanggar HAM 
berarti juga menyatakan kesediaan mengupas tuntas pelbagai persoalan 
pelanggaran HAM pada masa lampau kemudian kemauan kuat untuk belajar darinya. 
Hanya dengan itu, kita tidak akan jatuh lagi pada kesalahan yang sama. Syarat 
terakhir, terciptanya sistem pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan yang 
demokratis akan menjadi syarat selain disedianya suatu ruang kebebasan bagi 
setiap perjuangan tetapi juga dan terutama adalah kesediaan dan keterbukaan 
dari pemerintah untuk memperhatikan atau mempertimbangkan pelbagai perjuangan 
tersebut. Perjuangan kita akan sia-sia di hadapan suatu pemerintahan yang 
otoriter dan feodal.

Setelah mendiskusikan jalan pertama Komnas HAM di atas, kita masuk ke jalan 
kedua, yakni menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa melanggar HAM sama dengan 
melanggar konstitusi atau hukum negara. Pernyataan bahwa melanggar HAM sama 
dengan melanggar konstitusi atau hukum negara tampaknya perlu diklarifikasi 
lebih jauh. Ada dua hal yang dapat diangkat di sini. Pertama, apakah pelbagai 
perangkat dan sistem hukum dalam negara kita kita sungguh-sungguh telah adil? 
Sebab mengatakan melanggar HAM sama dengan melanggar hukum itu mengandaikan 
bahwa hukum itu sendiri di dalamnya telah adil dan pelaksanaannya juga 
memungkinkan tegaknya keadilan yang merupakan bagian integral dari pemenuhan 
HAM. Seandainya masih terdapat rumusan hukum dalam negara kita yang tidak adil 
atau diskriminatif, maka kita belum dapat secara pasti mengatakan bahwa 
melanggar HAM sama dengan melanggar hukum negara. Bandingkan dengan hukuman 
mati yang masih berlaku di Indonesia. Hukuman mati an sich sudah merupakan 
sebuah bentuk pelanggaran terhadap HAM. Kedua, apakah semua bentuk kejahatan 
atau praktik pelanggaran HAM telah dirumuskan aturannya dalam sistem hukum 
negara kita? Hal ini menjadi penting untuk diangkat mengingat bangsa Indonesia 
merupakan salah satu negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental. 
Secara umum, sistem ini mengatakan bahwa setiap kejahatan baru bisa disebut 
melanggar hukum sejauh itu telah diatur dalam Undang-Undang atau hukum yang 
tertulis. Itu berarti bahwa tidak akan ada kejahatan atau pelanggaran HAM jika 
itu tidak diatur dalam hukum. Kenyataan ini jugalah yang seringkali membuat 
para penegak hukum tidak mengurus kejahatan tertentu karena tidak ada dasar 
hukumnya atau kejahatan tersebut belum ada aturan hukumnya.

Kedua persoalan yang kondradiktoris di atas mengharuskan kita untuk melihat 
kembali dasar filosofis adanya hukum dalam kehidupan bersama. Lahirnya hukum 
dalam kehidupan bersama merupakan konsekuensi logis dari eksistensi manusia 
sendiri. Hidup ini manusia adalah sebuah eksistensi (eks artinya keluar, dan 
sistere artinya tampil) artinya manusia itu sendiri menurut kodratnya keluar 
dari dirinya, melampaui dirinya, mentransendensikankan dirinya. Eksistensi 
manusia adalah sekaligus pelampauan. Dan pelampauan ini meniscayakan sebuah 
kebersamaan; suatu perjumpaan dengan orang lain. Dalam konteks inilah kehadiran 
sebuah hukum menjadi sangat penting. Hukum ada untuk mengatur jalannya 
eksistensi dan pelampauan hidup manusia. Hukum mengatur agar pelampauan 
masing-masing individu berjalan dalam porsi yang seimbang sehingga pelampauan 
diri seseorang tidak menghambat pelampauan diri dari yang lain. Hukum ada untuk 
mengakomodir, mentransendensikan kepentingan individual setiap manusia kepada 
kepentingan bersama, umum. Dalam kehidupan bersama itu, setiap manusia mendapat 
ruang, dihargai sebagai manusia yang bereksistensi dan bertransendensi, yang 
berada dan melampaui dirinya kepada sesuatu yang lain. Obyektivitas dan 
universalitas hukum terletak pada kekuatannya untuk memberikan ruang yang sama 
bagi setiap manusia. Hukum tidak bisa terlepas dari individualitas setiap 
manusia, tetapi sekaligus tidak bisa tidak melampaui individualitas. Pelampauan 
inilah yang bisa membendung bahaya 'kesepihakan' hukum terhadap 
kepentingan-kepentingan subyektif tertentu (VOX Seri 50/2/2005).

Konsekuensi dari pelampauan ini adalah keadilan. Karena itu, hukum pertama-tama 
bertujuan untuk menegakkan keadilan. Imanuel Kant (1724-1804) menyatakan bahwa 
hukum merupakan bagian tuntutan moral (imperatif kategoris), yakni imperatif 
yang menuntut supaya manusia menegakkan keadilan. Keadilan ini menurut Kant, 
harus tampak, dalam setiap undang-undang yang yang dibuat manusia. 
Undang-undang hanya bisa disebut hukum jika dan hanya jika ia adil. Adil 
merupakan unsur konstitutif (idiil) dari hukum. Bila hukum bertentangan dengan 
keadilan, maka ia tidak memiliki kekuatan normatif dan karena itu tidak bisa 
dikategorikan sebagai hukum. Dari penjelasan di atas, kita baru bisa menerima 
bahwa melanggar HAM sama dengan melanggar hukum jika hukum itu sendiri 
mengandung nilai keadilan sebagai bagian inheren dari penegakan HAM. Penegakan 
HAM adalah juga menegakkan keadilan, karena setiap orang diberikan kesempatan 
yang sama dan seimbang. Jika demikian, pertimbangan pertama di atas hanya akan 
diterima jika dan hanya jika pelbagai undang-undang dan sistem hukum di 
Indonesia betul-betul mengandung nilai keadilan di dalamnya sebagai unsur 
konstitutif dari sebuah hukum.

Upaya penegakan keadilan selain merupakan tugas bersama para warga negara 
tetapi terutama tugas mereka yang dipercayakan secara khusus, dalam hal ini 
para penegak hukum. Para penegak hukum pertama-tama bekerja untuk menegakkan 
hukum dan karena itu juga bekerja untuk menegakkan keadilan. Keadilan menjadi 
titik perhatian dan sasaran utama para penegak hukum dalam setiap proses hukum. 
Itu berarti bahwa hukum hanyalah instrumen untuk menegakkan keadilan. Akan 
timbul persoalan jika kita berhadapan dengan suatu tindak kejahatan misalnya 
tetapi hal tersebut tidak diatur dalam hukum. Dalam banyak hal, para penegak 
hukum kita melarikan diri dari upaya menegakkan keadilan hanya karena tindak 
kejahatan itu tidak memiliki dasar hukum yang menjadi landasan yuridis untuk 
memrosesnya.

Dalam kondisi seperti ini, kebijaksanaan moral para penegak hukum amat dituntut 
dan para penegak hukum semestinya menyadari bahwa hukum hanyalah sarana dalam 
menegakkan keadilan. Hal ini berarti bahwa ketika kita tidak memiliki dasar 
hukum yang jelas untuk menyelesaikan sebuah persoalan ketidakadilan, kita 
dituntut untuk mencari alternatif lain demi tegaknya nilai keadilan. Kita tidak 
bisa mendiamkan saja sebuah fakta ketidakadilan (korupsi misalnya) hanya karena 
itu tidak memiliki dasar hukumnya. Para penegak hukum pertama-tama adalah 
penegak keadilan dan menegakkan hukum hanyalah sarana untuk menegakkan keadilan 
tersebut. Jika demikian, hukum yang tidak adil tidak bisa diberlakukan karena 
akan membuahkan ketidakadilan, tetapi juga bahwa kita tidak bisa melepaskan 
begitu saja pelbagai persoalan ketidakadilan hanya karena itu tidak diatur 
dalam hukum tertentu.

Kebijaksanaan moral para penegak hukum ketika berhadapan dengan lemahnya sistem 
hukum (seperti adanya hukum yang tidak adil misalnya) dan ketiadaan dasar hukum 
tertentu untuk memroses sebuah fakta ketidakadilan amatlah dibutuhkan dalam 
penegakan keadilan. Namun, hemat saya, kebijaksaan moral ini hanya akan 
signifikan jika dipenuhi syarat berikut. Pertama, komitmen dari para penegak 
hukum untuk hanya memperjuangkan dan menegakkan nilai keadilan. Para penegak 
hukum mesti imun terhadap pelbagai kepentingan subjektif tertentu dan hanya 
berjuang untuk kepentigan bersama. Dalam hal ini, integritas dan komitmen moral 
untuk hanya menegakkan keadilan sangatlah dibutuhkan. Kedua, sistem 
pemerintahan yang demokratis. Sistem pemerintahan yang demokratis akan 
memberikan ruang bagi publik untuk dapat mengontrol pelbagai proses penegakan 
keadilan. Komitmen moral para penegak hukum dan sistem pemerintahan yang 
demokratis, bukan tidak mungkin, dalam konteks tertentu di mana tidak ada atau 
belum ada basis hukum bagi penegakan keadilan sekalipun, keadilan sebagai nilai 
yang melampaui individu-individu benar-benar ditegakkan.

Upaya untuk menegakkan HAM dan keadilan adalah sebuah misi mulia, karena di 
dalamnya kita berjuang untuk meluhurkan martabat manusia. Martabat manusia 
perlu dihargai dan diperjuangkan secara terus-menerus. Dan ini hanya akan 
tercapai jika politik sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama dan 
sistem hukum yang mengatur usaha untuk mencapai kesejahteraan itu 
sungguh-sungguh menempatkan martabat manusia pada posisi yang paling tinggi. 
Mari kita kembali ke martabat manusia. 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke