Refleksi: Tanpa undang-undang pun  rakyat bisa makmur, masalahnya tergantung 
kepada penguasa, kalau penguasa NKRI terdiri dari tukang copet dan garong bin 
bandit mana bisa makmur sekalipun ada undang-undang yang dimaksudkan. 

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/09/01/Ekonomi/eko01.htm

SUARA PEMBARUAN DAILY 

UU Migas Seharusnya untuk Kemakmuran Rakyat

 

 

SP/Luther Ulag 

PASOKAN GAS TERLAMBAT - Ajid (24) menata tumpukan tabung gas elpiji isi 3 kg 
yang kosong di pangkalan gas Gang Arus, Cawang, Jakarta Timur, Senin (1/9) 
pagi. Menurut pengakuan pedagangnya pasokan gas di pangkalan itu sudah satu 
minggu belum dikirim oleh pihak Pertamina. Gas elpiji bersubsidi tersebut 
dijual Rp 15.000 per tabung. 

[JAKARTA] DPR, melalui Komisi VII, akan meninjau ulang Undang-undang Migas No 
22/ 2001, yang sejak awal disahkan sudah menimbulkan kontroversi. Karena itu, 
Komisi VII, yang membidangi energi, sumber daya mineral, riset dan teknologi 
dan lingkungan hidup, juga membentuk Panja Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas 
(BP Migas) dan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas, dengan agenda mengkaji 
keberadaan kedua lembaga tersebut. 

"Sudah waktunya perubahan menyeluruh UU Migas demi kemakmuran rakyat," kata 
Ketua Panja BP Migas dan BPH Migas, Sutan Bhatoeghana di Jakarta, akhir pekan 
lalu. 

Dia mengatakan, melalui hak angket, DPR akan mengkaji UU Migas dan keberadaan 
BP dan BPH Migas, apabila dirasa menghambat investor dengan banyaknya 
birokrasi. "UU Migas mengandung banyak pasal kontroversial. UU Migas membuka 
sektor migas, baik hulu maupun hilir, ke mekanisme pasar bebas, yang diatur dan 
diawasi oleh BP Migas dan BPH Migas," katanya. 

Jadi, UU Migas mengabaikan kepentingan nasional dengan menyerahkan hak negara 
untuk mengelola dan memasarkan minyak, gas bumi, Liquefied Natural Gas (LNG), 
Liquefied Petroleum Gas (LPG/elpiji), serta hasil migas lainnya, yang merupakan 
bagian negara dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) kepada pihak swasta, 
baik asing maupun nasional, termasuk broker dan oil trader. 

Melalui status hukum BP Migas, yang bukan badan usaha, sebenarnya BP Migas 
hanya berhak menunjuk penjual minyak dan gas, yang menjadi bagian negara, dan 
tidak menjual sediri. 


"Judical Review" 

Sejumlah LSM dan organisasi migas pun mengajukan judicial review atas UU Migas 
kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, pengujian UU Migas terhadap UUD 1945, 
menurut MK, hanya mengandung tiga pasal yang bertentangan, yakni Pasal 12 ayat 
3, Pasal 22 ayat 1, dan Pasal 28 ayat 2. Meski begitu, hingga kini, pemerintah 
belum mengamendemen perubahan pasal 12 ayat 3 maupun pasal 28 ayat 2. 

Melalui hak angket, DPR mendesak segera dilakukan amendemen UU Migas, agar 
rakyat menikmati manfaat kekayaan migas nasional. 

Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Nasional, Effendi Siradjuddin mengutarakan, BP 
Migas sebaiknya diubah menjadi badan usaha milik negara (BUMN), yang memegang 
seluruh kuasa hasil pertambangan migas nasional dan melaksanakan pemasaran 
bagian negara. 

Mengutip almarhum pakar migas, Ramses O Hutapea, UU Migas gagal meningkatkan 
nilai setinggi-tingginya minyak dan gas bumi yang menyerahkan hak untuk menjual 
hasil migas ke pihak swasta. Akibat hasil migas nasional diserahkan kepada 
pihak swasta, tidak ada lagi kedaulatan negara mengelola sumber daya alamnya 
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33. 

Ini dibuktikan dengan penunjukan BP Tangguh sebagai pengembang kilang dan 
penjual LNG Tangguh yang merugikan negara. Ramses juga menyatakan, UU Migas 
22/2001 gagal menarik minat investor, dengan diberlakukannya perpajakan baru 
pada Pasal 31, yang menutup berlakunya perpajakan lex specialist. 

UU Migas harus diubah secara menyeluruh, mengikuti pengertian "dikuasai negara 
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" melalui peran BUMN sebagai mitra 
KKKS. [DLS/N-6] 



--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 1/9/08 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke