KOMPAS
Kamis, 03 Januari 2008

  
Demokrasi Tidak, Sejahtera Tidak 


Salahuddin Wahid 

Kembali Wapres Jusuf Kalla melontarkan pernyataan yang memicu komentar negatif. 
Banyak sekali tulisan atau wawancara yang menyalahkan pendapat JK itu dan 
intinya, demokrasi berjalan seiring dengan kesejahteraan. Hanya tulisan Amich 
Alhumami, "Mitos Demokrasi untuk Kesejahteraan" (Kompas, 27/12/2007), yang 
memahami pernyataan JK. 

Dikutipnya pendapat Lee Kuan Yew (LKY): "I believe what a country needs to 
develop is discipline more than democracy. The exuberance of democracy leads to 
indiscipline and disorderly conduct, which are inimical to development." Kita 
bisa menolak pendapat LKY, tetapi ternyata apa yang dikatakannya itu memang 
sesuai dengan kondisi rakyat Singapura dan betul-betul mampu mewujudkan 
kesejahteraan. 

Demokrasi uang 

Demokrasi liberal umumnya digambarkan sebagai demokrasi terbaik yang pernah 
diterapkan di Indonesia. Tetapi, sebenarnya era saat itu tidaklah sebagus yang 
digambarkan. Silih berganti kabinet berdiri dan sekitar setahun kemudian harus 
bubar. Stabilitas politik tidak ada sehingga tidak memungkinkan berjalannya 
program yang sinambung. Bung Hatta dalam pidato perpisahannya saat akan 
mengundurkan diri (1956) mengecam perilaku partai-partai yang didasarkan atas 
kepentingan pribadi yang sempit. Gemas terhadap jatuh-bangunnya kabinet, Bung 
Karno menunjuk Juanda (tokoh nonpartai) sebagai PM pada April 1957, yang 
merupakan awal dari Demokrasi Terpimpin. 

Dalam era Demokrasi Terpimpin, banyak tokoh yang berjasa besar pada bangsa 
ditangkap dan ditahan sampai akhir 1965, antara lain Sutan Syahrir, Mohammad 
Roem, Mohammad Natsir, Hamka, Mochtar Lubis, dan Imron Rosyadi. Ketua MPR, 
ketua DPR, dan ketua MA dimasukkan ke dalam kabinet, yang bertentangan dengan 
prinsip checks and balances. Era Demokrasi Terpimpin sebenarnya adalah rezim 
otoriter. 

Era Demokrasi Pancasila tak banyak berbeda. Banyak tokoh mahasiswa yang 
ditangkap, seperti Syahrir, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Marsillam, Mahbub 
Djunaedi, Hariman Siregar, dan Fadjroel Rachman. Tindakan kekerasan yang dapat 
dianggap melanggar HAM berat terjadi terutama di Aceh dan Irian Jaya. Peristiwa 
penculikan tahun 1997, kerusuhan di banyak tempat yang kuat diduga sebagai 
rekayasa pemerintah, kasus 27 Juli 1997, dan kerusuhan Mei 1998 adalah sejumlah 
contoh dari betapa rawannya situasi politik dalam rezim otoriter Orde Baru. 

Dalam pidato pengukuhan guru besar di UGM, Riswandha Imawan menyatakan bahwa 
demokrasi di Indonesia mulai bergerak menjauh dari pengabdian kepada 
kepentingan rakyat. Demokrasi telah menjadi kendaraan efektif bagi elite untuk 
mempertahankan kekuasaan, bukan lagi diikhtiarkan untuk rakyat. Kalaupun ada 
konsep ikhtiar untuk rakyat, semua hanya lips service. Para pedagang 
tradisional yang tergusur dan korban Lapindo merasa bahwa partai dan tokoh 
politik tidak memerhatikan mereka. 

Fakta menunjukkan bahwa biaya pemilu, pilkada, dan pilpres amat besar. Biaya 
dan mutu demokrasi yang dihasilkan tidak seimbang. Reaksi yang muncul, ada yang 
mengatakan bahwa demokrasi dapat dinomorduakan, yang penting kesejahteraan. 
Reaksi lain, gubernur sebaiknya ditunjuk oleh presiden. 

Demokrasi ekonomi dan demokrasi politik harus berjalan bersama. Jika 
perekonomian hanya memberi kesempatan berkembang kepada kelompok tertentu yang 
jumlahnya sedikit dan mengabaikan nasib sebagian besar rakyat (contohnya 
pembangunan pasar di banyak kota, seperti Pasar Tanah Abang dan Pasar Blok M, 
pemberian HPH kepada sejumlah kroni), demokrasi tidak akan berumur panjang. 
Kalaupun ada, prosesnya masih demokratis tetapi sebenarnya tidak, prosedural 
tetapi tidak substansial. 

Suara rakyat dapat dibeli sebagaimana kita lihat contohnya dalam pemilu dan 
pilkada di banyak tempat. Maka, yang muncul sebagai calon dalam pilkada dan 
pilpres adalah mereka yang punya uang dalam jumlah amat besar, walaupun mereka 
tidak punya integritas. Tokoh yang punya kemampuan dan karakternya baik tak 
bisa muncul karena tidak punya uang. Maka, demokrasi kita adalah demokrasi 
uang. 

Tercampaknya rasa keadilan 

Demokrasi tidak bisa dipisahkan dari keberanian lembaga-lembaga hukum. 
Pemerintah yang demokratis tidak bisa dipisahkan dari konsep dasar hak asasi 
dan kesetaraan individu yang dijunjung tinggi. Lumpuhnya demokrasi pada 
1957-1965 tidak bisa dilepaskan dari lumpuhnya rule of law dan lembaga-lembaga 
hukum. 

Pada 1950-an, menurut Daniel S Lev, dunia hukum Indonesia masih punya 
integritas. Jaksa sangat kukuh dan tidak memberi ruang untuk kompromi. Ketua MA 
punya wibawa tinggi dan menempatkan diri sejajar dengan presiden. Lembaga MA 
mulai hancur saat Bung Karno mengangkat Ketua MA Wiryono Prodjodikoro sebagai 
Menteri Penasihat Hukum. 

Pada era Orde Baru, kondisi lembaga hukum secara struktural ditempatkan 
posisinya sesuai UU, tetapi secara umum tidak diisi oleh pribadi-pribadi yang 
punya keberanian. Wakil Jaksa Agung Priatna Abdur Rasyid, yang berani menentang 
perintah Pak Harto untuk menghentikan pemeriksaan terhadap Dirut Pertamina, 
diberhentikan. Kepala Polri Hugeng yang ke rumah Pak Harto di Jalan Cendana 
untuk melaporkan rencana menindak pengusaha backing penyelundup ternyata 
berjumpa sang pengusaha itu di sana. 

Lembaga hukum saat ini masih jauh dari harapan masyarakat, walaupun sudah ada 
kemajuan. Banyak keputusan hakim yang dianggap masyarakat tidak memenuhi rasa 
keadilan, seperti yang terkait pembalakan liar. Ketidaksediaan MA diperiksa 
oleh BPK dan adanya rekening liar MA membawa citra kurang baik. Komisi Yudisial 
yang tugasnya mengawasi para hakim justru seorang anggotanya tersangkut kasus. 

Seorang guru besar ilmu hukum menulis bahwa teori tentang hukum sebagai peranti 
rekayasa pembaruan masyarakat (law as a tool of social engineering) di 
Indonesia telah bergeser menjadi alat rekayasa pembenaran korupsi (law as a 
tool of corruption engineering). Itu adalah salah satu kesimpulan dari forum 
Experts Meeting saat membedah PP No 37/2006 di Pusat Studi Antikorupsi FH UGM. 
Menurut dia, paham natural law yang menekankan bahwa hukum harus berdasar 
moral, memuat budi baik, dan penuh rasa keadilan telah tercampak dari proses 
pembuatan hukum dan digantikan oleh aliran positivisme yang mengatakan bahwa 
hukum adalah apa pun yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang membuatnya. 

Kenyataan pahit 

Amich Alhumami menyimpulkan bahwa hubungan demokrasi-kesejahteraan tidak 
bersifat linier-kausalistik, melainkan nonlinier-kondisional yang melibatkan 
banyak faktor, seperti pengalaman sejarah, basis sosial, struktur masyarakat, 
pendidikan penduduk, penegakan hukum, kemantapan/kelenturan institusi politik. 

Sejumlah catatan di atas membenarkan kesimpulan Amich Alhumami itu. Kita masih 
perlu banyak belajar dan memperbaiki banyak hal untuk bisa mewujudkan 
demokrasi. Kalau harus menjawab mana yang dipilih kalau kita harus memilih 
demokrasi atau kesejahteraan, JK mengikuti LKY dan memilih kesejahteraan. 
Banyak tokoh lain tetap bersikeras bahwa kita tidak harus memilih, kita bisa 
memperoleh keduanya. 

Sayang kenyataan pahit menunjukkan bahwa kita justru tidak memperoleh keduanya. 
Kita tidak memperoleh demokrasi dan kita tidak memperoleh kesejahteraan. 
Tetapi, kita tidak mungkin kembali kepada otoritarianisme karena sejarah 
menunjukkan bahwa sistem itu tidak mampu memberi kesejahteraan. Jadi, kita 
harus terus memperjuangkan demokrasi dengan memenuhi syarat-syaratnya, yaitu 
penegakan hukum dan keadilan secara nyata dan memperbaiki kehidupan kepartaian 
dengan menampilkan politisi yang berkarakter, berbudaya, bertanggung jawab, dan 
punya rasa malu. 

Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke