Mba Herni,
"Yang realitasnya" adalah bahwa laki2 maupun perempuan sama-sama 
berubah dan mengalami perubahan. "Yang seharusnya" mungkin bervariasi 
di antara laki-laki dan perempuan tergantung persepsi kita.  Dalam 
persepsi umum mungkin kita mengira bahwa laki2 nggak mau berubah 
dalam relasi laki2 dan perempuan, karena kondisi yang ada. Dan ada 
juga sebagian perempuan persepsinya menolak perubahan.

Jangan salah, sebagian laki-laki menginginkan perubahan karena meliat 
manfaatnya, misalnya beban tugasnya jadi lebih ringan karena di-
sharing dengan isterinya.  Yang sulit bagi sebagian cowok mungkin 
keharusan dia kudu sharing pekerjaan rumah dan mengurus anak2 juga. 
Ini kan namanya sikap ego mau menang sendiri, dan mesti dihilangkan.

Betul mba Lina, yang normal adalah kalau masing2 nyaman dan menjalani 
hak/kewajiban masing2.  Perubahan adalah proses normal, hikayat 
kehidupan.  

Di pedesaan terpencil di Indonesia, laki2 dan perempuan sama2 
mengemban nafkah hidup dan mengurus anak.  Batas tugas masing2 
keliatan beda secara alamiah.  Namun apabila mereka mengalami 
perubahan, misalnya ada teknologi baru di desa mereka yang menyentuh 
aspek ekonomi dan utilitas, lalu perempuan tertinggal karena 
teknologi baru ini, maka perubahan itu nggak memberikan manfaat 
maksimal bagi desa tersebut, karena sebagian masyarakat pelaku 
ekonomi ketinggalan.  

Di banyak perkotaan perubahan teknologi itu begitu bertubi2 cepat 
luar biasa, meninggalkan kebanyakan perempuan, sehingga kita berada 
dalam situasi kondisi 'nggak normal' seperti sekarang ini, dimana 
memang harus dikembalikan ke fitrahnya, seperti mba Lina bilang. 
Sebagian laki2 yang ketinggalan pun mengalami ketimpangan, bahkan 
jadi sangat berat karena mereka dituntut sebagai pencari nafkah 
tunggal.

Perubahan ke arah 'normal' yang membuat kita nyaman dan menjalankan 
hak/kewajiban masing2 ini, bermanfaat bagi laki2 maupun perempuan.  
Perempuan mencapai kemandirian ekonominya, dan laki2 mengurangi 
bebannya sendiri.

salam
Mia

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Lina Dahlan" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Saya juga mau nanya saja. Gimana caranya supaya situasi 
dikembalikan 
> ke keadaan semula alias normal? Sehingga tidak ada istilah 'tawar 
> menawar'. Yang ada istilah 'menjalani kewajiban masing-masing' 
> dengan aman dan nyaman...:-?.
> 
> Batasan 'normal' itu juga apa ukurannya..:-?
> 
> Kemaren saya ditanya teman (lagi makan di ruang makan)ttg kasus yg 
> beredar disekitar. "Mbak, bgmn ya istrinya pak Iwan (yg ke-3)itu. 
> Kata supir, istrinya itu suka ikutan kalo pak Iwannya dugem ke 
> keraoke. Bahkan pak Iwannya yang nyuruh istrinya datang dan disuruh 
> pake rok pendek!".
> 
> Aku jawab, "yak bagus lah...kan pak Iwannya jadi gak main pere 
lagi. 
> Rumah tangganya bakal awet, mudah2an. Gak seperti rumah tangganya 
> yang pertama dan kedua yang udah cerai-berai". Ku pikir karena udah 
> gak ada posisi tawar menawar lagi. Dua-duanya dah klop dan cocok 
(se-
> kufu'?). Kalo pada istri pertama keduanya kan karena ada sisi tawar 
> menawar...sehingga gak ada kesepakatan, jadi bubar!.
> 
> Temenku masih gak puas. "Tapi kan mbak, kalo ke pengajian kantor 
itu 
> istrinya pake jilbab/krudung?". Aku jwb lagi,"lah iya toh? moso mau 
> dibalik, ke pengajian pake rok pendek ke dugem pake jilbab?". Kan 
> harus kontekstual...:-)
> 
> Sebelum temenku nyerocos lagi gak puas dan kayaknya memang dia gak 
> puas, aku tutup aja pembicaraan,"udah deh, biarin aja itu urusannya 
> pak Iwan. Pak Iwan yang tanggung semua itu karena dia adalah 
> pilot/pemimpin di dlm rumah tangganya". Sambil beranjak dari ruang 
> makan.
> 
> Walaupun sebetulnya aku masih kpingin nerusin,"urus aja suami kita 
> masing2, apa kita sudah yakin suami kita setia? gak punya cemceman 
> diluar?". 
> 
> Kalo tiba2 kita temui fakta bhw suami kita punya cem-ceman..apa 
> reaksi kita? Keluarken jurus "sailor moon" yang "saatnya 
> berubah...!" ato...jurus ummul mukminin "yang sabar dan takwa 
kepada 
> Allah".
> 
> wassalam,
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "h.s nurbayanti" 
> <nurbayanti@> wrote:
> >
> > Sepakat, mbak.
> > 
> > Saya mau nanya aja. Kalau kita bicara relasi perempuan dan laki2.
> > Ketika ada perubahan di perempuannya, bukankah ini juga 
> menimbulkan reaksi
> > dari laki2 juga?
> > Karena mereka juga terjebak pada "yang seharusnya" dan
> > berhadapan dng kondisi "yang realitasnya".
> > Pertanyaannya adalah gimana supaya laki2 juga bisa beradaptasi 
dng 
> perubahan
> > ini?
> > 
> > 
> > Wassalam,
> > Herni
> > 
> > 
> > 2008/6/16 Mia <aldiy@>:
> > 
> > >   Mungkin mesti dipilah antara 'yang seharusnya' dan 'yang 
> realitasnya'.
> > >
> > > Realitasnya memang banyak perempuan yang menikah karena nggak 
> punya
> > > posisi ekonomi, atau paling tidak kondisi keluarga dan 
masyarakat
> > > menggiringnya ke situ. Seiring dengan ini, ada fenomena
> > > memperpanjang usia lajang karena mau berkarir dulu.
> > >
> > > Dalam kondisi masyarakat seperti ini 'yang seharusnya' adalah
> > > perempuan menikah, nggak berkewajiban mencari nafkah karena
> > > ditanggung suami, dst.
> > >
> > > Tentu saja terjadi perubahan di masyarakat, terutama di 
> perkotaan.
> > > Di perkotaan sekarang ini 'yang realitas dan yang seharusnya'
> > > mengalami perubahan. Kenyataannya banyak perempuan memperpanjang
> > > usia lajang, bekerja, trus menikah dan berhenti kerja sementara,
> > > dst. Diskusi di Pekalongan ini membicarakan 'yang seharusnya' 
> dalam
> > > fenomena perubahan seperti ini. Bahwa perempuan bekerja itu baik
> > > untuk perkembangan dirinya, keluarga dan masyarakat yang nggak
> > > terbebankan, dan untuk keluarganya sendiri. Bahkan meringankan 
> beban
> > > suaminya, dst. Trus ditambah pula dalam diskusi ini bahwa 
mandiri
> > > dan bermanfaat bagi orang lain itu menghindarkan KDRT.
> > >
> > > Itu perubahan di perkotaan. Kalau di pedesaan, misalnya beberapa
> > > desa terpencil yang bener2 asli desa - perempuan dan anak 
> perempuan
> > > malah memegang chain ekonomi pedesaan dari penanaman sampe
> > > pengolahan. Dengan kata lain ada semacam 'division of labor' 
yang
> > > natural, karena walau bagaimanapun tenaga laki2 untuk mencangkul
> > > lebih efisien ketimbang tenaga perempuan.
> > >
> > > Yang perlu dicermati adalah apabila terjadi perubahan di 
pedesaan
> > > (karena pedesaan pastilah berkembang ke arah perkotaan), 
> perempuan
> > > sering ketinggalan (atau sengaja ditinggalkan) dalam mengikuti
> > > perubahan ini, misalnya bagaimana memanfaatkan teknologi baru 
> dalam
> > > pengolahan.
> > >
> > > salam
> > > Mia
> > >
> > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com <wanita-muslimah%
> 40yahoogroups.com>,
> > > "L.Meilany" <wpamungk@>
> > > wrote:
> > >
> > > >
> > > > Kalo baca artikel ini, kesannya bahwa perempuan di zaman 
> sekarang
> > > jika menikah
> > > > harus punya kekuatan ekonomi, supaya tidak mudah mendapat 
KDRT.
> > > > Apa gak kebalik? Justru banyak perempuan menikah karena tak 
> punya
> > > kekuatan ekonomi.
> > > > Suamilah yg harus bertanggungjawab terhadap urusan ekonomi. 
Kan
> > > begitu aturan klasiknya.
> > > > Di agama suamilah yg 'wajib' memberi duit bagi isterinya.
> > > > Jika istri punya penghasilan tidak wajib baginya untuk ikut
> > > bertanggungjawab urusan biaya rumahtangga.
> > > > Dengan kata lain duit milik perempuan/isteri dipergunakan 
> sesuka
> > > hati, kecuali kalo memang sama2 sepakat
> > > > penghasilan berdua digunakan untuk keperluan rumahtangga, tapi
> > > sebaiknya suami juga ikut berpartisipasi
> > > > dalam urusan rumah tangga.
> > > >
> > > >
> > > > Salam,
> > > > l.meilany
> > > >
> > > >
> > > > ----- Original Message -----
> > > > From: Dwi W. Soegardi
> > > > To: wanita-muslimah@yahoogroups.com <wanita-muslimah%
> 40yahoogroups.com>
> > > > Sent: Wednesday, June 11, 2008 9:11 PM
> > > > Subject: [wanita-muslimah] Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi
> > > Perempuan Cegah KDRT
> > > >
> > > >
> > > >
> > > 
> 
http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/11/20452112/berdayakan.ekonomi
> .
> > > perempuan.cegah.kdrt.
> > > >
> > > > Berdayakan Ekonomi Perempuan Cegah KDRT
> > > >
> > > > Rabu, 11 Juni 2008 | 20:45 WIB
> > > >
> > > > PEKALONGAN, RABU - Untuk menanggulangi berbagai kasus 
kekerasan
> > > dalam
> > > > rumah tangga (KDRT), perlu adanya pemberdayaan ekonomi 
> perempuan.
> > > > Apabila perempuan mampu menghasilkan uang, posisi tawar 
> terhadap
> > > suami
> > > > akan meningkat, sehingga suami tidak mudah melakukan kekerasan
> > > terh
> > > > adap isteri.
> > > >
> > > > Hal itu disampaikan artis dan politisi, Marissa Haque dalam 
> acara
> > > talk
> > > > show bertema 'Kekerasan dalam Rumah Tangga' di Radio Kota 
Batik
> > > Kota
> > > > Pekalongan, Rabu (11/6). Selain Marissa, pembicara lain dalam
> > > acara
> > > > tersebut adalah Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan 
> Keluarga
> > > > Berencana Kota Pekalongan, Candra Herawati, dan Psikolog dari
> > > Lembaga
> > > > Perlindungan Perempuan Anak dan Remaja Kota Pekalongan, Nur
> > > Agustina.
> > > >
> > > > Menurut Marissa, selama ini salah satu kendala dalam 
penanganan
> > > KDRT
> > > > yaitu adanya ketergantungan ekonomi perempuan terhadap suami.
> > > Selama
> > > > isteri terus menggantungkan hidup pada suami, posisi tawarnya 
> akan
> > > > rendah. Terlebih dengan meningkatnya biaya hidup, penghasilan
> > > suami
> > > > akan semakin terbatas untuk mencukupi kebutuhan. Potensi 
> munculnya
> > > > kekerasan akan semakin besar.
> > > >
> > > > Oleh karena itu, perlu adanya pemberdayaan ekonomi perempuan.
> > > Apabila
> > > > perempuan mampu menghasilkan uang, posisi tawar terhadap suami
> > > akan
> > > > tinggi. Pasalnya, faktor ekonomi merupakan salah satu ujung 
> tombak
> > > > dalam menjaga keutuhan rumah tangga. "Jadi penanganan KDRT 
> tidak
> > > cukup
> > > > hanya dengan polisi atau LSM bekerja," ujarnya.
> > > >
> > > > Marissa mengatakan, pemberdayaan ekonomi perempuan dapat 
> dilakukan
> > > > dengan memberikan pinjaman modal kerja dan pendampingan usaha
> > > kepada
> > > > mereka. Selama ini, perempuan lebih telaten dalam mengelola
> > > keuangan.
> > > > Mereka juga lebih tertib dalam mengembalikan pinjaman, karena
> > > terikat
> > > > oleh lingkungannya. Persentase keberhasilan pemberdayaan usaha
> > > > perempuan dengan pemberian pinjaman modal usaha mencapai 
> sekitar
> > > 90
> > > > persen.
> > > >
> > > > Meskipun perempuan mampu menghasilkan uang untuk menopang 
> ekonomi
> > > > keluarga, ia tetap harus menjadikan suami sebagai pemimpin.
> > > Menurut
> > > > dia, keluarga harus dibangun bersama-sama, dan bukan oleh 
salah
> > > satu
> > > > pihak saja.
> > > >
> > > > Candra Herawati mengatakan, pemberdayaan ekonomi perempuan di 
> Kota
> > > > Pekalongan sudah dilakukan melalui program usaha peningkatan
> > > > pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS). Hal itu sudah 
> berlangsung
> > > sejak
> > > > empat bulan lalu.
> > > >
> > > > Pemberdayaan dilakukan dengan pemberian pinjaman modal usaha
> > > kepada
> > > > sejumlah kelompok UPPKS di Kota Pekalongan. Dari 312 kelompok 
> yang
> > > > ada, 215 diantaranya sudah mendapatkan pinjaman. Sebanyak 40
> > > kelompok,
> > > > masing-masing mendapatkan pinjaman sebesar Rp 5 j uta per
> > > kelompok,
> > > > sedangkan sisanya masing-masing mendapatkan pinjaman Rp 1 
juta 
> per
> > > > kelompok. Hingga saat ini, persentase pengembalian pinjaman 
> sudah
> > > > mencapai 31 persen.
> > > >
> > > > Siwi Nurbiajanti
> > > >
> > > >
> > > >
> > > >
> > > > [Non-text portions of this message have been removed]
> > > >
> > >
> > >  
> > >
> > 
> > 
> > [Non-text portions of this message have been removed]
> >
>


Kirim email ke