bersyukurlah Film nasional indonesia sdh berkibar
kembali.. AAC byk merebut konsument tdk hanya
diindonesia tapi diasia tenggara.. siapa tahu
mendunia...
Mungkin suatu saat bisa bersaing dengan film2 india
atau bahkan film amrik.. inget loh india dan amrik byk
income negara dari main film he3....
Apalagi mayoritas muslim diindonesia.. sdh saatnya
film2 ABG spt cewek metropolis dsjtnya di rubah ke spt
AAC...

Ayo hanung dll bikin film nuansa islami spt diatas
yang banyak.. pesantren2 diindonesia siap menampung..
juga di GCC siap membantu.. qatar-UAE okey... he3.. 
boleh hanung atau asisten nya kru ane invest he3...

Smg perfilman indonesia menuju islami aja dech
daripada demo ABG he3...
Lumayan mengurangi kemiskinan & menambah kecerdasan...
penjualan buku dan film laris he3... 

slm,
ali





--- "L.Meilany" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Lha iya memang begitu.
> Namanya juga film yg diambil dari novel fiksi.
> Critanya saja mungkin sudah tidak masuk diakal [
> meskipun tuturan bahasanya bagus, ini yg saya
> pujikan]
> Ketika dituangkan ke film, skenarionya boleh saja
> diubah sesuai kepentingan produser.
> Dalam arti film harus mempunyai nilai komersil:
> harus indah, kalo sedih juga wajahnya harus indah.
> kalo miskin juga penampakannya harus indah
> :-))
> 
> Salam, 
> l.meilany
> 
>   ----- Original Message ----- 
>   From: mediacare 
>   To: wanita-muslimah@yahoogroups.com ;
> [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ;
> [EMAIL PROTECTED] ; wartawan
> indonesia ; [EMAIL PROTECTED] ;
> [EMAIL PROTECTED] ; wolu 
>   Sent: Friday, March 28, 2008 10:50 PM
>   Subject: [wanita-muslimah] Ayat-Ayat Cinta,
> hati-hati menontonnya
> 
> 
>   Ayat-Ayat Cinta, hati-hati menontonnya
> 
>   Oleh: [EMAIL PROTECTED]
> 
>   Menonton film Indonesia? Rasanya walaupun diberi
>   imbalan HP Nokia terbaru saya kok memilih lebih
> baik
>   menemani ponakan saya main petak-umpet.. Kenapa
>   begitu. Film Indonesia, Sinetron Indonesia, setiap
>   kali saya - tanpa sengaja - menontonnya, malah
> membuat
>   saya seperti orang bodoh. Jalan ceritanya terlalu
>   mudah untuk dicerna dan ditebak. Dialog-dialognya
>   kosong dan tak ada yang memancing indera
>   "keingintahuan". Personil yang main juga tidak
>   didukung dengan karakter yang tajam. Aktingnya
> terasa
>   sekali dibuat - buat. Yang ditonjolkan hanya
>   wajah-wajah cantik yang mengundang imajinasi porno
>   para penontonnya. 
> 
>   Begitu juga dengan film Indonesia terbaru,
> Ayat-ayat
>   Cinta (AAT). Tidak ada hal yang baru dalam alur
>   ceritanya. Semuanya berputar-putar pada masalah 
>   primitif hawa nafsu manusia, hubungan lain jenis,
> yang
>   90 persen menjadi topik film dan sinetron
> Indonesia.
> 
>   Kalau bukan karena istri saya yang merengek-rengek
>   minta nonton film kacangan seperti itu, saya tak
> akan
>   merepotkan diri membuang duit ke bioskop. Bujukan
> saya
>   untuk membeli VCD bajakannya saja ternyata tidak
>   mempan. "Kalau nonton di VCD kan bisa
> diulang-ulang
>   dan lebih murah," Rayu saya. Tapi bibirnya malah
> makin
>   manyun, pipinya jadi merah, dan tubuh saya habis
>   dicubitin. "Tapi ini bagus, Mas. Ceritanya Islami
> dan
>   tetang poligami", serunya. Wah, kalau alasan yang
>   terakhir itu saya tertarik. Akhirnya sebagai suami
>   yang sayang istri, saya pun dengan gentleman
>   mengantarnya nonton. 
> 
>   Benar tuduhan saya terhadap film AAT. Jalan
> ceritanya
>   membuat saya menguap berkali-kali. Topik yang
>   disuguhkan tidak fokus. Ceritanya sendiri
> mengisahkan
>   seorang mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut
> ilmu
>   di Mesir. Di mana lagi kalau bukan di Universitas
> Al
>   Azhar yang kesohor itu. Tapi di situ tidak
> dijelaskan,
>   sang bintang, yang bernama Fahri, mengambil fak
> apa,
>   jurusan apa. Pokoknya kuliah, gitu aja. 
> 
>   Dan selama film berlangsung, saya menunggu-nunggu
>   setting gambar fisik bangunan Al Azhar yang sudah
>   berumur 1000 tahun itu. Tapi sampai film habis,
> tak
>   diperlihatkan sama sekali suasana kampus, suasana
> para
>   pemain yang sedang kuliah menuntut ilmu dengan
>   dosen-dosennya yang brilian. Atau sebagian bentuk
>   bangunan Al Azharnya. Malah pemandangan tangga
> kampus,
>   yang menurut saya mirip tangga masuk masjid Al
> Azhar,
>   Kebayoran Baru, bukan Al Azhar Kairo. 
> 
>   Adegan pertama, terjadi dalam sebuah kereta api.
> Sang
>   bintang menjadi "hero" dengan membela seorang
> wanita
>   bercadar yang hendak ditampar seorang muslim
> radikal
>   karena memberi tempat duduk pada ibu-ibu Amerika.
>   Adegan diawali degan sikap dan dialog para
> penumpang
>   di kereta yang terasa mengada-ada. "Ada orang
> kafir
>   lewat" begitu kira-kira mereka berkata. Padahal
> mereka
>   adalah mahasiswa-mahasiswa yang tentunya punya
> rasa
>   humanisme yang tinggi. Mesir adalah negara muslim
> yang
>   moderat dan cenderung liberal. Jadi bukan hal aneh
>   lagi kalau ada cewek asing lewat. Dan tak akan
> mungkin
>   mereka mendisposisikan turis itu sebagai "kafir"
>   secara explisit. Attitude seperti itu sangat
>   melecehkan warga Mesir (dan muslim), karena segitu
>   banyak penumpang, masak tak ada yang mau memberi
>   tempat duduk pada wanita tua, walaupun beda agama.
>   Yang memberi tempat duduk malah seorang muslimah
>   bercadar yang berkewarganegaraan Jerman, Aishah.
> 
>   Seperti sinetron-sinetron lainnya, sang wanita
> yang
>   dibela kemudian merasa simpati terhadap
> "pahlawannya"
>   yang telah membelanya, apalagi wajah si pembela
> bonyok
>   dihantam si penjahat. Di sini supaya lebih heroik
>   sebenarnya si Fahri tidak perlu ditolong oleh
>   kawan-kawannya. Dengan ilmu kanuragan ala Lamongan
>   mustinya si Fahri bisa membela diri, gitu.
> Walaupun
>   nantinya si penjahat ternyata lebih sakti, dan si
>   Fahri kalah. 
> 
>   Drama babak pertama berakhir dengan kemenangan si
>   penjahat yang berteriak "Allahu Akbar". Di sini
> saya
>   bingung. Kenapa si antagonis, extrimis muslim yang
>   keras kepala tsb sampai akhir cerita tidak
> dimunculkan
>   lagi. Ceritanya akan sedikit lebih bagus kalau
> orang
>   yang mukul si Fahri tsb kemudian menyadari
>   kekeliruannya dan kembali ke jalan yang benar.
> 
>   Sang amerika yang ditolong Aishah ternyata adalah
>   jurnalis yang sedang mengadakan penelitian
> mengenai
>   Islam. Si Fahri, yang membela Aishah, ternyata
>   kemudian dijadikan nara sumber. Dalam wawancara
> antara
>   jurnalis dan Fahri nampak sekali kemiskinan dialog
>   yang disuguhkan. Setiap pertanyaan si jurnalis
> selalu
>   dijawab Fahri dengan singkat, ditambahi dengan
> kata,
>   "Semuanya sudah saya tulis di buku saya". Kalau
>   begitu, ngapain si Jurnalis jauh-jauh datang dari
>   amrik, mendingan baca artikel tentang Islam di
>   internet. Cukup dua pertanyaan saja yang
> dimunculkan
>   di film itu. Lalu adegan berganti. Cewek amrik itu
> tak
>   pernah dimunculkan lagi sampai film habis.
> Mustinya
>   sutradara lebih jeli dengan memunculkannya di hari
>   pernikahan Fahri.
> 
>   Adegan berganti dengan acara ta'aruf antara Aishah
>   dan Fahri. Si Fahri yang hanya anak penjual tape,
>   ditaksir si Aishah yang anak konglomerat Jerman.
> Tokoh
>   Aishah di sini sangat tidak mirip dengan wajah
>   Jerman. Mungkin terlalu mahal untuk menyewa artis
>   Jerman asli. Begitu juga dengan orang-orang
> Mesirnya,
>   banyak yang gadungan. Disewa dari hasil pencarian
> di
>   pinggir-pinggir jalan Matraman (kasar amat.
> Sorry).
>   Mereka hanya turunan. Untung hidungnya masih
> kelihatan
>   mancung. 
> 
>   Walaupun si Fahri mengaku miskin, anak penjual
> tape
>   (tapi bisa punya ongkos ke Mesir). Cinta Aishah
> tak
>   terpatahkan. Semua biaya akan ditanggung pihak
> wanita.
> 
=== message truncated ===



      
____________________________________________________________________________________
Special deal for Yahoo! users & friends - No Cost. Get a month of Blockbuster 
Total Access now 
http://tc.deals.yahoo.com/tc/blockbuster/text3.com

Kirim email ke