http://www.jambiekspres.co.id/index.php/radar-jambi/jambi-xinwen/6248-mengenal-tionghoa-muslim-di-indonesia.html

      Selasa, 15 September 2009 10:17  

      Mengenal Tionghoa Muslim di Indonesia  


      Baru-baru ini dikisahkan betapa semaraknya Ramadan di Tiongkok yang penuh 
dengan kegiatan keagamaan, seperti diungkapkan Rizky Ramadhani Zamzam, remaja 
putri yang empat tahun ini belajar di Shanghai (Jawa Pos, 6 September 2009). 
      Nah, informasi tersebut mengingatkan penulis pada sejarah masuknya Islam 
ke negeri kita. Selama ini, masuknya Islam ke Indonesia selalu diidentikkan 
dengan penyebaran agama oleh orang Arab, Persia, ataupun Gujarat. Itu tidak 
keliru. Namun, sejarah tidak lengkap tanpa menyebut Tiongkok. Jadi, Islam masuk 
ke Nusantara, di antaranya lewat Tiongkok, bersama masuknya armada dari Dinasti 
Ming ke Palembang pada 1407, yang dipimpin Cheng Hoo. Islamnya bermazhab Hanafi.



      Komunitas Awal

      Laksamana Cheng Hoo membentuk komunitas Tionghoa muslim di Palembang yang 
sejak zaman Sriwijaya banyak didiami orang Tionghoa. Itulah komunitas Tionghoa 
muslim pertama di Nusantara.

      Dalam melaksanakan tugasnya mencari hubungan dagang dan politik, 
Laksamana Cheng Hoo banyak menggunakan orang-orang Tionghoa Islam dari Yunan. 
Dengan sendirinya, soal keislaman ikut terbawa. Demi keperluan salat bagi umat 
Islam, di berbagai tempat didirikan masjid.

      Salah satu sosok Tionghoa muslim yang patut dicatat di sini adalah Raden 
Patah. Menurut dokumen berusia lebih dari 400 tahun di Kelenteng Sam Po Kong 
Semarang, diperoleh kepastian bahwa Raden Patah -pendiri Kasultanan Islam Demak 
yang bergelar Panembahan Djimbun- berdarah Tionghoa.

      Menurut buku Babad Tanah Djawi Prabu Brawidjaja VII, raja Majapahit 
menikahi putri saudagar Tionghoa muslim kawan baik Sang Prabu dan memiliki 
anak. Selanjutnya, anak itu tidak dibesarkan di lingkungan keraton, melainkan 
dibesarkan dalam komunitas Tionghoa muslim di Palembang.

      Jadi, kerajaan Islam Demak dibangun komunitas Tionghoa yang menetap di 
Semarang. Raden Patah atau Al Fatah menjadi Sultan Demak pertama (1475-1518) 
dengan julukan Senapati Djimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Saidin 
Panata Agama.

      Yang mengejutkan, malah ada informasi kemungkinan delapan di antara 
sembilan Wali Sanga juga berdarah Tionghoa. Orang Indonesia mengenal Wali Sanga 
sebagai sembilan orang sakti yang pertama menyebarkan agama Islam di Jawa. 
Delapan di antara sembilan wali itu merupakan orang Tionghoa dengan gelar 
Sunan. Arti "Su" dari Suhu atau dialek Fukien Saihu, Guoyu (Mandarin) Szefu dan 
"nan"= selatan. Tentu saja, bisa diperdebatkan kebenarannya.

      Salah satu jejak para wali tersebut bisa dilihat di Gresik yang merupakan 
kawasan muslim tertua di Jatim. Ketika itu, belum ada anggota muslimin pribumi. 
Pada 1451, Bong Swee Ho yang berasal dari Champa mendirikan pusat Islam di 
Ngampel untuk orang-orang Jawa dan Madura. Bong Swee Ho selanjutnya dikenal 
sebagai Sunan Ngampel. Putra Bong Swee Ho adalah Bong Ang, salah seorang Wali 
Sanga dengan nama Sunan Bonang.

      Yang paling menonjol dalam komunitas Tionghoa muslim sejak dulu hingga 
kini adalah sikap santun dan pemahaman keislaman yang moderat, artinya tidak 
ekstrem. Memang etnis Tionghoa, sebagaimana ajaran Yin-Yang, selalu lebih 
mengedepankan keseimbangan atau harmoni dengan siapa saja.

      Sikap itu tentu senada dengan Alquran yang tidak melegitimasi sedikit pun 
perilaku dan sikap yang melampaui batas, seperti "irhab", yakni tindakan 
berlebihan karena dorongan agama atau ideologi, sehingga berujung pada sikap 
membenarkan kekerasan atas nama agama.

      Tidak heran, kita umat Islam -baik yang Tionghoa maupun bukan- terkejut 
saat ada orang yang memakai bendera Islam, tetapi tega membunuh orang lain dan 
dirinya dengan bom. Padahal, Islam mengajarkan bahwa membunuh satu orang sama 
saja dengan membunuh seluruh manusia. Anehnya, belakangan justru ada "tren" bom 
bunuh diri.

      Penulis sepakat dengan Kepala Badan Litbang dan Pendidikan dan Latihan 
Departemen Agama HM. Atho Mudzhar bahwa Islam sebagai rahmat bagi semesta alam 
(rahmatan lil alamin) tidak hanya dipersempit dan direduksi, tetapi juga 
disimpangkan dan bahkan dibajak oleh beberapa orang Islam yang kerap mengklaim 
sebagai muslim sejati.

      Akibatnya, kebenaran Islam sebagai agama yang santun dan damai tersisih 
oleh pemahaman keagamaan yang membenarkan kekerasan, ektremitas atau 
radikalisme.



      Islam Itu Damai

      Untuk itu, komunitas Tionghoa muslim tidak boleh tinggal diam. Bersama 
umat Islam lain serta elemen anak bangsa, kita harus proaktif memberikan 
pencerahan lewat beragam langkah deradikalisasi. Langkah seperti itu harus 
menjadi proyek nasional mengingat maraknya terorisme. Para agamawan tidak perlu 
menunggu diajak pemerintah karena kita harus proaktif bersinergi dengan 
berbagai kalangan untuk upaya deradikalisasi.

      Deradikalisasi adalah upaya internal setiap penganut agama untuk masuk ke 
dalam dan setiap muslim yang meyakini radikalisme atau ekstremitas harus diajak 
dengan cara-cara yang santun untuk kembali bersikap mo­derat, sebagaimana 
mainstream umat Islam di dunia. Semakin banyak yang terlibat dalam proyek 
deradikalisasi itu, seperti para orang tua atau pendidik di sekolah atau 
lembaga pendidikan, akan semakin baik.

      Ramadan sebagai bulan penuh berkah bisa kita jadikan momentum menunjukkan 
bahwa Islam itu rahmatan lil alamin. Islam itu damai (aslama) dan orang-orang 
lain harus merasakan rahmat dan damai tersebut. 

      (oleh Tomy Su, Koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia)

      Komentar Pembaca 


http://www.jambiekspres.co.id/index.php/radar-jambi/jambi-xinwen/6249-jelang-lebaran-pengusaha-tionghoa-kebanjiran-order.html

      Selasa, 15 September 2009 10:19 
     
      Jelang Lebaran, Pengusaha Tionghoa Kebanjiran Order  

      JAMBI - Bulan Ramadan yang dikenal dengan bulan puasa, di mana umat Islam 
melakukan ibadah puasa dan meningkatkan amal ibadah lainnya, ternyata tidak 
hanya memberikan kenikmatan bagi umat Islam itu sendiri. Namun juga bagi umat 
agama lainnya. 
      Sebut saja, warga Tionghoa di Jambi, yang memilih berjualan kue di saat 
menjelang buka puasa. Pedagang kue darah Tionghoa di seputaran Talang Banjar, 
atau persisnya Jalan Abdul Kartawirana itu, sangat ramai dikunjungi umat muslim 
saat menjelang buka puasa. 

      Macam-macam kue pun dengan mudah ditemukan ditempat itu. Dijajakan di 
atas meja yang terbuka di depan bangunan kayu tersebut, kue-kue ini cukup 
menarik, disusun rapi dengan bermacam-macam bentuk. Tentunya, dengan rasa yang 
berbeda-beda juga. Tak ayal, jualan kue ini diburu, terutama kalangan Muslim 
yang hendak buka puasa.

      Kue yang didagangkan itu sebenarnya jenisnya tidak jauh berbeda dengan 
yang dijual di pasar bedug, akan tetapi pembelinya tidak kalah dengan yang di 
pasar bedug. Sampai jalan di depannya itu pun sering terjadi macet, akibat 
banyaknya kendaraan pembeli yang parkir.

      "Iya, bulan puasa ini membuat dagangan kita laris. Apalagi sore, sampai 
ini padat semua," ujar Mei Ling, Pedagang Kue warga Tionghoa.

      Tentu juga omset penjualannya tidak sedikit. Hari biasanya, terkadang 
omset hanya mencapai puluhan ribu, dibulan puasa ini melonjak pada level 
ratusan ribu. Tak salah jika bulan ini juga menjadi bulan berkah bagi warga 
asal negeri bamboo itu.

      "Setiap harinya bisa mencapai Rp 500 ribu omsetnya. Kalau hari-hari biasa 
kadang untuk Rp 100 saja sulit. Sekarang bisa dikatakan melonjak melebihi 100 
persen," pungkasnya tersenyum. (pay)
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke