http://www.sinarharapan.co.id/berita/0810/17/opi01.html


Peristiwa 17 Oktober 1952

Oleh
Harry Kawilarang



Pada 16 Oktober 1952 di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) di Jakarta, berlangsung 
rapat yang dihadiri Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, KSAP, 
Mayjen TB Simatupang, KSAD Kolonel AH Nasution dan para Panglima teritorial 
se-Indonesia. Rapat membahas rencana pembangunan Angkatan Darat. Rencana ini 
mendapat kecaman baik dari kalangan Parlemen maupun kalangan perwira AD 
sendiri. Suara dan mosi-mosi miring terhadap AD menjadi pokok pembahasan dalam 
rapat ini. 


Bebasa Daeng Lalo dari Partai Rakyat Nasional (PRN), pada 8 Oktober 1952, 
menuduh Menteri Pertahanan tidak nasionalis, karena program pembangunan AD 
mendapat bantuan Belanda, dengan mendatangkan tenaga-tenaga Belanda untuk 
mendidik perwira-perwira TNI. Sebelumnya, pada 23 September, suatu mosi 
diajukan Zainul Baharuddin (didukung Partai Murba, Partai Buruh dan PRN), 
menuntut reorganisasi Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang, menyelidiki 
penyelewengan administrasi dan keuangan di lingkungan kedua instansi tersebut, 
menyusun undang-undang pertahanan nasional, pembentukan komisi khusus parlemen. 


Mosi Baharuddin disusul dengan mosi I J Kasimo. Mosi Kasimo dimaksudkan untuk 
menandingi mosi yang pertama. Kemudian menyusul mosi Manai Sophian dari PNI 
yang didukung PSII dan Nahdatul Ulama. Mosi Manai Sophian mengusulkan 
pembentukan Komisi Negara untuk memperbaiki struktur Kementerian Pertahanan dan 
Angkatan Perang serta mengakhiri bantuan Misi Militer Belanda. Pada 16 Oktober 
1952, Parlemen melakukan pemungutan suara: menolak mosi Zainul Baharuddin dan 
menerima mosi Manai Sophian.

Geen Coup 
Hasil rapat di SUAD merumuskan usul yang akan disampaikan kepada Presiden. 
Usul, bukan tuntutan ataupun ultimatum. Jendral Simatupang menegaskan jangan 
ada seorangpun berpikiran melakukan aksi kudeta militer. "Mijne Heeren, geen 
coup!", Simatupang mengingatkan. Pernyataan Pimpinan AD terdiri dari tujuh 
butir dan di-kelompokkan menjadi dua, (1) keluhan para perwira mengenai keadaan 
nasional dan keadaan Angkatan Darat, oleh campur tangan politisi; (2) 
permohonan agar Presiden menggunakan wewenangnya sesuai konstitusi membubarkan 
Parlemen Sementara (DPRS) dan menggantinya dengan Parlemen hasil Pemilihan 
Umum. DPRS dinilai sebagai sumber dari semua ketegangan dan pertentangan 
politik.


Pernyataan itu diserahkan Letkol Sutoko kepada Presiden ketika KSAP, KSAD, para 
Panglima menghadap Presiden di Istana Merdeka pada 17 Oktober 1952. Di situ 
hadir pula Wakil Presiden Hatta, Perdana Menteri Wilopo, Sekretaris Kabinet, AK 
Pringgodigdo dan Pejabat Ketua Parlemen AM Tambunan. Kolonel Maludin Simbolon, 
Panglima Sumatra Selatan mengatakan, Angkatan Darat tak mau didikte oleh 
Parlemen yang dua-pertiga anggotanya pernah bekerja sama dengan Belanda sewaktu 
Perang Kemerdekaan. Sementara Kolonel Alex Kawilarang, Panglima Sumatra Utara, 
mengatakan, sulit mengendalikan keadaan di daerahnya bila rongrongan dan 
provokasi oleh para politisi yang memojokkan TNI tidak dihentikan. 


Rencana pembangunan AD untuk menjadikannya profesional dan modern memecah AD 
dalam dua kelompok. Kelompok pendukung dikenal dengan sebutan "Blok SUAD." 
Kelompok yang menolak, dimotori Kolonel Bambang Supeno dan Letkol Zulkifli 
Lubis, disebut "Blok Supeno-Lubis". Blok Supeno-Lubis mencurigai rencana itu 
untuk mengeliminasi para perwira didikan Je-pang, yang belum setara dengan 
pendidikan militer di zaman Belanda. Ke-curigaan diperbesar dengan adanya tiga 
kriteria dalam menentukan seseorang terus dalam dinas tentara, yaitu tingkat 
pendidikan, kesehatan dan usia. Kalau ini diberlakukan, bagian terbesar perwira 
eks Heiho, Peta atau Giyugun akan pensiun. Mereka menuduh Blok SUAD mengabaikan 
nasionalisme dan patriotisme, dan mengubah prajurit pejuang menjadi tentara 
gajian. 
Presiden Soekarno condong ke grup penentang modernisasi AD. Suatu waktu, Letkol 
Bahrun menemui Simatupang, menyampaikan pesan dari Kolonel Bambang Supeno untuk 
mengganti KSAD Nasution. Bambang Supeno memberitahukan kepada Bahrun bahwa 
Presiden sudah setuju, tinggal mengumpulkan tanda tangan para panglima. 
Ungkapan Bahrun mengejutkan Simatupang. Bahwa Presiden Soekarno sendiri 
terlibat untuk menghambat program pembangunan AD. Ia melaporkan kepada Menteri 
Pertahanan dan memberitahukan KSAD. Mereka dan para panglima territorial segera 
mengadakan pertemuan. Mereka terkejut dan sangat marah karena Presiden Soekarno 
melanggar aturan konstitusional. Disepakati untuk membiarkan masalahnya 
mengendap dahulu beberapa jam atau satu hari. Tetapi semua yang hadir di 
pertemuan itu mengatakan harus segera menemui Presiden. 

"Hij poep op mij" 
Simatupang menilpon istana dan meminta agar Presiden dapat segera menerima 
Menteri Pertahanan, KSAP dan KSAD. Permintaan itu dipenuhi dan mereka segera 
berangkat ke Istana. Menteri Pertahanan memulai pembicaraan, "kami datang untuk 
bertanya, apakah sebetulnya yang dikehendaki oleh Panglima Tertinggi". 
Percakapan berlangsung lugas dan semuanya dalam bahasa Belanda. Dalam bukunya, 
Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, Simatupang mengatakan ia meminta 
penjelasan kepada Presiden mengenai persoalan Bambang Supeno. Presiden 
menjawab: "Als het zo is, laat het kenbaar maken." (Kalau begitu, umumkan 
saja). 
Simatupang bereaksi, "Apabila seorang Kepala Staf Angkatan Darat dapat begitu 
saja diganti dengan pengumpulan tanda tangan dari para panglima, maka hal yang 
sama dapat terjadi pada para panglima dengan pengumpulan tanda tangan oleh para 
komandan resimen dan seterusnya. Dengan demikian tidak akan dapat dibangun 
suatu tentara yang baik. Menurut keyakinan saya apabila kita tak segera 
melaksanakan profesionalisme dan modernisasi TNI dengan tetap memelihara 
kesetiaan yang mutlak terhadap Pancasila dan tetap menjunjung tinggi jiwa dan 
semangat perjuangan, maka pada suatu ketika dapat timbul di Indonesia seperti 
di Amerika Latin, dan hal yang lebih parah lagi dapat terjadi bahwa partai 
komunis akan merebut kekuasaan dan Pancasila akan diganti dengan komunisme...."


Pertemuan selama lebih dari satu jam itu berakhir dalam suasana tegang. 
Simatupang berdiri meninggalkan Presiden tanpa berjabat tangan, hanya memberi 
hormat militer. Presiden Soekarno gusar dan merasa terhina oleh sikap 
Simatupang. Kepada Abdul Karim Pringgodigdo, ia mengatakan: "Hij poep op mij." 
(dia memberaki saya)." 


Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah suatu gerakan spontan dalam bentuk demonstrasi 
yang dimotori sejumlah perwira AD. Demonstrasi diikuti ribuan massa sempat 
memasuki dan mengobrak-abrik ruang sidang Parlemen. Mereka lalu berkumpul di 
depan Istana Merdeka. Di sana sudah siap pasukan kavalri dan artileri Angkatan 
Darat lengkap dengan kendaraan lapis baja. Laras meriam dari pasukan artileri 
diarahkan ke Istana. Para demonstran mengajukan tuntutan agar Presiden 
membubarkan Parlemen, karena dinilai tidak membawakan aspirasi rakyat. Agar 
diadakan pemilihan umum untuk menentukan anggota Parlemen baru. Berbagai 
spanduk bertuliskan "Bubarkan Parlemen," "Adakan Segera Pemilihan Umum," 
"Pergunakan Pasal 84 Undang-undang Dasar Sementara," dan sebagainya.
Presiden Soekarno menyatakan tidak akan membubarkan Parlemen, karena tak mau 
menjadi diktator. Sebagai orator ulung, Soekarno berhasil membubarkan para 
demonstran. Kolonel Nasution diberhentikan. Posisi KSAP dihapuskan, untuk 
mendepak Simatupang. 

Penulis adalah mantan wartawan 
Sinar Harapan.

Kirim email ke