Dr. Anies Rasyid Baswedan, MS., diangkat menjadi Rektor Universitas 
Paramadina Mulya menggantikan tokoh besar Nurcholis Madjid. Saya 
tertegun. Kembali cerita dari sahabat saya tentang Anies Baswedan 
memenuhi memori ini. Cerita ini pula yang membuat saya optimis suatu 
ketika orang-2 jujur akan memimpin bangsa ini. Menyelamatkan kita 
dari keterpurukan...

XXXXX

Dari kesaksian seorang sahabat. Sebut saja sahabat kita itu: Faraz 
Ramadhan. Dia mantan pimpinan senat mahasiswa UGM dari kelompok hijau 
(bukan hijau militer lho, kalo pinjem kata Clifford Geertz; kelompok 
hijau santri :)). 

Cerita Faraz jujur kepada saya tentang Anies Rasyid Baswedan...

Tahun 1994 kalau tidak salah, mahasiswa Yogya demo di bunderan. 
Menentang pembredelan Detik, Tempo dan satu lagi saya lupa namanya. 
Mahasiswa menolak kesewenangan pembredelan itu. Mereka demo menentang!

Saat itu 1994, Wak Dhe (Uwak Gede) dari pada Haji dari pada Muhammad 
dari pada Soeharto sedang represif-2 nya. Setiap demo langsung 
dihadapi oleh lars senapan militer.

Siang terik. Jam menunjukkan pukul 13.30. Mahasiswa yang sudah capek 
berdemo sejak pagi, bersiap ingin membubarkan diri. 

Tiba-tiba komandan militer kasih perintah melalui pengeras suara 
kepada mahasiswa:
"Dalam 30 menit lagi anda harus bubar!" 
"Jika tidak, maka kami yang akan membubarkan dengan paksa!!!"

Mendapat perintah represif tsb, justru membangkitkan semangat 
perlawanan mahasiswa. Bukannya bubar, massa mahasiswa bersatu 
merapatkan barisan. Mereka bertekad tidak mau bubar. Siap melawan. 

Papan batu hijau muda bertuliskan "Selamat Datang di Kampus 
Universitas Gadjah Mada", terletak tepat ditengah „Bunderan" 
dijadikan D' Alamo, benteng perlawanan massa mahasiswa. Sementara 
batalyon pasukan militer berjejer rapi, profesional jali, di depan RS 
Panti Rapih. Hanya berjarak 100 meter persis di depan D' Alamo -nya 
mahasiswa.

Pukul 13.45. Suasana semakin heroik. Keberanian menggelora di dada. 
Idialisme tinggi membubung menembus lapisan awan tertinggi. Seakan 
seluruh mahasiswa siap menyerahkan selembar nyawa di badan. 

Tapi benarkah demikian? Pukul 13.55, berarti 5 menit sebelum 
deadline, Faraz dengan cemas melihat kebelakang. Kaget dia tidak 
percaya dengan penglihatannya!

Bambang Nursanto Suryolaksono (bukan nama sebenarnya, tokoh aktivis 
FE UGM), atau aktivis gadis Amoy Rekena (juga bukan nama sebenarnya, 
tokoh aktivis Fisipol UGM), dan lain-2 nya sedang lari sipat tukang 
menyelamatkan diri. Seluruh pimpinan aktivis dari kelompok nasionalis 
dan sosialis lari. Wuss…, wuss…, wuss…, kabur nyaris tak terdengar. 
Mereka tidak memperdulikan nasib mahasiswa lain yang berhadapan 
langsung dengan lars senapan.  

Faraz cemas. Dia sadar hanya dia dan Anies Baswedan lah yang berada 
di garis terdepan. Memang mereka bersama ribuan massa mahasiswa. Tapi 
mereka itu massa mengambang. Bukan tokoh aktivis. Sementara para 
tokoh aktivis lain sudah lari menyelamatkan diri.

Faraz menoleh, bertanya pada Anies seniornya: 
"Anies, semua pimpinan aktivis dari kelompok nasionalis dan sosialis 
kabur. Cuma kita yang berada digaris depan. Kenapa kita tidak ikut 
lari?" ---tanya Faraz dengan suara bergetar menahan takut tak 
terkira. 

(Iyalah Faraz cemas. Saat itu bukan jaman pasca reformasi Bung! Laras 
senjata di depan mata. Acaman hidup mati riil hanya berjarak beberapa 
jengkal) 

Anies senyum tenang menoleh dengan kalem: 
"Raz, kita ini pemimpin". 
„Kita tidak boleh lari meninggalkan mereka (massa mengambang ---
red)". 
„Mereka berdemo dengan keberanian di dada karena mereka percaya pada 
kita". 
„Haruskah kita meninggalkan mereka ketika ancaman hidup mati di depan 
mata?" 

Faraz diam sambil lirih menjawab: „Bener Nis, tapi aku takut sekali". 

„Justru pada saat seperti inilah kita harus percaya bahwa Allah SWT 
pasti melindungi kita". „Yang membedakan kita dengan mereka (para 
pemimpin mahasiswa yang lari ---red) cuma satu, yaitu: Iman!" ---
jawab Anies dengan tegas!

Berbagai cita rasa bercampur aduk antara takut, cemas, malu di dada 
Faraz.  

Sadar bahwa Faraz sangat tertekan, Anies kembali senyum bicara: 
„Raz, kalau kamu mau lari, larilah sekarang". 
„Mumpung belum terlambat". 
„Aku sangat memahami keputusanmu untuk lari". 
„Tapi aku tetap akan bertahan disini". 
„Dan aku akan berterima kasih jika kamu juga tetap disini bertahan 
bersamaku". 
Begitu lah Anies menutup pembicaraan. Selanjutnya seluruh fokus dan 
konsentrasinya diarahkan untuk menghadapi lawannya, ---se-Batalyon 
pasukan tembur yang siap membantai!

Keberanian dan ketulusan Anies menginspirasi si Faraz. Dengan sisa-2 
keberanian terakhir disertai doa-2 terakhirnya, Faraz tegak membatu 
di samping Anies. Dia memutuskan untuk bertahan apapun yang terjadi, 
um jeden Preis! 

Tepat pukul 14.00, dalam satu komando; „Bantai!", maka gerak pasukan 
topan badai menyerbu. 
Bukannya lari, Anies malah maju kedepan beberapa langkah.
Berteriak dia mengusir: 
„Hey, ini kampus mahasiswa! Keluar kalian semua! Kalian tidak pantas 
masuk kampus ini!!!"

Tapi apalah arti teriakan Anies itu dalam telinga „pasukan robot-2 
pembunuh profesional". Detik berikutnya, Anies, Faraz, dan seluruh 
mahasiswa terjungkal di garis depan. Sahabat-2 Anies dari kelompok 
hijau, yang berada di „Gelanggang Mahasiswa" segera maju 
menuju „Bunderan" untuk memperkuat barisan dan 
mencoba „menyelamatkan" Anies. Sayang keberanian dan ketulusan itu 
justru dibayar mahal dengan percikan darah.

Hari itu, Anies Rasyid Basewedan terjungkal kena popor senapan. Tapi 
hari itu juga membuktikan bahwa keteguhan Anies untuk mempertahankan 
kebenaran tidak pernah terjungkal meskipun berhadapan dengan laras 
senapan dan nyawanya adalah taruhannya…

Teriringi Doa dan Harapan saya semoga sahabat Anies sukses memimpin 
Universitas Paramadina Mulya untuk mewujudkan cita-cita luhur dari 
Alm. Nurcholis Madjid. 

Dari kesunyian lembah Sungai Elbe,

Ferizal Ramli



Kirim email ke