Rekan-rekan Yon-I,
1.    Seperti komentar Djoni Saleh, cerita Menko itu seperti menunjukkan
kecengengan seorang pengamat, yang sedang jadi Menko. Lebih dari pada itu
uneg-uneg yang dikemukakannya di Washington itu menunjukkan bahwa dia tidak
mengerti hal-hal apa yang diperjanjikan dalam MSAA. Memang tidak diharapkan
dia baca sendiri MSAA yang merupakan dokumen hukum rumit, tetapi
setidak-tidaknya dia harus bisa minta penjelasan dari para lawyer di BPPN.
Saya yakin bahwa ada rambu-rambu pengaman dalam MSAA. Misalnya yang disebut
"release and discharge" itu tidak berarti langsung berlaku. Release and
discharge berlaku setelah ybs memenuhi kewajibannya menyerahkan aset dalam
jumlah yang cukup. Kalau itu tidak dipenuhi maka BPPN tetap bisa mengambil
langkah-langkah tindak lanjut, misalnya (1) menyatakan bahwa ybs telah tidak
memenuhi ketentuan perjanjian, sehingga perjanjian batal, dan (2)
menggunakan kewenangan yang telah dilimpahkan kepada BPPN, yaitu yang
digariskan dalam Undang-undang Perbankan tahun 1998. Langkah itu termasuk
penyitaan, dan sebagainya. Itu semua ada di MSAA.
Jadi dengan omongan yang dengan kuat mengesankan menyalahkan yang dulu,
sedangkan sebenarnya dia tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan maka
sebetulnya siapa yang melintir?
2.    Mengapa dibiarkan sampai sudah hampir masa 4 tahun baru ribut? Sudah
gonta-ganti pemerintahan, sudah gonta-ganti Menko dan Menteri Keuangan,
sudah gonta-ganti kepala BPPN, lalu urusan jatuh kepada yang sekarang sedang
manggung, lalu yang manggung bingung nggak tau harus berbuat apa, lalu
nyalahkan yang membuat MSAA. Ini tidak fair! Kalau tidak salah ingat, di
masa pemerintahan Gus Dur, beberapa konglomerat malah dilindungi penguasa.
Lha kalau begitu mana bisa BPPN bertindak tegas. Sesudah keadaan
berlarut-larut tentu nilai aset menurun. Misalnya tambak udang yang semula
termasuk kategori paling besar dan paling canggih di dunia (!) sekarang
sudah jadi rawa. Berapa harganya rawa?
Jadi, strategi yang berubah-ubah, dengan kepentingan politik yang berubah-ub
ah, jelas mempersulit penyelesaian.
3.    Yang diperlukan adalah ketegasan sikap. Waktu hampir 4 tahun cukup
untuk bisa menilai mana yang memenuhi perjanjian dan mana yang tidak
memenuhi perjanjian. Sudah sejak lama sebetulnya pemerintah bisa mengambil
langkah yang kongkrit untuk menindak yang "wan-prestasi", dan kewenangan
untuk itu ada ditegaskan dalam MSAA. Kenapa tidak mau mengambil langkah
tegas? Perjanjian MSAA tidak mengurangi kewenangan BPPN untuk bertindak
tegas, bahkan menggariskan kondisi-kondisi yang dapat digunakan oleh BPPN
untuk mengambil tindakan tegas.
4.    Urusan yang berkaitan dengan MSAA dan MRA itu sebenarnya hanya
sebagian dari keseluruhan perkara yang harus menjadi perhatian tim ekonomi,
khususnya Menko, Men-Keu, Meneg BUMN, dan kepala BPPN. Mengapa begitu?
Karena dari jumlah sekitar Rp 650 trilyun, sekitar 55% untuk merekap bank
BUMN, sekitar 25% untuk merekap bank swasta dan bank BPD (bank pembangunan
daerah) dan sekitar 20% untuk mengganti uang para deposan dan penabung yang
banknya ditutup. Jadi yang berkaitan dengan MSAA dan MRA itu kalaupun bisa
memperoleh full recovery sebenarnya tidak bisa dibandingkan terhadap angka
keseluruhan (yang Rp650 trilyun), tetapi recovery itu dibandingkan dengan
sekitar Rp 300 trilyun. Ini kalau mau melihat permasalahannya secara
proporsional, tidak diplintir atau dipolitisir. Nah, beban yang timbul untuk
merekap bank BUMN itu bagaimana recoverynya, kan harus diurus juga, apalagi
angkanya juga lebih besar. Yang terjadi malahan pola restrukturisasi ala
Texmaco (ini salah satu contoh dari aset yang berkait dengan jebolnya bank
BUMN), yang recovery ratenya minim. Jadi, sepertinya para pengelola republik
ini tidak paham peta, sehingga yang diurus ya yang sedang kelihatan di depan
mata. Hanya lihat pohonnya, tidak paham hutannya. Kalau tidak paham peta,
tidak tau jalan, mau ke mana kita dibawa? Kalau tidak paham medan bagaimana
mau melakukan koordinasi.
5.    Menko mengeluhkan besarnya hutang dalam negeri. Memang Rp 650 trilyun
siapa yang bisa bilang itu angka kecil. Kalau dia tidak mengerti mengapa
terjadi hutang sebesar itu, memang dia tidak mengerti medan yang dihadapi.
Coba ingat, sampai dengan tahun 1997 akhir, hutang dalam negeri jumlahnya
praktis sebesar nol! Mengapa dalam dua tahun mendadak menjadi Rp650 trilyun.
Pernah dipikir nggak? Yang ini ceritanya bersambung saja, for next
discussion.
Salam,
Bambang Subianto

----- Original Message -----
From: "Syafril Hermansyah" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Wednesday, March 06, 2002 6:03 PM
Subject: [yonsatu] Re: Fw: Ungkapan Menko Ekuin


> On Sun, 3 Mar 2002 21:54:25 +0700
> "DD" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> [ coba response ah walau menggunakan common sense, bukan profesionalism]
>
> > > Info menarik, ungkapan Menko Ekuin kita tentang perampokan uang kita
> > > = besar-besaran, tanpa kita mampu berbuat apa-apa, tragis!
>
> > Sebenarnya masalah utang yang paling dahsyat itu bukan utang luar
> > negeri.
>
> [ ... ]
>
> > Yang parahnya adalah utang dalam
> > negeri. Sebab, harus dibayar lewat budget anggaran negara). "Itu
> > diambil dari penghasilan negara, masuk sebagai pengeluaran, lalu
> > dikasih ke bank-bank yang bangkrut itu. Supaya bank-nya enggak
> > bangkrut, kita kasih obligasi. Lantas, kita kasih penghasilan pada
> > bank, sehingga bank jalan. Jadi, itu sebetulnya kita subsidi bank-bank
> > itu. Tapi kalau kita tenggelamkan bank itu, sekian juta nasabah bank
> > kita ini nggak punya lembaga penjamin.Tidak ada deposit insurance,
> > seperti yang semestinya," katanya. Di Indonesia belum ada peraturan
> > penjaminan dana nasabah di bank. Jadi kalau bank nya bangkrut maka
> > pemerintah yang harus ganti.
>
> Nampaknya ini yg jadi issue utk kasus penjualan BCA. Jika saham masih
> dimiliki Pemerintah maka bunga obligasi ibarat keluar kantong kiri masuk
> kantong kanan. Nah kalau sudah dijual ke pihak lain, bunga obilgasi itu
> mau tidak mau *harus* dibayar.
>
> Yg msh jadi pertanyaan, jikalau saham BCA sdh majoritas dimiliki asing,
> apakah "hutang bunga obligasi" bisa dijadwalkan spt halnya hutang luar
> negeri ?
>
> [ ...]
>
> > di situ. Soal obligor ini dicecarnya terus, dengan kalimat mengalir
> > deras dan bahasa lugas. "Jadi, para obligor besar itu, baik top 21,
> > top 50, dan top 100, kecil sekali pengembaliannya. Bahkan, 39 bank
> > yang dibekukan kewajibannya Rp 27 triliun. Tapi, cuma bayar Rp 1
> > triliun sampai kini. Itu sudah empat tahun!" imbuhnya. Djatun melihat
>
> Weleh :-(
>
> > beban utang dalam negeri Indonesia.' Terus, bagaimana reaksi rakyat?"
> > papar Djatun panjang lebar. Suasana ruang pertemuan hening. Seolah
> > paham betapa persoalan utang yang dihadapi Indonesia, khususnya menko
> > perekonomian, begitu dahsyat. "Ini yang saya pusingkan sekarang. Saya
> > mulai bilang sama mereka. Bayar dong," katanya. Yang jadi masalah,
> > ungkap Djatun, syaratnya ketika itu melalui kontrak perdata. "Karena
> > syaratnya dulu, kontraknya itu dibikin kontrak perdata.
>
> Kalau tdk salah ini yg termktub dalam MSAA ya ? Pengalihan dari pidana
> ke perdata ? Masa berlakunya habis sekitar akhir 2003 juga ? Dan inikan
> yg dipermasalahkan oleh Kwik Kian Gie dg masa perpanjangan PKPS, jika
> tdk diperpanjang maka kontrak itu bisa diperbaharui dan bisa
> dikembalikan ke masalah pidana, shg obligor yg menolak bayar bisa
> dipenjarakan dg alasan emnrugikan rakyat banyak.
>
> > Dan sesudah settle, pemerintah mengeluarkan surat letter of discharge
> > and release (surat bebas dari tuntutan lain, red) dan tidak bisa
> > dipidanakan. Sesudah itu, seluruh asset nya dikembalikan ke mereka, ke
> > pemilik lama. Oleh mereka, disuruh dilola, dijalankan terus. Kita
> > bayar management fee sama dia untuk menjalankan itu. Sesudah itu, arus
> > kasnya tidak di-escrow (escrow account, ditaruh di rekening penjamin,
> > red) di bank. Kemudian di perusahaan-perusahaan itu, kita tidak
> > menempatkan chief financial officer (CFO). Now you tell me, siapa,
> > betapa luar biasanya imaginasi penyusun kontrak saat itu. Don't ask
> > me!," ujarnya, sengit.
>
> Benar-2x luar biasa, kok ya bisa terjadi spt itu :-(
>
>
> > Djatun tampak berapi api membeber isu yang
> > selama ini enggak pernah terungkap di depan publik. Masalah obligor
> > yang diwarisi pemerintah Megawati saat ini, ditambah tetek-bengek
> > keanehan praktik era lama dan jadi beban saat ini dan di masa depan,
> > Djatun tidak mau tedheng aling-aling. "Lha, sesudah itu diharapkan
> > mereka sukarela menjual aset. Sudah dibuktikan, kita dimaki: 'Itu
> > harga Indomobil, Indosiar Pak Djatun dan sebagainya.' Eh, itu bukan
> > aku yang jual! Itu pemilik lama yang jual. Itu kewajiban dia. Kenapa
> > nggak dipenjarakan saja, seperti dibilang nyonya saya(isteri Djatun,
> > Red). Nggak bisa! Sebab, itu perdata perjanjiannya.
>
> Ya benar, makanya perjanjian MSAA itu dibiarkan saja habis masa
> berlakunya dan perbaharui/perbaiki.
>
> Disamping itu, pantas saja Men BUMN ingin cepat-2x jual BCA dan lainnya,
> rupanya balapan dg pemilik asset toh, kalau ditunda maka asset-2x itu
> keburu dijual pemilik lama...wah...wah..wah...
>
>
> > Djatun malah heran, soal obligor ini, para pengkritik itu diam.
> > "Tetapi, obligor yang tidak mau bayar malah tidak dimarahi. Kita yang
> > mau selesaikan malah dibilang mau gampang saja sama obligor. Kita
> > nggak berbuat apa-apa, dimarahin. Kita jual, dibilang harganya terlalu
> > rendah. Kita diam, dimarahi juga. Jadi, mau yang mana ini? Padahal,
> > waktunya sudah mau habis, tahun 2003. Itu cerita utang kita," tutupnya
> > soal utang. Djatun minta siapa saja supaya mengedepankan fakta
> > ketimbang persepsi. "Hey, bung. Jangan main persepsi hari-hari ini,
> > tapi main fakta. Asyik kalau main fakta. Soal persepsi memang sengaja
> > dikembangkan oleh orang-orang yang mau bermain politik. Saya nggak
> > main politik. Sampai jam ini, saya nggak mau main politik. Karena itu,
> > lontarkan saja," jelasnya.
>
> Soal DATA dan fakta ini sering jadi argumen, Ary Suta juga mengomongkan
> hal itu saat dikritik orang Indef (Dradjat Wibowo), tp saat ditantang
> "berikan data yg valid ke saya, saya akan berikan analisis saya secara
> gratis" tp tdk diberikan (Kwik Kian Gie pernah menyatakan hal yg sama ke
> BPPN dulu).
>
>
> --
> syafril
> =======
> "Syafril Hermansyah"<[EMAIL PROTECTED]>
>
>
> --
> --[YONSATU -
ITB]----------------------------------------------------------
> Online archive : <http://yonsatu.mahawarman.net>
> Moderators     : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
> Unsubscribe    : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
> Vacation       : <mailto:[EMAIL PROTECTED]?BODY=vacation%20yonsatu>
> 1 Mail/day     :
<mailto:[EMAIL PROTECTED]?BODY=set%20yonsatu%20digest>
>
>
>


-- 
--[YONSATU - ITB]----------------------------------------------------------
Online archive : <http://yonsatu.mahawarman.net>
Moderators     : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Unsubscribe    : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Vacation       : <mailto:[EMAIL PROTECTED]?BODY=vacation%20yonsatu>
1 Mail/day     : <mailto:[EMAIL PROTECTED]?BODY=set%20yonsatu%20digest>

Kirim email ke