Kawan-kawan, "saya menulis maka saya ada"

mohon dikritisi...

thanks




Indonesia Multikultural; Refleksi 61 tahun kemerdekaan
RI

Tb. Munawar Aziz*
(Pegiat Institut Studi Transformasi Sosial)


Sisik telisik mengingat-ingat kemerdekaan Indonesia ke
61, sudah selayaknya kita membuat catatan kaki
terhadap proses pergulatan sejarah yang telah dilalui
oleh bangsa Indonesia, proses disintegrasi menurut
hemat penulis menghantui perjalanan panjang sejarah
bangsa Indonesia kedepan, sudah cukuplah, Timor-Timor
menjadi pelajaran bagi bangsa kita. Beberapa tindakan
meminimalkan disintegrasi selalu saja diawali dengan
tindakan politis, sehingga terkadang tidak menyentuh
akar masalah yang sebenarnya.

Cacatan yang dikemukakan penulis merupakan hasil
pemikiran yang mungkin saja terkesan flagiat, karena
tak disangkal penulis mencatut pemikiran beberapa
diskusi dan kajian yang telah dilalui, penulis
menawarkan agaknya konsepsi multikultural ini bisa
menjadi alternatif pemikiran, walau sebatas wacana,
tapi mungkin bisa menjadi bahan bakar.

Konsepsi Multikulturalisme adalah mengakui dan
melindungi keragaman budaya yang tidak selalu dan
tidak semata-mata berdasarkan keragaman etnis.
Terkandung juga pengertian tentang penyetaraan derajat
dari kebudayaan yang berbeda-beda itu. Penekanan
terletak pada pemahaman dan upaya untuk menggumuli,
mempertanyakan, dan belajar dari pihak lain yang
berbeda, serta hidup dalam konteks perbedaan
sosial-budaya, baik secara individual maupun kelompok.


Bagaimana cara kita mengubah tatanan bangsa Indonesia
yang semula mewujudkan diri sebagai suatu masyarakat
plural (plural society) menjadi sebuah tatanan
masyarakat multikultural (multicultural society).
Berdasarkan pengertian kosa katanya, masyarakat plural
dan masyarakat multikultural mengacu pada suatu
tatanan masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai
unsur masyarakat dengan ciri budaya yang beragam. Jika
demikian, apa esensi perbedaan antara masyarakat
plural—yang harus ditinggalkan—dengan
masyarakat multikultural yang disepakati sebagai
tatanan masyarakat yang harus dituju di masa depan?

Pertanyaan pokok tersebut perlu dikemukakan agar tidak
sekedar terjadi penggantian sebutan terhadap suatu
fenomena tatanan sosial yang sama. Betapa pun,
peralihan dari masyarakat plural menjadi masyarakat
multikultural bukanlah sekedar pergantian susunan
huruf yang membangun kedua kata itu, melainkan
menuntut suatu keharusan perubahan makna yang hakiki
dari kedua konsep tersebut.

Mengacu pada Furnivall (1948),  pada dasarnya
masyarakat plural mengacu pada suatu tatanan
masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai unsur
masyarakat yang memiliki ciri-ciri budaya yang berbeda
satu sama lain. Masing-masing unsur relatif hidup
dalam dunianya sendiri-sendiri. Hubungan antar unsur
yang membentuk masyarakat plural tersebut relatif
lebih rendah dan terbatas. Hubungan antar unsur yang
berbeda itu juga ditandai oleh corak hubungan yang
dominatif, dan karenanya juga bersifat diskriminatif
Meski wujud konkritnya masih terlihat samar-samar,
tatanan masyarakat multikultural yang hendak dituju
cenderung mengacu pada suatu tatanan masyarakat yang
unsur-unsurnya memiliki ciri yang juga beragam.
Perbedaan yang jelas dibandingkan dengan masyarakat
plural ialah adanya interaksi yang aktif di antara
unsur-unsurnya melalui proses belajar. Lebih dari itu,
kedudukan berbagai unsur yang ada di dalam masyarakat
itu berada dalam posisi yang setara, demi terciptanya
keadilan di antara berbagai unsur yang saling berbeda.

Pertanyaan yang muncul ialah bagaimanakah menciptakan
tatanan masyarakat yang multikultural itu? Sekalipun
konsep dan model masyarakat multikultural itu sendiri
masih terus dicari dan diperdebatkan, kita perlu
mendefinisi ulang dua hal, yaitu: konsep kewargaan
dalam pengertian posisi individu dalam komunitas
(hubungan horizontal), dan konsep kewarganegaraan,
yaitu posisi warganegara dalam sebuah negara (hubungan
vertikal). Konsep kewarganegaraan menjadi konsep yang
sangat penting untuk dipertanyakan karena selama ini
hak-hak masyarakat sebagai warganegara, seperti
misalnya hak untuk mengekspresikan keragaman
kebudayaannya, sama sekali tidak jelas.
Dalam kaitan dengan proses desentralisasi dalam bentuk
penerapan Undang-undang No.22 1999 tentang Otonomi
Daerah yang sedang diterapkan di Indonesia saat ini,
redefinisi atas sistem politik secara keseluruhan
harus dilaksanakan. Jika tidak, desentralisasi
cenderung memendam masalah yang dapat sewaktu-waktu
timbul oleh adanya diversitas kebudayaan

Desentralisasi tidak dengan sendirinya menyebabkan
terbukanya ruang-ruang yang lebih luas atau lebih
longgar bagi eksistensi kebudayaan yang beragam.
Diversitas kebudayaan baru mendapat tempat kalau
desentralisasi juga berarti perluasan ruang publik,
ruang sosial yang memungkinkan tampilnya
ekspresi-ekspresi kebudayaan. Masyarakatlah yang harus
mendefinisikan macam ruang politik yang diinginkan,
agar diversitas kebudayaan dapat memperoleh tempat.
Adanya ruang-ruang partisipasi publik yang terbuka
bagi seluruh komponen masyarakat merupakan salah satu
jawaban pokok untuk menciptakan sebuah tatanan
masyarakat multikultur dalam pengertian di atas.

Penataan ulang juga perlu dilakukan terhadap
pranata-pranata ekonomi dan politik yang memungkinkan
kelompok-kelompok marjinal memiliki akses dalam
proses-proses politik untuk menyusun berbagai
kebijakan publik yang dibutuhkan. Perlu pula dilakukan
penataan ulang berbagai pranata sosial yang ada
sekarang ini. ‘Kearifan-kearifan lokal’
yang banyak terkandung di dalam sistem nilai dan
pranata-pranata sosial masyarakat lokal, dapat pula
dijadikan sumber energi sosial dalam mewujudkan
tatanan masyarakat multikultural. Tentu saja hal
tersebut harus dilakukan dengan mengikis habis
terlebih dahulu unsur-unsur
‘ketidakadilan’ yang boleh jadi melekat
pula pada sistem nilai dan pranata-pranata sosial
‘lokal’ itu. Selain itu, para ahli
antropologi dan ilmuwan sosial lainnya dituntut untuk
mampu mengungkapkan dan memahami adanya diferensiasi
politik, ekonomi, jender, dan diferensiasi sosial
lainnya yang ada dalam tatanan masyarakat Indonesia
masa kini. Diferensiasi yang perlu dipahami tentunya
adalah yang bersifat horizontal dan vertikal, baik
diferensiasi yang terjadi di dalam suatu unsur
tertentu maupun antarunsur yang (akan) membentuk
bangsa Indonesia.

Penulis teringat pendapat Robert Cribb seorang
Indonesianist dari Australia yang menyatakan  bahwa
Indonesia adalah sebuah bangsa yang tidak mungkin,
pernyataannya ini dapat kita fahami dilihat dari
konteks budaya, dimana uniformitas dalam budaya adalah
sebuah hal yang tidak mungkin bagi Indonesia, karena
pertama, bangsa ini terdiri dari kemajemukan ragam
budaya, kedua bisa menimbulkan disintegrasi, dan
ketiga mematikan karifan lokal yang dimiliki.
 
Multikultural sebagai proses social emphatized
merupakan konsepsi ruang dialog dan belajar antar
budaya, dan diharapkan akan mendorong tatanan
masyarakat yang saling menghormati dalam perbedaan
budaya. Dalam perspektif komunikasi, Multikultural ini
hampir sejajar dan mirip dengan konsepsi public sphere
yang digagas oleh Habermass. Public sphere atau ruang
publik adalah proses interaksi antar kalangan
(stakeholder) dalam membicarakan obrolan-obrolan
penting menyangkut policy atau fenomena yang dapat
mempengaruhi kehidupan sosial. Ruang-ruang ini adalah
bentuk partisipasi stakeholder untuk terlibat dalam
proses kehidupan sosial politik, salurannya bisa
melalui pojok-pojok warung kopi hingga acara televisi
yang digagas oleh salah satu event organizer .
Multikultural dan public sphere memberi potensi kepada
seluruh pelaku didalamnya untuk saling belajar dan
memahami kehendak masing-masing dan mencari sebuah
kesadaran bersama. 

Sebagai bentuk tawaran “cara hidup”
bersama dalam sebuah negara bernama Indonesia konsep
multikulturalisme memiliki manfaat yang lebih
dibandingkan konsep pluralisme karena antar sub budaya
menjalin silang sengkarut untuk berkomunikasi,
bekerjasama dalam pemahaman bersama. 


* Tinggal dan  menetap di Rangkasbitung


Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 


Tetap Semangat Mencintai Banten! 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wongbanten/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke